Oleh :
Prima Trisna Aji
Dosen prodi Spesialis Medikal Bedah Universitas Muhammadiyah Semarang
Dalam era digital yang serba cepat pada saat ini, anak-anak bukan hanya menjadi pengguna pasif media sosial, tetapi juga sasaran empuk bagi strategi pemasaran produk makanan tidak sehat. Dari TikTok hingga YouTube Shorts, algoritma bekerja cerdas memunculkan iklan atau konten makanan tinggi gula, lemak, dan garam yang dibungkus dalam kemasan yang menarik dan menghibur. Sayangnya, yang tampak lucu dan kekinian itu sering kali membawa dampak serius bagi kesehatan generasi muda kita saat ini.
Data Kementerian Kesehatan melalui Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mengungkapkan bahwa sebanyak 19,7% anak usia 5 – 12 tahun mengalami kelebihan berat badan dan 97,6% tidak memenuhi asupan buah dan sayuran yang direkomendasikan. Ironisnya, situasi ini terjadi saat anak – anak makin sering menyimak konten review makanan viral yang sebagian besar mengarah pada produk ultra – proses.
Fakta ini menunjukkan bahwa media sosial bukan sekadar hiburan, melainkan juga ruang pemasaran agresif yang membentuk selera dan kebiasaan makan anak – anak. Dengan menggunakan strategi influencer marketing, brand makanan cepat saji dan camilan tinggi gula memanfaatkan kepercayaan anak-anak pada tokoh idola mereka. Tanpa disadari, soft-selling ini jauh lebih berbahaya daripada iklan formal karena tidak terlihat sebagai promosi.
Efek dari paparan ini tak bisa diremehkan begitu saja. Konsumsi berlebih makanan tidak sehat sejak usia dini berisiko menyebabkan obesitas, gangguan metabolik, hingga diabetes tipe 2 di usia muda. Dalam jangka panjang, dampaknya tidak hanya pada individu, tapi juga pada beban pembiayaan kesehatan nasional.
Pemerintah sebenarnya telah memiliki regulasi terkait iklan makanan di media massa, akan tetapi regulasi tersebut belum menyentuh ranah media sosial secara spesifik. Diperlukan kebijakan yang tegas untuk membatasi iklan makanan tidak sehat kepada anak – anak, termasuk transparansi konten sponsor dan pembatasan usia audiens. Selain itu, kolaborasi antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Kominfo, platform digital, dan dunia pendidikan mutlak diperlukan.
Lebih jauh, keluarga perlu diberdayakan untuk membangun literasi gizi sejak dini. Orang tua harus menjadi filter utama dari paparan digital yang diterima anak – anak mereka. Sekolah pun dapat menjadi garda depan edukasi, dengan kurikulum yang membekali siswa tentang makanan sehat dan kritis terhadap iklan.
Menghadapi era digital saat ini, kita tidak bisa hanya menyalahkan algoritma atau platform. Kita perlu memastikan bahwa ekosistem digital juga ramah anak dan ramah gizi. Jangan biarkan generasi kita tumbuh dengan tubuh yang sakit akibat konten yang viral tapi tidak sehat. Sekarang saatnya membalik arah dari pemasaran yang membentuk penyakit, menuju promosi gaya hidup sehat yang mencerdaskan.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Pertama, regulasi digital harus lebih adaptif. Pemerintah perlu memperluas pengawasan terhadap konten berbayar di media sosial, terutama yang menyasar pada anak – anak. Konten sponsor harus diberi label jelas, dan platform seperti TikTok dan YouTube harus diatur agar tidak menampilkan konten pemasaran makanan tidak sehat pada akun anak – anak atau remaja.
Kedua, pendidikan literasi gizi dan digital harus dimasukkan ke dalam kurikulum dasar pembelajaran di Sekolah. Anak – anak perlu tahu bahwa tidak semua yang viral itu sehat, dan tidak semua makanan yang ditampilkan di layar bisa dikonsumsi tanpa batas.
Ketiga, orang tua harus menjadi garda terdepan. Bukan dengan melarang anak menggunakan internet, melainkan dengan mendampingi dan menjelaskannya dengan baik supaya mudah dipahami serta dimengerti. Misalnya, membahas bersama kandungan gula dalam minuman yang mereka tonton, atau menonton dan mengomentari video review bersama untuk memberi sudut pandang sehat kepada anak.
Keempat, perusahaan makanan dan influencer juga perlu bertanggung jawab. Konten promosi seharusnya tidak hanya berorientasi pada viralitas, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya pada audiens anak – anak. Saatnya kita mendorong promosi produk yang lebih sehat, lebih transparan, dan lebih etis.
Akhirnya, kita perlu menyadari bahwa anak-anak adalah generasi yang paling mudah dipengaruhi. Jika kita membiarkan media sosial dan industri makanan bebas membentuk selera dan pola konsumsi mereka, maka kita sedang menyiapkan masa depan yang penuh penyakit. Tetapi jika kita bertindak sekarang dengan regulasi, edukasi dan pendampingan maka kita masih bisa mengarahkan mereka ke masa depan yang lebih sehat.
———————- *** ————————–


