Oleh :
Puguh Wiji Pamungkas
Anggota Komisi E DPRD Provinsi Jawa Timur dari PKS
Saat ini Komisi E Bidang Kesejahteraan Masyarakat DPRD Propinsi Jawa Timur sedang menginisiasi regulasi baru yang sangat penting dan strategis bagi masa depan Jawa Timur ke depan, yakni Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak. Pengajuan Raperda ini merupakan langkah saat ini yang sangat penting dan strategis di tengah kondisi maraknya persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak di masyarakat. Saat ini kekerasaan perempuan dan anak tidak mengenal tempat dan waktu. Perempuan dan anak menjadi kelompok sosial di masyarakat yang paling rentan terhadap tindakan kekerasan; baik kekerasan fisik maupun pisikis, baik di dunia nyata maupun di dunia virtual.
Data dan fakta yang disajikan oleh berbagai lembaga, baik pemerintah maupun organsaisi masyarakat, termasuk data dan fakta yang disajikan dalam Nota Penjelasan Raperda dimaksud, menunjukkan bahwa kondisi kekerasan terhadap perempuan dan anak sudah sangat mengkhawatirkan. Kuantitas dan kualitas kekerasan terhadap perempuan dan anakpun semakin marak dan meningkat, menyusul berkembang aktivitas sosial masyarakat di dunia digital (baca: Cyberbullying). Data dari dashboard Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) Kemen PPPA per Januari hingga November 2023 menyebutkan terdapat 15.120 kasus kekerasan terhadap anak dengan 12.158 kasus dialami anak perempuan dan 4.691 kasus dialami anak laki-laki. Kemudian ada sebanyak 401.975 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2023. Data ini mengalami penurunan 12 persen dibandingkan pada tahun 2022 yang sebanyak 457.895 kasus.
Sedangkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak banyak terjadi di Jawa Timur. Berdasarkan Simfoni PPA Kemen PPPA, pada tahun 2021 terjadi 901 kasus dan pada tahun 2022 naik menjadi 968 kasus. Pada tahun 2023 kembali naik menjadi 972 kasus dan pada tahun 2024 turun menjadi 771 kasus. Bila dilihat dari bentuk kekerasan terhadap Perempuan yang paling banyak adalah kekerasan fisik, lalu kekerasan psikis dan kekerasan seksual.
Karena itu wajar jika, saat ini kita sedang dihadapkan para kondisi “darurat kekerasan peremuan dan anak”. Kondisi ini tentu perlu untuk direspon secara cepat, tepat dan terukur oleh pemerintah. Hal ini untuk menunjukkan bahwa negara/pemeritnah hadir di tengah masyarakat atas persoalan maraknya kekerasan perempuan dan anak ini. Dan hadirnya Regulasi daerah yang “affirmative” terhadap perempuan dan anak korban kekerasan adalah sebuah keniscayaan.
Dalam kehidupan bangsa dan negara, perempuan dan anak adalah pondasi dan masa depan bangsa. Ada adagium bijak yang menyatakan bahwa perempuan adalah tiang negara. Perempuan memiliki peran, posisi sentral dan kekuatan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan kaum perempuan (baca: ibu) adalah orang yang memiliki peran sentral dalam mendidik dan menyiapkan generasi-generasi cerdas dan tangguh untuk kemajuan bangsa dan negara. Selaras dengan sya’ir Hahidz Ibrahim yang berbunyi; Al Ummu madrasah al ‘Ula, idza a’dadtaha sya’ban thayyiban al ‘araq. Artinya ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anak-anaknya.
Urgensi Perlindungan Perempuan dan Anak
Begitu penting dan strategisnya keberadaan perempuan dan anak bagi kehidupan bangsa dan negara. Konstitusi (baca: UUD 1945) sampai mengatur tentang keduanya dalam bab Hak Asasi Manusia pasal 28. Bahkan secara eksplisit, keberadaan anak disebutkan dalam pasal 28B ayat 2; Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal ini ini mengandung pengakuan, jaminan dan perlindungan serta pemenuhan hak-hak warga negara (baca: hak asasi manusia). Salah satunya hak warga negara untuk bebas dari rasa takut dan tindak kekerasan dalam bentuk apapun yang sewenang wenang. Karena itu, negara/pemerintah wajib menjaga dan melindungi perempuan dan anak dari berbagai tindakan ancaman apapun, termasuk tindakan kekerasan
Raperda Perlindungan Perempuan dan anak sudah menjadi kebutuhan yang sangat urgen. Pertama karena faktor atau pertimbangan yuridis dan kedua faktor sosiologis. Faktor yuridis, selain karena hadirnya peraturan perundangan-udangan yang baru (update), juga karena keberadaan Perda yang dimiliki Provinsi Jawa Timur, yakni Perda Nomor 16 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan dan Perda Nomor 2 Tahun 2014 tentang Sistem Penyelenggaraan Perlindungan Anak, dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan peraturan perundang-undangan dan kebutuhan masyarakat, terutama terkait dengan kompleksitas persoalan kekerasan perempuan dan anak di masyarakat.
Sementara itu, faktor atau pertimbangan sosiologis meurjuk pada data dan fakta sosiologis terkait dengan persoalan perempuan dan anak yang semakin kompleks seiring dengan perkembangan dan masyarakat dan teknologi infomasi, khususnya yang terkait dengan masalah tindak kekerasan terhadap peremouand dan anak, yang semakin hari semakin memprihatinkan. Karena itu, urgen diperlukan kebutuhan hukum yang update atau yang baru dan relevan. Keberadaan regulasi lama perlu diganti dengan cara menggabungkan pengaturan masalah perempuan dan anak, agar lebih komprehensif dan efisien, dalam satu Perda tentang Penyelenggaran perlindungan Peremupan dan anak. Langkah ini cukup tepat, agar pengaturannya lebih efesien dan menghindari tumpang tindih pengaturan.
Satu fenonena yang cukup memprihatinkan adalah kekerasan di linkungan pendidikan dan satuan pesantren. Kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan menurut UU No.35 tahun 2014 dapat berbentuk fisik, psikis, seksual, penelantaran dan bullying. Pemerintah telah memiliki beragam payung untuk penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan, yaitu: UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual; Permendikbudristek No.46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan; Peraturan Menteri Agama No.73 Tahun 2022 dan Kepdirjen Pendis No.1262 Tahun 2024 tentang Juknis Pengasuhan Ramah Anak di Pesantren.
Hadirnya Perda baru Perlindungan Perempuan dan anak di Jawa Timur ini, akan menambah payung hukum bagi perlindungan perempuan dan anak di tingkat daerah. Perda baru ini akan menciptakan sistem perlindungan yang lebih komprehensif, efisien, dan efektif bagi anak-anak dan perempuan di Jawa Timur. Perlindungan Perempuan dan anak tidak hanya fokus pada saat terjadi kekerasan, tetapi juga mencakup upaya pencegahan. Penggabungan kedua Perda memungkinkan pendekatan yang lebih holistik dalam mencegah kekerasan terhadap anak dan Perempuan.
Dengan demikian, Perda baru ini akan dapat diimplementasikan secara konsiten baik dalam upaya dalam pencegahan dan penanganan terhadap kekerasan perempuan dan anak, baik di dalam makuoun di luar lingkungan pendidikan di Jawa Timur. diharpakan hadirnya Perda baru ini akan dapat mereduksi praktik dan tindakan kekerasan teradap perempuan dan anak di Jawa Timur.
————— *** ——————-


