25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Patgulipat Negara Kleptokrasi

Oleh:
Ali Mursyid Azisi, M.Ag
Founder The Indonesian Foresight Research Institute (IFRI)

Julukan negara demokrasi bagi Indonesia kini kian tak cocok lagi. Demokrasi yang awalnya digambarkan sebagai sistem yang ideal, namun dalam praktiknya idealisme ini kini tergerus oleh manipulasi dan kecurangan yang dikenal sebagai “kleptokrasi”. Kata ini berasal dari bahasa Yunani klepto (mencuri) dan kratos (kekuasaan), sederhananya menggambarkan rezim yang para pemimpinnya menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya melalui korupsi hingga penyelewengan dana publik. Alih-alih melayani rakyat, negara justru menjadi alat untuk mengeruk kekayaan. Di Indonesia, fenomena ini seringkali tersembunyi di balik fasad demokrasi, di mana praktik patgulipat (konspirasi) menjadi modus utama.

Dari Demokrasi Menuju Kleptokrasi: Jejak Patgulipat
Patgulipat, sebuah istilah Jawa yang menggambarkan manipulasi licik dan kecurangan, kini menjadi gambaran nyata dari bagaimana korupsi sistemik merasuki sendi-sendi negara. Sejak 10 tahun terakhir, Indonesia diguncang oleh serangkaian kasus mega korupsi dengan kerugian negara mencapai triliunan rupiah. Contoh nyata kasus terbaru dari fenomena ini adalah korupsi, seperti yang melibatkan wakil menteri Ketenagakerjaan Emanuel Ebenezer (Noel), yang menunjukkan bahwa praktik korupsi sudah merasuk hingga ke level tertinggi birokrasi. Menurut laporan KPK, Noel dinilai membiarkan praktik korupsi tersebut dan mendapat jatah Rp. 3 miliar dan sejumlah motor. Pola yang terlihat adalah adanya penyalahgunaan wewenang untuk memperkaya diri atau kelompok tertentu melalui proyek-proyek strategis negara. Ini bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mengkhianati kepercayaan publik.

Berita Terkait :  JSC-Tim Respon Kasus Dinsos Jatim Proses Pemulangan 2 Lansia Terlantar

Kasus korupsi yang terjadi di Indonesia dalam satu dekade terakhir menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat kerugian negara kumulatif akibat mega korupsi dari 2013-2022 mencapai Rp 238,14 triliun. Angka ini semakin melonjak dengan terungkapnya kasus-kasus besar, seperti korupsi tata niaga timah dengan kerugian fantastis mencapai Rp 300 triliun, kasus BLBI sebesar Rp 138 triliun, Duta Palma sebesar Rp 78 triliun, serta kasus Asabri dan Jiwasraya yang merugikan negara masing-masing Rp 22,7 triliun dan Rp 16,8 triliun. Kemudian terbaru lainnya seperti PT Pertamina 2018-2023 mencapai Rp 968,5 triliun, dan PT Timah dengan kerugian negara Rp 300 triliun mencerminkan betapa mengerikannya praktik kleptokrasi ini. Kasus-kasus ini menegaskan bahwa patgulipat adalah sebuah kejahatan terstruktur yang dilakukan oleh oknum-oknum yang seharusnya menjaga moralitas dan etika kekuasaan.

Ironisnya, saat masyarakat berjuang menghadapi kenaikan harga kebutuhan pokok, para elite justru sibuk memikirkan diri sendiri. Contoh paling mencolok adalah kerusuhan di DPR per Agustus 2025, yang dipicu oleh rencana kenaikan gaji dan tunjangan anggota dewan. Di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu, wacana ini memicu kemarahan publik dan mempertanyakan moralitas serta kepedulian para wakil rakyat. Kejadian ini mencerminkan mentalitas kleptokratis, kekuasaan digunakan bukan untuk melayani, melainkan untuk memperkaya diri.

Korupsi: Wujud Arogansi
Fenomena kleptokrasi secara akademis dapat dijelaskan melalui teori kecurangan oleh Crowe Howarth (2011) yang dikenal sebagai Fraud Pentagon Theory (FPT). Teori ini merupakan pengembangan dari Fraud Triangle Theory (FTT) yang dikenalkan Donald R. Cressey. Teori yang dikembangkan Howarth (FPT) mengidentifikasi lima faktor pendorong kecurangan atau korupsi: Pertama, tekanan (pressure): dorongan finansial atau pribadi yang membuat seseorang melakukan kecurangan.

Berita Terkait :  Datangi Kantor BKPSDM, Honorer Tulungagung Pastikan Pengangkatan PPPK Paruh waktu

Kedua, kesempatan (opportunity): celah dalam sistem kontrol internal yang memungkinkan penyelewengan. Ketiga, rasionalisasi (rationalization): pembenaran diri bahwa tindakan tersebut tidak salah atau bahwa mereka “berhak” atas dana tersebut. Keempat, kompetensi (competence): keahlian pelaku dalam menjalankan skema kecurangan tanpa terdeteksi. Kelima, arogansi (arrogance): sikap superioritas dan keyakinan bahwa mereka tidak akan tertangkap karena memiliki kekuasaan.

Jika ditarik dalam konteks korupsi yang memanfaatkan jabatan atau sistem negara erat kaitannya dengan poin kelima, yaitu arogansi. Selain itu, mereka memiliki kompetensi untuk merekayasa proyek dan laporan keuangan, serta kesempatan yang tercipta dari lemahnya pengawasan. Akibatnya, mereka dapat terus melakukan “patgulipat” tanpa rasa takut.

Dampak Sosial Problem Kleptokrasi
Dampak sosial dari kleptokrasi sangatlah nyata. Korupsi yang merajalela menciptakan ketidakadilan dan ketidaksetaraan (inequality) yang semakin meluas. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan justru mengalir ke kantong-kantong pribadi para elite. Ini mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah (public distrust), yang pada akhirnya dapat memicu instabilitas politik dan sosial. Ketika rakyat merasa bahwa mereka tidak terwakili dan hak-haknya dicuri, ikatan sosial akan melemah dan disintegrasi bangsa menjadi ancaman nyata.

Secara hukum, praktik korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pelaku korupsi dapat dijerat dengan Pasal 2 yang mengatur perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara, dengan ancaman hukuman penjara hingga seumur hidup.

Berita Terkait :  Surabaya Terbaik Pertama Keterbukaan Informasi Publik se-Jawa Timur

Kleptokrasi bukanlah sekadar kata, melainkan sebuah realitas pahit yang merusak fondasi bangsa. Patgulipat telah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti demokrasi dari dalam, mengubahnya menjadi sistem yang melayani segelintir elite. Dengan mengacu pada teori-teori seperti Fraud Pentagon Theory, kita dapat memahami bahwa korupsi bukan hanya masalah moral, melainkan sebuah kejahatan terstruktur yang melibatkan tekanan, kesempatan, rasionalisasi, kompetensi, dan arogansi kekuasaan.

Oleh karena itu, memerangi kleptokrasi membutuhkan upaya sistematis dari seluruh elemen bangsa, mulai dari penegakan hukum yang tegas hingga partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan. Hanya dengan demikian, kita bisa mewujudkan Indonesia yang bersih, adil, dan sejahtera, terbebas dari cengkeraman para “pencuri” yang bersembunyi di balik kekuasaan.

———- *** ————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru