28 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Palestina: Luka Dunia yang Tak Boleh Dibiarkan

Oleh :
Anang Dony Irawan
Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya ; Anggota APHTN-HAN dan MAHUTAMA

Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat (12/9/2025) menjadi saksi suara dunia. Sebanyak 142 negara berdiri di sisi Palestina dengan mendukung Deklarasi New York, sebuah resolusi bersejarah yang mengakui solusi dua negara, Palestina dan Israel, untuk hidup berdampingan dalam damai. Hanya 10 negara yang menolak, sementara 12 lainnya memilih abstain. Dari angka ini, jelas tergambar: dunia sepakat bahwa Palestina berhak merdeka.

Namun, apakah angka itu cukup untuk mengubah realitas di lapangan? Apakah dukungan di forum internasional mampu menghentikan deru jet tempur di langit Gaza? Apakah suara mayoritas itu bisa membongkar blokade yang membuat bantuan kemanusiaan terhenti di perbatasan?

Sebab, di balik tepuk tangan diplomatik yang bergema di ruang sidang New York, Gaza tetap berkabut asap. Anak-anak masih berlarian di antara reruntuhan bangunan, perempuan dan orang tua masih mengais sisa makanan di kamp-kamp pengungsian, dan jeritan manusia masih tertahan oleh dinding blokade. Resolusi boleh lahir, tetapi kenyataan di bumi Palestina tetap pahit: penindasan belum berhenti, penderitaan belum berakhir.

Palestina dan Syarat Sebuah Negara
Hukum internasional sejatinya sudah memberi dasar yang kokoh. Konvensi Montevideo 1933 menetapkan empat syarat berdirinya sebuah negara: penduduk tetap, wilayah tertentu, pemerintahan yang efektif, dan kemampuan menjalin hubungan dengan negara lain. Palestina jelas memenuhi semuanya.

Berita Terkait :  Atlet Sidoarjo akan Diasuransikan Selama Porprov 2025

Penduduknya bertahan meski terus digempur, wilayah historisnya masih ada meski sebagian dirampas, pemerintahan Otoritas Palestina tetap berjalan meski dilemahkan, dan hubungan diplomatiknya telah terjalin dengan puluhan negara.

Dengan kata lain, dari kacamata hukum, Palestina berhak diakui sebagai negara. Tetapi dalam praktik politik global, hak itu terus digantung.

Hambatan utama terletak pada veto Amerika Serikat di Dewan Keamanan PBB. Sebagai sekutu utama Israel, AS berulang kali menggagalkan resolusi yang seharusnya melindungi rakyat Palestina. Veto telah berubah menjadi tameng politik yang melegitimasi kekerasan.

Inilah tragedi besar PBB: sebuah lembaga yang lahir dari tekad untuk menjaga perdamaian justru kerap mandul di hadapan kekuasaan veto. Resolusi demi resolusi hanya berhenti sebagai dokumen, tanpa pernah menjelma tindakan nyata.

Israel menggunakan narasi melawan Hamas untuk membenarkan gempuran, tetapi yang luluh lantak bukan hanya kelompok bersenjata, melainkan seluruh Gaza. Rumah sakit, sekolah, hingga fasilitas sipil lainnya ikut menjadi target. Dunia menyaksikan genosida yang terjadi secara perlahan, tetapi tangan-tangan politik global terlalu kaku untuk menghentikannya.

Konflik Palestina bukan sekadar persoalan geopolitik, melainkan ujian moral umat manusia. Apakah benar dunia modern masih menjunjung tinggi prinsip kemanusiaan? Ataukah nilai-nilai itu hanya berlaku ketika tidak bertabrakan dengan kepentingan negara besar?

Setiap serangan ke Gaza adalah pengingat bahwa dunia telah gagal melindungi bangsa yang tertindas. Setiap anak yang meninggal di bawah reruntuhan adalah dakwaan terhadap komunitas internasional yang lebih memilih diam. Luka Gaza, sesungguhnya, adalah luka dunia.

Berita Terkait :  Upaya Pemkot Kediri Realisasikan Eliminasi ATM Tahun 2030

Konsistensi Indonesia
Dalam pusaran konflik yang penuh kepentingan, Indonesia tetap konsisten berdiri bersama Palestina. Dukungan itu bukan basa-basi diplomasi, melainkan bagian dari identitas bangsa.

Palestina adalah salah satu pihak pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1945. Balasannya termaktub jelas dalam Pembukaan UUD 1945: “Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Komitmen itu terus diwujudkan. Pada peringatan HUT RI ke-80 tahun ini, Indonesia menyalurkan bantuan kemanusiaan melalui jalur udara ke Gaza menggunakan pesawat Airbus TNI AU. Langkah itu dipilih karena blokade membuat jalur darat hampir mustahil ditembus. Tindakan ini bukan hanya bantuan praktis, tetapi simbolis: bangsa yang pernah dijajah memilih berdiri bersama bangsa yang masih terjajah.

Dukungan 142 negara dalam Deklarasi New York adalah momentum. Tetapi momentum bisa menguap jika tidak segera diikuti langkah nyata. Komunitas internasional harus memastikan:

1.Penghentian agresi militer Israel. Tidak ada lagi dalih yang bisa membenarkan pembantaian massal.

2.Penghapusan blokade Gaza. Bantuan kemanusiaan harus bebas mengalir, demi menyelamatkan jutaan warga sipil.

3.Pengakuan penuh Palestina. Bukan sekadar status pengamat, tetapi pengakuan sebagai negara berdaulat.

Diamnya dunia internasional sama saja dengan bersekongkol dalam penjajahan. Sebaliknya, bersuara lantang dan bertindak nyata adalah bagian dari menjaga martabat kemanusiaan.

Harga Mati Kedaulatan Palestina
Sejarah tidak pernah melupakan. Dunia akan ditanya: di manakah ia berdiri ketika bangsa Palestina menjerit di bawah reruntuhan? Apakah ia memilih diam, atau berani membela kebenaran?

Berita Terkait :  Menakar Toleransi Gen Alpha

Kedaulatan Palestina bukan janji yang boleh digantungkan tanpa ujung. Ia adalah hak kodrati, hak suci yang tak bisa ditunda, apalagi ditawar. Setiap hari penundaan berarti darah baru tertumpah, luka baru menganga, dan keadilan kembali dipinggirkan.

Jika dunia masih ingin menyebut dirinya beradab, maka tidak ada pilihan lain: kedaulatan Palestina harus diwujudkan. Bukan nanti, bukan esok, melainkan sekarang.

————— *** —————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru