26 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

80 Tahun Merdeka, Tapi Masih Terjajah Digital Fatigue?

Oleh :
Nur Kamilia
Dosen Hukum di STAI Nurul Huda Situbondo

Delapan puluh tahun sudah Indonesia merdeka. Bangsa ini telah lepas dari penjajahan fisik, bebas menentukan arah dan pilihan hidupnya sendiri. Tapi, di balik semua pencapaian itu, ada satu bentuk “penjajahan baru” yang tak kasat mata dan sering kali tidak kita sadari: digital fatigue kelelahan akibat paparan berlebihan terhadap dunia digital.

Coba lihat rutinitas harian kita: bangun tidur langsung mengecek ponsel, makan sambil scroll media sosial, bekerja sambil berpindah tab dari satu aplikasi ke lainnya, hingga malam pun tak lepas dari layar. Dalam keluarga, fenomena ini semakin terasa: momen makan bersama digantikan dengan semua orang sibuk di gadget masing-masing, obrolan dengan pasangan tergantikan oleh suara notifikasi grup, dan anak-anak lebih mengenal karakter game daripada mendengar dongeng dari orang tua.

Digitalisasi memang membawa manfaat besar, dari akses informasi, hiburan, hingga kemudahan kerja. Tapi ketika batas antara online dan offline kabur, kita mulai kehilangan hal-hal yang dulu menjadi inti kehidupan: kehadiran, perhatian, dan keintiman antar manusia.

Digital Fatigue dan Retaknya Relasi di Rumah
Dampak digital fatigue paling terasa di ruang yang seharusnya paling hangat: rumah tangga. Banyak pasangan yang merasa “dekat secara digital” tapi jauh secara emosional. Mereka saling kirim pesan, saling tag di Instagram, tapi jarang benar-benar saling mendengar atau duduk berbincang tanpa gangguan layar.

Berita Terkait :  Komisi A DPRD Surabaya Dorong IKD Terkoneksi dengan Seluruh Layanan

Kelelahan digital juga membuat emosi cepat naik. Pikiran terus terpecah, tubuh tidak sempat istirahat, dan akhirnya muncul iritabilitas mudah marah, mudah tersinggung, dan sulit fokus saat bersama keluarga. Orang tua kehilangan kesabaran, anak merasa diabaikan, dan pasangan merasa tidak diprioritaskan. Situasi ini menjadi bibit konflik yang makin sering terjadi di rumah-rumah modern.

Belum lagi beban pekerjaan yang tidak pernah benar-benar selesai karena sistem kerja hibrida. Rumah yang dulu jadi tempat pulang dan tenang, kini malah jadi kantor kedua, ruang sekolah, sekaligus “pusat stres”. Inilah bentuk penjajahan yang tidak tampak tapi nyata: kita seakan tak pernah benar-benar “lepas dari tugas”, bahkan di hari libur atau akhir pekan.

Memerdekakan Diri: Menata Ulang Gaya Hidup Digital di Rumah
Jika dulu perjuangan kemerdekaan adalah soal mengangkat senjata, hari ini perjuangan itu berubah: menjadi sadar kapan harus online, kapan harus bermain HP dan kapan perlu benar-benar hadir untuk diri sendiri dan keluarga.

Merdeka dari digital fatigue bukan berarti memusuhi teknologi, tapi mengatur ulang cara kita menggunakannya. Beberapa langkah kecil bisa jadi awal yang bermakna:

” Waktu tanpa layar (screen-free time): Tentukan jam-jam tertentu di rumah untuk benar-benar bebas dari gawai misalnya saat makan, sebelum tidur, atau di akhir pekan.

” Ruang tanpa gadget: Jadikan ruang keluarga atau kamar tidur sebagai zona bebas layar, agar bisa fokus pada obrolan, bermain, atau hanya diam bersama.

Berita Terkait :  Disperindag dan Baznas Sidoarjo, Bantu 297 Pedagang Korban Kebakaran Pasar Krian

” Obrolan harian: Sediakan waktu 15-30 menit setiap hari untuk ngobrol dengan pasangan atau anak tanpa distraksi, walau hanya membahas hal-hal ringan.

” Jadwal istirahat digital: Seperti tubuh, pikiran juga butuh jeda. Matikan notifikasi yang tidak perlu, dan jangan bawa pekerjaan ke semua ruang hidup.

” Teladan orang tua: Anak belajar dari contoh. Jika orang tua bisa membatasi layar dan hadir utuh di depan anak, mereka akan lebih mudah meniru.

Di tengah perayaan 80 tahun Indonesia merdeka, mungkin sudah saatnya kita bertanya: kemerdekaan seperti apa yang kita rayakan? Jika dulu kemerdekaan berarti bebas dari tekanan fisik dan penguasaan asing, kini kemerdekaan bisa berarti bebas dari dominasi layar, dari tekanan untuk selalu aktif secara daring, dan dari keterasingan dalam ruang privat kita sendiri.

Hadir secara utuh di tengah keluarga, menyisihkan waktu untuk jeda digital, dan membangun kembali kelekatan yang hangat itulah kemerdekaan yang layak diperjuangkan di masa kini. Karena sejatinya, bangsa yang kuat bermula dari keluarga yang sehat, baik secara fisik maupun mental.

————– *** —————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru