Kenaikan harga beras, bagai menantang Bulog. Harganya semakin jauh dari HET (Harga Eceran Tertinggi), tetapi penggelontoran beras SPHP masih sangat minimalis. Padahal Kementerian Pertanian menyatakan panen surplus besar. Stok cadangan pemerintah juga aman. Bulog mencatat “penguasaan” terbesar selama 50 tahun. Namun harga beras di sentra padi tetap meninggi. Tak terkecuali di Jawa Timur, sebagai penyangga beras utama nasional. Harga beras medium umumnya sudah di atas Rp 14 ribu.
Prediksi konsumsi beras nasional tahun 2025 ditaksir mencapai 31,14 juta ton (menurun dibanding tahun 2024). Pasar diperkirakan bakal dipenuhi dengan hasil panen sebanyak 33,8 juta ton. Sehingga surplus. Anehnya, harga beras naik. Berdasar catatan Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan beras terjadi di 200 kabupaten dan kota. Bahkan di Indonesia Timur, dilaporkan sudah mencapai Rp60 ribu per-kilogram. Begitu pula data Indeks Perkembangan Harga (IPH) pada minggu ketiga Agustus, tercatat 14 provinsi mengalami kenaikan.
Kenaikan harga beras disebabkan spekulasi. Konon Bulog memborong hasil panen. Ditambah penggilingan padi lokal (tingkat desa dan kecamatan) juga maksimal memborong beras. Menyebabkan pedagang beras, dan perusahaan besar beras dalam kemasan, kalah bersaing. Sehingga memperoleh “sisa stok” milik petani, yang harus dibeli mahal, sesuai HPP gabah kering panen, sebesar Rp 6.500,- per-kilogram.
Dalam bentuk beras (setelah digiling, dan diolah) harga produksi bisa mencapai Rp 13 ribu. Jika ditambah kemasan, maka harga jual beras dalam kemasan pasti di atas Rp 14 ribu. Ironisnya, HPP gabah tidak dibarengi kenaikan HET (Harga Eceran Tertinggi) beras. Kalangan DPR sudah minta pemerintah segera melepas cadangan beras Bulog, sebagai program SPHP (Stabilitas Pasokan Harga Pangan). Termasuk pelaksanaan operasi pasar sembako murah di kantor pos, cukup berhasil. Sangat diminati, dan tidak menimbulkan antrean mengular.
Realitanya, pelaksanaan SPHP sangat minimalis. Sampai pekan ketiga Agustus 2025, masih sekitar 8%. Konon Bulog memiliki stok CBP (Cadangan Beras Pemerintah) saat ini masih sebanyak 3,92 juta ton. Termasuk stok komersial sebanyak hampir 9 ribu ton. Nampaknya, kalangan spekulan tidak percaya benar stok Bulog. Bahkan menduga, gudang Bulog sudah banyak yang kosong. Maka Bulog harus membuktikan, bahwa srtok masih melimpah. SPHP wajib segera digelontor, agar harga beras terkendali.
Saat ini Bulog memiliki mitra baru distribusi beras tingkat lokal (perdesaan). Yakni, Koperasi Desa Merah Putih (KDMP). Seperti BUM-Des (Badan Usaha Milik Desa), memiliki modal yang dikucurkan dari APBN, berupa Dana Desa. Nilainya, minimal Rp 1 milyar per-tahun. KDMP juga bisa memesan beras ke Bulog daerah. Sehingga KDMP bisa bersaing dengan pedagang beras di pasar.
Pemerintah (dan daerah) memiliki tanggungjawab me-normal-kan harga beras (sesuai HET). Mandatory (kewajiban) tercantum dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Pada pasal 13, dinyatakan, “Pemerintah berkewajiban mengelola stabilitas pasokan dan harga Pangan Pokok, mengelola cadangan Pangan Pokok Pemerintah, dan distribusi Pangan Pokok untuk mewujudkan kecukupan Pangan Pokok yang aman dan bergizi bagi masyarakat.” Nyata-nyata terdapat frasa kata “stabilitas pasokan dan harga Pangan Pokok.”
Jelas bermakna ke-tersedia-an, dan ke-terjangkau-an harga bahan pangan pokok. Tidak boleh naik me-liar. Diperlukan operasi pasar (OP). Tetapi pada suasana perekonomian rakyat “tidak baik-baik saja,” dibutuhkan OP dengan komoditas plus. Selain beras, juga diperlukan Sembako (sembilan bahan pokok) lainnya. Termasuk minyak goreng, yang jauh ditas HET. OP bisa disokong berbagai pihak, kalangan BUMN, dan swasta.
——— 000 ———


