Oleh :
Angga Saputra
Guru SD Labschool UNESA 1
Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW setiap 12 Rabiul Awal bukan sekadar seremoni tahunan yang diwarnai pembacaan shalawat, kisah kelahiran Rasul, atau penyajian hidangan tradisional. Di balik itu, Maulid sejatinya menyimpan energi besar untuk menguatkan dimensi spiritual generasi muda, terutama di ruang pendidikan formal. Di tengah arus informasi yang kian deras, sekolah membutuhkan cara segar untuk menumbuhkan literasi spiritual-kemampuan memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai keagamaan-yang tak kalah penting dari literasi baca-tulis atau numerasi.
Literasi Spiritual: Makna dan Urgensi
Literasi spiritual bukan hanya kemampuan membaca teks keagamaan, melainkan kesanggupan menafsirkan pesan ilahi dan menerapkannya dalam keseharian. Ia mencakup kesadaran diri, empati, sikap toleran, serta kepekaan terhadap nilai moral. Di Indonesia, wacana literasi lebih sering dihubungkan dengan minat baca dan angka melek huruf. Padahal, kegersangan spiritual di kalangan pelajar dapat memicu masalah lain: kekerasan, perundungan, hingga degradasi akhlak.
Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi beberapa tahun terakhir menyoroti meningkatnya kasus perundungan di sekolah. Hal ini menandakan perlunya penguatan karakter, bukan hanya kemampuan kognitif. Literasi spiritual hadir sebagai jawaban: mengasah akal sekaligus menyehatkan jiwa.
Maulid Nabi sebagai Pintu Masuk
Mengapa Maulid Nabi tepat dijadikan momentum? Pertama, Maulid memuat teladan hidup Rasulullah yang menyentuh seluruh aspek: kejujuran, kepedulian sosial, keteguhan moral, hingga kecintaan pada ilmu. Kisah kelahiran Nabi yang disertai cahaya rahmat menjadi titik awal refleksi: pendidikan tidak semata memupuk kepintaran, tetapi juga menyalakan nurani.
Kedua, Maulid memiliki dimensi kebudayaan yang dekat dengan siswa. Di banyak daerah, peringatan Maulid identik dengan tradisi lokal-dari kirab hingga pembacaan barzanji. Mengintegrasikan kekayaan budaya itu ke dalam kegiatan sekolah akan membuat siswa merasa memiliki, bukan sekadar menjadi penonton.
Ketiga, kalender akademik kerap memberi ruang peringatan hari besar agama. Artinya, Maulid dapat dikemas tanpa mengganggu ritme belajar, justru memperkaya proses pembelajaran.
Strategi Implementasi di Sekolah
Bagaimana menghadirkan literasi spiritual lewat Maulid? Beberapa langkah bisa ditempuh:
- Majelis Inspiratif di Kelas
Guru dapat mengadakan “jam sirah” khusus, mengajak siswa membaca potongan kisah kelahiran Nabi dan berdiskusi maknanya. Bukan sekadar mendengar, siswa diajak menanyakan relevansi: “Bagaimana kejujuran Nabi bisa kita terapkan saat ujian?” Pendekatan dialogis menumbuhkan pemahaman kritis sekaligus rasa kagum. - Proyek Literasi Kreatif
Sekolah dapat menggelar lomba menulis esai atau puisi bertema “Keteladanan Rasul” yang dipublikasikan di majalah dinding. Aktivitas ini menggabungkan literasi baca-tulis dengan refleksi spiritual. - Kolaborasi Antaragama
Maulid juga bisa menjadi jembatan toleransi. Sekolah yang majemuk dapat mengemas kegiatan berbagi nilai universal: kasih sayang, keadilan, dan kemanusiaan. Siswa non-Muslim dilibatkan sebagai penampil seni atau pembaca puisi bertema perdamaian, menegaskan pesan bahwa akhlak mulia adalah milik semua umat. - Aksi Sosial
Momentum Maulid dapat diakhiri dengan kegiatan nyata: bakti sosial, penggalangan donasi, atau kunjungan ke panti asuhan. Nilai kepedulian Rasulullah tercermin dalam aksi, bukan hanya kata.
Tantangan dan Solusi
Tantangan utama tentu keterbatasan pemahaman guru dan siswa mengenai konsep literasi spiritual. Tidak semua pendidik terbiasa menafsirkan Maulid dalam konteks pendidikan karakter. Untuk itu, pelatihan guru dan penyediaan modul sederhana menjadi penting.
Selain itu, euforia seremonial kerap menutupi esensi. Sekolah perlu menyeimbangkan antara perayaan dan penghayatan. Tidak harus mewah; yang terpenting adalah kehadiran nilai.
Kurikulum Merdeka menekankan Profil Pelajar Pancasila: beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia; berkebinekaan global; gotong royong; mandiri; bernalar kritis; kreatif. Semua karakter itu menemukan contoh paling paripurna dalam pribadi Nabi Muhammad. Dengan demikian, mengaitkan Maulid dengan proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) menjadi langkah strategis.
Misalnya, tema “Kearifan Lokal dan Keberlanjutan Budaya” dapat dikaitkan dengan tradisi Maulid di daerah masing-masing. Siswa meneliti, menulis laporan, dan menampilkan hasilnya dalam pameran sekolah.
Momentum Maulid hanyalah awal. Literasi spiritual perlu dilanjutkan sepanjang tahun: tadarus bersama, mentoring akhlak, hingga pembiasaan doa. Sekolah menjadi ekosistem yang menumbuhkan kecerdasan spiritual-membimbing siswa mengenal Tuhannya, menghargai sesama, dan menjaga bumi.
Di tengah derasnya arus digital, ketika gawai sering menjadi “guru” utama, peran sekolah untuk menyalakan cahaya keteladanan Nabi kian krusial. Maulid Nabi adalah kesempatan emas mengingatkan bahwa pendidikan sejati bukan hanya mencetak manusia pintar, tetapi manusia yang berhati bening.
Maulid Nabi Muhammad SAW bukan hanya peringatan sejarah, tetapi cermin nilai yang abadi. Sekolah yang menjadikannya momentum literasi spiritual berarti menyalakan lentera akhlak di tengah zaman yang kerap gelap. Jika setiap peringatan Maulid disertai tekad memperkuat jiwa anak didik, kita sedang menanam benih peradaban: generasi yang cerdas, toleran, dan berakhlak mulia-cita-cita yang sejalan dengan misi pendidikan nasional.
————– *** —————


