Oleh:
Dr Elinda Rizkasari
Dosen Prodi PGSD Unisri Surakarta
Di suatu siang, saya duduk di ruang tunggu sebuah klinik anak. Seorang balita tiba-tiba menangis keras, berguling di lantai, menolak dipanggil masuk. Sang ibu, dengan wajah lelah, mengambil ponsel dari tas dan menyerahkannya begitu saja. Dalam hitungan detik, tangis itu berhenti. Sang anak tersenyum melihat layar, sementara ibunya kembali sibuk dengan gawainya sendiri. Pemandangan seperti ini barangkali sudah menjadi hal biasa bagi kita. Tetapi di balik keheningan instan itu, sesungguhnya ada krisis yang perlahan tumbuh yaitu tentang krisis emosi anak-anak kita.
Penggunaan gadget sejak dini telah menjadi fenomena baru dalam pengasuhan anak. Banyak orang tua merasa terbantu dalam hal tersebut. Akan tetapi Gadget seolah menjadi pemadam tangis, pengalihan emosi, dan bahkan pengganti kehadiran. Namun, semakin sering kita mengandalkan layar handphone untuk menenangkan anak, semakin terpotonglah proses alami mereka dalam belajar mengelola perasaan.
Penelitian terbaru tahun 2025 dari sebuah PAUD di Pontianak menemukan bahwa 93,3% anak usia dini yang menggunakan gadget lebih dari lima jam sehari menunjukkan gejala gangguan emosi. Anak – anak ini mudah marah, tidak sabaran, dan kesulitan mengekspresikan perasaan secara verbal. Sementara itu, penelitian lain di Balikpapan pada remaja putri menunjukkan bahwa penggunaan smartphone selama lebih dari dua jam sehari berbanding lurus dengan meningkatnya tekanan psikologis, seperti cemas, gelisah, dan sulit tidur. Dunia riset global pun menunjukkan tren serupa: semakin tinggi paparan layar, semakin rentan anak terhadap gangguan emosi dan sosial.
Tentu, teknologi bukan musuh. Masalahnya terletak pada bagaimana kita, orang tua dan pendidik, memperkenalkan teknologi pada anak. Kita kerap lupa bahwa sebelum anak mengenal dunia digital, mereka perlu terlebih dahulu memahami dunia emosinya sendiri. Anak perlu tahu bahwa marah itu boleh, tapi tidak boleh menyakiti. Bahwa sedih itu wajar, tapi ada cara sehat untuk menyalurkannya. Dan semua itu hanya bisa dipelajari lewat interaksi nyata, bukan lewat animasi berulang di layar.
Saya teringat kisah Bu Sari, seorang guru PAUD di Semarang. Ia pernah menangani seorang murid yang setiap pagi datang dengan wajah datar dan langsung duduk menyendiri. Anak itu, kata orang tuanya, sulit sekali diajak bicara bahkan oleh keluarganya sendiri. Selama berminggu-minggu, Ibu Sari mengajak anak itu menggambar wajah: sedih, marah, senang. Lewat krayon dan cerita sederhana tersebut, anak itu mulai menunjuk gambar dan berkata, “Aku marah.” Itu momen pertama ia bisa menamai emosinya. Tak lama, anak itu mulai ikut bermain, bahkan tertawa. Sesuatu yang sebelumnya dianggap mustahil.
Dari kisah ini kita belajar bahwa anak tidak butuh gadget untuk tenang. Mereka butuh pendampingan. Butuh didengar, ditanya, dipeluk. Mereka butuh ruang untuk merasa, dan bimbingan untuk memahami apa yang mereka rasakan.
Maka, saatnya kita sebagai orang tua dan pendidik mengambil langkah. Batasi penggunaan gadget sesuai usia anak. Bukan melarang total, tapi mengatur waktu dan konteks penggunaannya. Jadikan gadget sebagai alat bantu, bukan pengasuh utama. Lebih penting lagi, ajak anak berbicara tentang perasaannya setiap hari. Tanyakan, “Hari ini senang apa?” atau “Tadi kamu kecewa karena apa?” Latih anak mengenali dan menamai emosinya, seperti kita mengajarkan huruf dan angka.
Selain itu, mari kembalikan waktu bermain anak di ruang terbuka. Alam, tanah, dan interaksi sosial adalah media belajar emosional terbaik. Dan untuk jangka panjang, sekolah dan pemerintah perlu menyediakan edukasi literasi parenting digital yang mudah diakses dan aplikatif. Karena mendidik anak di era digital bukan hanya soal aturan screen time, tapi juga soal membangun kelekatan, komunikasi, dan empati.
Jika kita ingin generasi yang tangguh menghadapi dunia, mulailah dengan hadir sepenuhnya untuk dunia kecil mereka. Karena sesungguhnya, krisis emosi anak bukan soal kecanggihan teknologi tetapi soal siapa yang benar-benar hadir saat mereka membutuhkannya.
—————- *** ——————-


