Pasuruan, Bhirawa
Pemprov Jawa Timur terus berkomitmen dalam hal mewujudkan penanggulangan bencana yang inklusif. Wujud tersebut dituangkan dalam meresmikan Unit Layanan Disabilitas Penanggulangan Bencana (ULD PB) dari BPBD Prov Jawa Timur bekerja sama dengan Pemkab Pasuruan.
Kalaksa BPBD Jawa Timur, Gatot Soebroto menjelaskan peresmian ULD PB sebagai upaya menempatkan kelompok disabilitas sebagai subjek aktif dalam setiap tahapan penanggulangan bencana.
“Kami ingin para penyandang difabel dilibatkan secara langsung dan bermakna dalam upaya kebencanaan. Tidak hanya di Pasuruan, tapi kami juga meluncurkan ULD PB di lima kabupaten, yaitu di Pacitan, Lumajang, Sampang dan Malang,” ujar Gatot Soebroto, kemarin.
Dalam peluncuran tersebut, Gatot meminta seluruh BPBD di daerah untuk memastikan ULD PB benar-benar berjalan efektif.
Yaitu, sesuai UU Nomor 14 Tahun 2014, difabel harus mendapatkan perlindungan dan partisipasi dalam setiap aspek penanggulangan bencana.
“Tentu, difabel harus punya akses, fasilitas serta perlakuan yang adil saat terjadi bencana. Makanya, kami siapkan pedoman kerja, dokumen resmi serta sistem sosialisasi yang bisa dipahami semua pihak,” imbuh Gatot Soebroto.
Di sisi lain, BPBD juga diminta menyiapkan sarana dan prasarana kebencanaan yang ramah difabel, termasuk sistem peringatan dini (EWS) yang mudah diakses. Teknologi ini harus bisa digunakan oleh penyandang disabilitas dengan aman dan efektif.
“Mereka itu harus paham informasi bencana, termasuk harus bisa bisa melakukan tindakan tepat saat terjadi bencana,” kata Gatot Soebroto.
Gatot juga optimis kaum difabel akan lebih mudah mengakses pelatihan dan informasi kebencanaan.
Hingga hal itu bisa menjadi wadah kolaborasi antar lembaga dan komunitas yang peduli terhadap penanggulangan bencana.
“Saat ini mereka lebih mudah mendapatkan pelatihan. Ini awal kolaborasi positif antar lembaga dan komunitas peduli difabel dan bencana,” urai Gatot Soebroto.
Sementara itu, Wakil Bupati Pasuruan, HM Shobih Asrori menyatakan peluncuran ULD PB menjadi tonggak penting penanggulangan bencana yang adil.
Ditegaskan, tak boleh ada kelompok masyarakat yang tertinggal dalam menghadapi risiko bencana.
“Difabel bisa menyelamatkan diri sendiri dengan fasilitas yang sesuai kebutuhan mereka. Dan ini menjadi awal yang menarik dalam penanggulangan bencana yang inklusif dan berkeadilan,” imbuh Gus Shobih, sapaan akrabnya. [hil.gat]


