Aksi demo “panas” di berbagai daerah nyata-nyata dibarengi tindakan anarkhistis. Terutama pembakaran gedung-gedung milik pemerintah, dan fasilitas umum. Serta perusakan, dan penjarahan di rumah pejabat negara. Ada pula tindakan aparat keamanan yang tergolong represif. Kepolisian telah memperoleh perintah Presiden menindak “setegas-tegasnya” anarkhistis, sekaligus mengusut tindakan represif aparat di lapangan. Berbagai rekaman CCTV dapat dijadikan alat (bahan) penyidikan dan penyelidikan.
Suasana mencekam sepekan terakhir Agustus 2025. Bagai perang, antara pengunjukrasa dengan Polisi. Upaya “pendinginan” yang dilakukan Polisi bersama TNI, membuahkan hasil suasana damai di kampung-kampung. Bahkan di Surabaya, dan Jakarta, mulai tumbuh gerakan “jaga kampung.” Gerakan sosial ini didukung segenap warga kampung, dengan berbekal senjata se-adanya (biasanya tongkat pemukul). Sehingga sulit ditembus, dan paling ditakuti penyusup.
Aksi demo sudah mereda, bersamaan dengan kesadaran anak-anak menyesali tindakannya selama turut aksi demo. Beberapa orang yang semula membawa barang jarahan, mulai dikembalikan kepada pemiliknya, melalui pengurus kampung, dan Polsek. Barang yang dijarah dari rumah Ahmad Sahroni, Eko Patrio, dan Uya Kuya, sebagian dikembalikan. Begitu pula barang-barang yang dijarah masyarakat dari rumah Menkeu Sri Mulyani, sebagian dikembalikan titip ke Polsek.
Anak-anak yang turut demo kini kembali bersekolah melalui daring. Sebagian masih tertahan di berbagai Polres seluruh Indonesia, sedang dilakukan pembinaan bersama orangtua. Banyak yang menangis sesenggukan ketika dijemput orangtua. Tetapi demonstran anak, harus dibedakan dengan pendemo dewasa. Tindak kekerasan oleh anak, saat ini, lebih disebabkan “gabut.” Dalam bahasa gaul merujuk pada perasaan bosan, dan jenuh.
Karena tidak ada kegiatan yang menarik untuk dilakukan. Istilah ini sering digunakan di kalangan remaja, untuk menggambarkan kondisi kebingungan. Merasa tidak jelas dan tidak mengerti harus berbuat apa. Tidak ada aktifitas yang menyenangkan. Sehingga “gabut,” bisa menjerumuskan remaja ke berbagai tindak pidana kriminalitas. Viral berbagai video pembakaran kantor DPRD, di Bandung, Jawa Barat, dilakukan murid SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Hal yang sama terjadi di Makasar, Sulawesi Selatan.
Indonesia telah meratifikasi konvensional internasional tentang Perlindungan anak. Telah diterbitkan UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Terdapat 16 hak keringanan. Antara lain bebas dari penyiksaan. Serta tidak dijatuhi hukuman pidana mati atau pidana seumur hidup. Sebagian diberlakukan “diversi.” Yakni, penyelesaian perkara ke luar peradilan. Bisa melalui restorative justice. Perdamaian. Namun sebagian kasus (yang berat) wajib dilanjutkan sampai Pengadilan.
Presiden Prabowo Subianto, telah meng-instruksikan Polisi melakukan tindakan setegas-tegasnya terhadap penyimpangan dalam unjukrasa. Terutama pengerusakan fasilitas umum. Serta penjarahan terhadap rumah individu, dan sentra-sentra ekonomi, wajib ditindak. Beberapa video viral, dan CCTV dapat dijadikan sumber informasi. Termasuk kelompok bermotor (sekitar 15-20 orang sebagai komando). Serta analisis berdasar scientific criminal investigation rekaman digital, sekitar insiden pengemudi ojol tertabrak Barracuda.
Presiden Prabowo Subianto, menyatakan Negara menghormat kebebasan berpendapat. Sesuai konvensi PBB tentang Covenant on Civil and Political Rights (Hak-Hak Sipil dan Politik, tahun 1966, memuat 53 pasal). Terutama alam pasal 19, yang isinya telah diadopsi dalam UUD Bab X-A Tentang Hak Asasi Manusia. Terdiri dari pasal 28A sampai 28J (10 pasal).
Presiden Prabowo juga bersepakat dengan pimpinan parpol, mencabut tunjangan DPR, sekaligus moratorium (stop) kunjungan ke luar negeri. Walau sebenarnya yang dibutuhkan adalah Perppu revisi UUD MD3. Terutama untuk me-minimalisir Disparitas (ketimpangan) besar, antara penghasilan DPR yang selangit dengan pandapatan per-kapita penduduk.
——— 000 ———


