Oleh :
Rahmat Hidayat
Guru SKI MTsN 1 Sumenep dan Founder Rumber Literasi Sumenep
Dalam perkembangan termutakhir, jagat media sosial kita diramaikan oleh seruan tentang “tuntutan 17+8”. Seruan ini lahir sebagai kelanjutan dari gelombang kekecewaan rakyat pasca rangkaian demonstrasi di berbagai daerah. Intinya, rakyat mendesak pemerintah untuk menindak tegas pejabat yang amoral, nir-empati dan koruptif sekaligus menghentikan praktik intimidasi, represi, dan kriminalisasi terhadap warga sipil.
Rentetan peristiwa yang memilukan di bulan kemerdekaan memberikan visualisasi tentang tatanan sosial-politik Indonesia yang carut-marut. Kita hari ini seolah tengah diuji oleh kehadiran pejabat yang mengalami krisis kepemimpinan. Padahal rakyat sangat merindukan pemimpin yang hadir sebagai pengayom-bukan penindas, pejabat sederhana-bukan yang sibuk memamerkan harta, serta wakil rakyat yang rendah hati-bukan yang arogan.
Oleh karena itu, momentum peringatan Maulid Nabi seharusnya menjadi ajang refleksi bersama. Nabi Muhammad adalah figur pemimpin yang amanah, adil, demokratis dan penuh kasih sayang. Teladannya relevan untuk menjawab krisis kepemimpinan hari ini.
Teladan
Jauh sebelum diangkat sebagai rasul, Muhammad telah menunjukkan karakter seorang pemimpin yang bijaksana. Kejujuran dan integritasnya membuat Khadijah binti Khuwailid mempercayakannya untuk mengelola urusan perniagaan. Kepercayaan itu tidak datang tiba-tiba, melainkan karena reputasi Muhammad sebagai sosok yang bisa diandalkan.
Lima tahun sebelum menerima wahyu pertama, Muhammad memperoleh gelar “al-Amin”-yang dapat dipercaya. Gelar itu terbukti ketika para para pemimpin suku yang berseteru justru memilih Muhammad sebagai penengah dalam peristiwa peletakan Hajar Aswad. Keputusan cerdasnya-dengan meminta setiap pemuka untuk mengangkat setia ujung kain-menyelesaikan perselisihan itu menjadi bukti kapasitas Muhammad sebagai pemimpin yang adil, inklusif, visioner dan sederhana.
Dalam kiprah kepemimpinannya, Muhammad tidak memulai karir politiknya dengan membangun sebuah dinasti atau kerajaan untuk melanggengkan hasrat politiknya. Sebaliknya, ia membentuk sebuah komunitas sosial-politik-keagamaan bernama ummah. Ira M. Lapidus (2000: 51) menjelaskan bahwa ummah merupakan komunitas yang diikat persaudaraan spiritual bukan ikatan kesukuan (‘ashabiyah).
Puncak pencapaian kepemimpinannya tampak ketika Muhammad memprakarsai sebuah nota kesepakatan bernama Mitsaq Madinah yakni sebuah konsensus hidup bersama yang menegaskan komitmen perdamaian dan ketertiban. Perjanjian itu tidak bersandar pada ikatan darah atau kesukuan, melainkan bertumpu pada semangat persaudaraan dan keadilan.
Apa yang termaktub dalam Piagam Madinah merupakan upaya konstitusional Muhammad dalam membangun kehidupan demokratis yang menolak segala bentuk otoritarianisme. Zuhairi Misrawi dalam bukunya Madinah (2009: 298) menyatakan bahwa prinsip keadilan, musyawarah, amanah, transparansi, dan kejujuran dalam berpolitik menjadi strategi jitu Muhammad dalam membangun masyarakat madani (civil society)
Menariknya, hingga akhir hayatnya, Muhammad tidak serta-merta menunjuk keluarga terdekatnya sebagai pewaris kepemimpinan. Secara simbolik, ia menyerahkan tampuk kepemimpinannya kepada sahabatnya, yakni Abu Bakar-sosok yang dikenal setia, berintegritas, dan berakhlak mulia. Sikap ini mengajarkan bahwa kepemimpinan seharusnya didasarkan pada kapasitas dan kelayakan, bukan semata-mata hubungan darah (nepotisme). Secara tidak langsung, Rasulullah memberi teladan tentang pentingnya meritokrasi dalam memilih pemimpin.
Sejarawan W. Montgomery Watt (2020: 357) menilai bahwa sikap tersebut menunjukkan kearifan Muhammad sebagai seorang negarawan. Ia hadir bukan hanya sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai pemimpin politik yang adil dan bijaksana. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Annemarie Schimmel (2019: 66) yang menyatakan bahwa pengalaman sosial-politik Nabi Muhammad merupakan poros “Heilsgeschichte” umat manusia, yakni kompas yang menuntun arah peradaban manusia.
Inspirasi Politik
Di tengah euforia perayaan Maulid Nabi, ada baiknya kita berhenti sejenak untuk merenung. Peringatan ini bukan sekadar seremonial keagamaan, melainkan momentum untuk meneladani kepemimpinan Nabi Muhammad. Kita mengenal empat sifat utama Nabi: shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (transparan), dan fathanah (bijaksana). Nilai-nilai profetik tersebut harus menjadi fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, jika melihat realitas hari ini, implementasinya masih jauh dari yang diharapkan.
Kejujuran, misalnya, kian terasa langka di kalangan elite politik. Janji-janji manis yang digaungkan selama kampanye sering berhenti sebagai slogan belaka. Pasca pemilu, janji-janji itu tak jarang menguap tanpa realisasi yang berarti. Padahal, kejujuran adalah kunci membangun kepercayaan rakyat terhadap pemimpin. Tanpa kejujuran, seluruh proses demokrasi kehilangan makna dan rakyat menjadi apatis terhadap politik.
Lebih memprihatinkan lagi, belakangan ini cara sebagian elite merespons kritik publik sering kali jauh dari nilai kebijaksanaan. Kritik yang seharusnya menjadi bahan introspeksi justru dibalas dengan sikap defensif, bahkan disertai arogansi. Alih-alih memberikan solusi, pernyataan para pejabat justru memperlebar jarak antara pemerintah dan rakyat. Situasi ini mengikis harapan publik dan menimbulkan ketegangan sosial yang tak perlu.
Selain kejujuran dan kebijaksanaan, pemimpin negeri ini juga harus menegakkan prinsip meritokrasi. Banyak masalah bangsa berakar dari fakta bahwa amanat publik diberikan kepada orang yang tidak kompeten atau hanya dipilih berdasarkan kedekatan pribadi. Nabi Muhammad memberi teladan berbeda. Ia tidak mewariskan kepemimpinan kepada keluarganya, melainkan mempercayakan tongkat estafet kepada sahabat yang paling cakap dan berintegritas.
Jika kita melihat sejarah, hijrah Nabi ke Yatsrib bukan sekadar perpindahan fisik, tetapi transformasi sosial dan politik menuju tatanan yang lebih adil, inklusif, dan berdaulat. Situasi republik hari ini dapat dimaknai sebagai masa transisi serupa-dari keterpurukan menuju kebangkitan, dari hegemoni oligarki menuju kedaulatan rakyat. Namun, transformasi itu hanya akan terwujud jika para pemimpin berani meneladani sifat-sifat Nabi: jujur, amanah, terbuka, dan bijaksana. Maulid menjadi alarm pengingat bahwa kepemimpinan adalah amanah, bukan sarana untuk berkuasa.
———— *** —————


