28 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Instrumen Fiskal antara Rasionalitas Ekonomi dan Sensitivitas Politik

Oleh :
Siti Aminah
Penulis adalah dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga

Kebijakan Kenaikan PBB-P2

Kekisruhan yang terjadi di Pati, Jawa Tengah menjadi petunjuk kebijakan desentralisasi fiskal bukan semata-mata instrumen fiskal, namun kebijakan politik yang merespon kebijakan efisiensi pemerintah pusat ke daerah. Ada kerumitan tersendiri dari kenaikan PBB-P2 (Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan) yang secara terbuka diumumkan oleh Bupati Kepala Daerah Kabupaten Pati, Jawa Tengah menjadi kasus kisruh politik dan pemerintahan menarik.

Kebijakan desentralisasi fiskal yang telah mengakar di negara-negara berkembang. Sebagian besar negara berkembang kini menempatkan penguatan pemerintah daerah dalam agenda kebijakan pembangunan. Ada banyak pernyataan, rencana, dan bahkan janji-janji politik, namun sebenarnya telah ada ketergesa-gesaan untuk memberikan kewenangan perpajakan yang signifikan kepada pemerintah di daerah (subnational) dan meningkatkan otonomi pengeluaran, termasuk di Indonesia. Kenaikan PBB-P2 menjadi bagian dari kebijakan desentralisasi fiskal. Mungkin kondisi ekonomi belum yang tepat bagi daerah-daerah otonom untuk mengadopsi skema desentralisasi yang mencakup semuanya, mungkin kebebasan politik terlalu baru dalam beberapa kasus, atau mungkin gagasan itu masih perlu masih membutuhkan waktu untuk membiasakan diri. Apapun alasannya, tanda-tanda bahwa daerah-daerah otonom sekarang siap untuk untuk bergerak maju dengan menerapkan desentralisasi fiskal terus bermunculan.

Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi fiskal berarti mengalihkan kekuasaan fiskal ke tingkat pemerintahan di bawah pusat, seperti negara bagian atau provinsi, kota atau kabupaten, dan bahkan pemerintah daerah tingkat empat. Berdasar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, paradigma hubungan pusat-daerah di Indonesia mengalami transformasi fundamental. Desentralisasi tidak hanya memberikan kewenangan administratif, tetapi juga kewenangan fiskal kepada daerah. Salah satu bentuk nyata kewenangan fiskal ini adalah penyerahan sebagian sumber penerimaan pajak kepada pemerintah daerah. Ini adalah kebijakan fiskal dan setiap pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk itu. Kenaikan PBB-P2 dengan besaran yang berbeda antardaerah otonom telah dipahami masyarakat lokal sebagai kebijakan yang di luar nalar.

Berita Terkait :  Dorong Akses Transportasi Inklusif, Pembuatan SIM D Penerima Manfaat Disabilitas Daksa

Argumen yang mendukung desentralisasi fiskal adalah bahwa hal itu meningkatkan penyediaan layanan publik karena pemerintah daerah memiliki pemahaman yang lebih baik tentang preferensi dan kebutuhan lokal dibandingkan dengan pemerintah pusat (Oates 1999). Desentralisasi fiskal di Indonesia telah mencapai kemajuan pesat dalam dua dekade terakhir. Tonggak penting dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia dimulai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Pemberlakuan kedua undang-undang tersebut ditandai sebagai “Big Bang” desentralisasi fiskal di Indonesia, yang menandai dimulainya era baru otonomi daerah dengan mendelegasikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola anggaran keuangannya, baik dari segi pendapatan maupun belanja. Bahkan Indonesia sering disebut sebagai contoh pendekatan “big-bang” terhadap desentralisasi fiskal.

Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang mengatur dasar pengenaan PBB-P2 adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Undang-undang ini membuat banyak penyesuaian teknis yang penting terhadap kerangka fiskal antar pemerintah. Tujuan yang lebih luas dan implisit dari undang-undang ini jelas untuk memfasilitasi kontrol pemerintah pusat terhadap daerah.

Desentralisasi Fiskal Bukan Obat Mujarab Pembangunan
Desentralisasi fiskal menawarkan kesempatan untuk meningkatkan penyediaan layanan, meningkatkan laju mobilisasi pendapatan, melibatkan warga negara lebih dekat dalam proses pemerintahan, dan membantu menyelesaikan konflik di daerah-daerah yang terkena dampaknya. Kenyataannya, desentralisasi fiskal bukanlah obat mujarab untuk masalah-masalah pembangunan ekonomi.Justru dari kasus di Pati ini. Dampak potensialnya cukup nyata, berupa aksi-aksi politik warga negara yang masif yang merembet ke ranah politik.

Berita Terkait :  Tekan Stunting, Pemkab Situbondo Canangan PKK Sehat Lestari Berencana

Banyak analis keuangan publik yang jelas-jelas meyakini bahwa hal ini belum terjadi (Lewis, 2018). Dalam konteks ini, ada dua masalah umum yang disoroti: (1) mobilisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tidak memadai dan ketergantungan kabupaten pada transfer pusat; dan (2) kegagalan sistem antarpemerintah dalam menyetarakan sumberdaya fiskal di seluruh kabupaten secara memadai dan mendukung efisiensi belanja daerah. Selain cacat ‘teknis’ dalam kerangka kerja antarpemerintah ini. Selanjutnua, para peneliti lain telah menekankan pentingnya kendala terkait tata kelola pemerintahan dalam meningkatkan hasil fiskal dan layanan daerah, terutama korupsi (von Luebke, 2009; Mietzner, Kutipan 2015; Lewis dan Hendrawan, 2019) dan klientelisme (Aspinall dan Sukmajati, 2016; Aspinall dan Berenschot, 2019).

Dengan demikian, kebijakan menaikkan PBB-P2 dalam konteks desentralisasi fiskal untuk alasan meningkatkan pelayanan publik dan PAD mengandung risiko sosial dan politik bagi pemerintah daerah (Davis dkk., 2007). Meskipun risiko langsung terhadap anggaran pemerintah pusat tampak terbatas, risiko tersebut dapat meningkat seiring waktu sebagai akibat dari (1) cakupan sektor pemerintah yang tidak memadai, yang dapat mendistorsi penilaian posisi fiskal; (2) kerangka desentralisasi yang lemah dengan sistem informasi yang terbatas; dan (3) ketergantungan pemerintah daerah yang tinggi terhadap transfer yang berpotensi fluktuatif.

Bird & Slack (2004) menekankan bahwa kebijakan pajak di tingkat lokal sering kali dipengaruhi oleh kepentingan elektoral kepala daerah. Kenaikan pajak bisa dilihat sebagai bentuk keberanian politik, tetapi juga bisa menjadi bumerang apabila tidak diiringi dengan peningkatan kualitas layanan publik. Di sisi pendapatan, transfer fiskal telah secara signifikan mendukung pendapatan APBD. Namun, hal ini seharusnya tidak menyurutkan pemerintah daerah untuk mencari pendapatan yang lebih berkelanjutandari sumber daya mereka sendiri. Ada faktor yang tidak dipertimbangkan dengan bijak saat keputusan menaikkan PBB yaitu kemiskinan masyarakat. Ini yang kemudian menimbulkan aksi penolakan yang masif di Kabupaten Pati. Ketika pemerintah daerah diberi kewenangan perpajakan, atau lebih banyak tanggung jawab pengeluaran dan beberapa otoritas peminjaman, daerah-daerah berpenghasilan tinggi berada pada posisi terbaik untuk memanfaatkan kewenangan baru ini. Mereka memiliki kapasitas fiskal untuk memungut pajak dan biasanya memiliki kemampuan yang lebih baik untuk memungut pajak, kemampuan teknis untuk menyediakan lebih banyak layanan publik, dan potensi pembayaran kembali yang memungkinkan pinjaman untuk membiayai perbaikan modal.

Berita Terkait :  Forkopimda Kota Mojokerto Pastikan Bapok Aman Jelang Lebaran

Desentralisasi fiskal di Indonesia menekankan pemberian diskresi kepada pemerintah daerah dalam hal pengeluaran, sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah, sementara pendapatan daerah sebagian besar masih dikendalikan oleh pemerintah pusat untuk menjamin integritas nasional dan negara. Partisipasi warga negara adalah sebuah keharusan untuk menjalankan desentralisasi. Hal ini menjadi ukuran standar bagi stabilitas politik lokal-nasional. Desentralisasi fiskal dapat menawarkan kompromi antara status quo dan kasus-kasus korupsi yang lazim dijalankan oleh aktor-aktor pemerintahan dalam memahami desentralisasi. Tak diingkari, ada tujuan implisit dari UU No. 1 tahun 2022 adalah untuk memfasilitasi lebih banyak kendali pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah.

Naiknya kendali tersebut dioperasikan melalui sejumlah alat keuangan publik standar, dengan penekanan khusus terhadap insentif kinerja, peruntukan penerimaan, dan mandat anggaran. Ada kemungkinan intervensi atas undang-undang tidak dapat mencapai tujuan awal untuk meningkatkan persamaan distribusi transfer antar daerah dan menambah mobilisasi pajak pemerintah di tingkat daerah, efisiensi anggaran, dan hasil pelayanan publik. Justru membangkitkan perlawanan rakyat di tingkat lokal.

———— *** —————

Berita Terkait

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru