28 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Belajar dari Gejolak Politik di Pati, Ketika Kata Menggerogoti Imunitas Kekuasaan

Oleh :
Sukma Sahadewa
Pemerhati Kesehatan, Hukum & Politik

Dalam politik, kekuasaan yang sehat ibarat tubuh manusia yang bugar. Ia memiliki otot kebijakan yang kuat, tulang birokrasi yang kokoh, dan darah legitimasi yang mengalir deras dari kepercayaan publik. John Locke pernah mengatakan “The end of law is not to abolish or restrain, but to preserve and enlarge freedom”. Namun kebebasan itu hanya dapat diperbesar jika kepercayaan rakyat tetap terjaga. Tanpa kepercayaan, tubuh kekuasaan akan mulai kehilangan vitalitasnya sedikit demi sedikit.

Psikologi politik mengajarkan bahwa setiap kata yang keluar dari mulut pemimpin adalah stimulus yang membentuk reaksi emosional publik. Kata kata bukan sekadar information delivery tetapi juga emotion trigger yang dapat memperkuat simpati atau memicu kemarahan. Di Pati, satu kalimat yang dimaksudkan untuk menunjukkan keteguhan justru menjadi sumber public backlash.

Ketika seorang bupati menyatakan tidak gentar menghadapi puluhan ribu orang, publik tidak hanya mendengar makna literalnya. Mereka memprosesnya melalui memori kolektif, membandingkannya dengan tutur sebelumnya, dan menafsirkannya dengan bias kognitif. Inilah confirmation bias bekerja. Mereka yang telah memiliki keraguan menjadikannya bukti bahwa pemimpin tidak berpihak. Fenomena ini kemudian berkembang menjadi backfire effect di mana niat memperbaiki citra malah memperkuat persepsi negatif.

Sosiologi politik memberi kita pemahaman bahwa kekuasaan berdiri di atas social contract yang tidak hanya dijaga melalui hukum, tetapi juga melalui bahasa, gestur, dan ritus sosial. Dalam budaya Jawa, pemimpin ideal adalah pamong yang menjaga harmoni dan merawat rasa aman rakyat. Ketika bahasa dan sikap pemimpin memutus ritus komunikasi ini, yang retak bukan sekadar hubungan personal tetapi fondasi legitimasi sosial yang menopang kekuasaan itu sendiri.

Berita Terkait :  Job Fair Inklusif Jawa Timur 2025, Siapkan 4.532 Lowongan Kerja

Anatomi politik menggambarkan tubuh kekuasaan sebagai kesatuan tiga unsur utama. Otot kebijakan menggerakkan program pembangunan. Tulang birokrasi menopang struktur yang memungkinkan kekuasaan bekerja. Darah legitimasi mengalirkan energi untuk mempertahankan keberlangsungan. Otot dan tulang dapat tetap ada, tetapi tanpa darah legitimasi, tubuh kekuasaan akan mengalami systemic collapse.

Di sinilah konsep kesehatan politik menjadi penting. Political health adalah kondisi ketika hubungan antara penguasa dan rakyat terjaga dalam keseimbangan yang sehat. Ia tercermin dalam daya tahan menghadapi kritik, fleksibilitas dalam beradaptasi, dan kecepatan dalam merespons krisis. Seperti tubuh manusia, kesehatan politik memerlukan preventive care. Empati adalah vitaminnya, bahasa yang merangkul adalah proteinnya, dan konsistensi tindakan adalah oksigennya. Kata kata yang diucapkan tanpa sensitivitas adalah junk food politik yang terasa memuaskan sesaat namun merusak daya tahan dalam jangka panjang.

Permintaan maaf bisa menjadi political vitamin yang memulihkan kondisi. Namun, jika publik merasakannya sebagai strategi bertahan hidup semata, khasiatnya hilang. Dalam pragmatic analysis, ini menjadi mismatch antara niat yang ingin disampaikan dan makna yang diterima rakyat. Sama seperti obat kadaluarsa, ia tidak hanya kehilangan efektivitas tetapi juga dapat menimbulkan efek samping berupa semakin turunnya kepercayaan.

Abraham Lincoln pernah berkata “Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man’s character, give him power”. Karakter sejati seorang pemimpin terlihat bukan saat ia berdiri tegak menantang rakyatnya, tetapi ketika ia bersedia menundukkan kepala untuk mendengarkan mereka.

Berita Terkait :  Hukum Tak Tegas, Dokter Jadi Korban

Pelajaran dari Pati jelas. Kesehatan politik adalah fondasi kekuasaan yang tahan lama. Ia memerlukan perawatan terus menerus melalui komunikasi yang tulus, keterbukaan terhadap kritik, dan kesediaan mengakui kesalahan. Anatomi politik mengajarkan bahwa menjaga darah legitimasi sama pentingnya dengan menguatkan otot kebijakan dan mempertahankan tulang birokrasi. Tanpa itu, tubuh kekuasaan akan melemah meski secara formal ia masih berdiri.

Pada akhirnya, the ultimate immunity dalam politik bukanlah kekuatan yang membuat pemimpin kebal terhadap kritik, melainkan kepercayaan yang membuat rakyat tetap berada di sisinya bahkan ketika badai kritik datang. Kepercayaan itu lahir dari rasa memiliki, bukan dari rasa takut.

———– *** ————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru