28 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Koperasi Merah Putih: Diresmikan Dulu, Ditutup Kemudian

Oleh:
Tun Ahmad Gazali
Penulis adalah Pensiunan PNS Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan berkarier profesional sebagai Engineering leader dan Independent Researcher di Jepang sejak 2020.

Kok bisa ya, sebuah koperasi yang baru saja diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, hanya bertahan sehari lalu tutup? Pertanyaan ini menjadi perhatian saya sore ini ketika sambil santai menikmati sore yang cerah sambil baca-baca berita online di tanah air. Perhatian saya menjadi tertarik usai membaca pemberitaan yang bertajuk unik yang dimuat dalam Harian Bhirawa berjudul “Koperasi Merah Putih di Tuban Tutup Usai Diresmikan Prabowo, DPRD Jatim: Wajar”. Isi tulisan menggambarkan bagaimana Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) di Pucangan, Tuban, dibongkar keesokan harinya setelah peresmian. Ironisnya, peristiwa ini justru dianggap wajar oleh sebagian orang yang dalam berita tersebut dianggap wajar oleh seorang anggota DPRD Jawa Timur.

Hem, wajar ya? Tapi, untuk siapa kewajaran itu ditujukan?

Di dalam sistem demokrasi yang sehat, simbol negara seperti Presiden tidak boleh dilibatkan dalam proyek yang belum matang. Sebab, peresmian oleh Presiden bukanlah seremoni biasa lah. Ia adalah bentuk legitimasi dan pernyataan tanggung jawab negara terhadap rakyat. Ketika koperasi itu bubar dalam hitungan jam, kekecewaan bukanlah reaksi emosional, melainkan bisa jadi itu adalah juga ekspresi logis dari frustrasi atas lemahnya tata kelola program publik.

Berita Terkait :  Satlantas Polres Situbondo Ajak Masyarakat Sukseskan Operasi Keselamatan Semeru 2025

Saya pernah membaca bahwa dalah sesuatu yang masih wajar apabila ada yang berargumen bahwa koperasi memang kerap menghadapi dinamika internal. Dan itu tidak salah. Data dari Kementerian Koperasi dan UKM (2023) menyebutkan bahwa dari 127.124 koperasi yang terdaftar di Indonesia, lebih dari 40% tidak aktif. Penyebab utamanya? Konflik internal, lemahnya manajemen, dan kurangnya pendampingan. Namun, koperasi yang tutup karena hal-hal itu biasanya adalah koperasi biasa-bukan yang baru saja diresmikan oleh kepala negara, disaksikan kamera nasional, dan dipromosikan sebagai simbol pemberdayaan rakyat.

Jika ini dianggap wajar, maka kita sedang mengerdilkan arti dari perencanaan matang dan akuntabilitas publik. LIPI dan Bappenas dalam studi tahun 2020 bahkan memperingatkan bahwa koperasi yang dibentuk menjelang tahun politik sangat rawan dijadikan alat pencitraan. Mereka menyebutnya sebagai “koperasi musiman” yang dibentuk tanpa kajian bisnis, tidak berbasis kebutuhan riil, dan minim rencana keberlanjutan. Dalam banyak kasus, koperasi semacam ini hanya menjadi panggung politik sesaat.

Dan yang lebih mengkhawatirkan, jika hal ini terus diabaikan, kita sedang membiarkan logika bahwa seremoni bisa menggantikan substansi. Padahal, di tengah kondisi masyarakat desa yang sedang mencari sandaran ekonomi, rakyat tidak butuh janji yang diikat dengan pita merah dan pidato megah, mereka butuh bukti.

Apa yang publik butuhkan hari ini bukanlah sekadar klarifikasi normatif dari pejabat atau wakil rakyat, melainkan pertanggungjawaban yang konkret. Siapa yang menggagas koperasi ini? Siapa yang merekomendasikannya hingga layak diresmikan Presiden? Mengapa tidak ada verifikasi mendalam soal kesiapan kelembagaan dan manajerialnya?

Berita Terkait :  Dukung Ekosistem Asuransi dengan Memanfaatkan Aplikasi One By Indonesia Financial Group

Mengaca ke belakang, kita belajar dari banyak contoh. Pada 2018, Koperasi Mitra Tani Mandiri di Jawa Tengah bubar hanya beberapa bulan setelah dibentuk menjelang Pilkada karena tak punya sistem operasional jelas. Pada 2021, koperasi digital di Papua yang diresmikan virtual oleh pejabat pusat juga tutup dalam tiga bulan karena konflik internal dan tidak adanya pasar yang dibangun.

Dalam kajian komunikasi politik, peristiwa seperti ini bisa menciptakan “kebocoran kepercayaan publik.” Seperti dikatakan Murray Edelman dalam The Symbolic Uses of Politics (1964), simbol tanpa substansi justru bisa menjadi bumerang yang mempercepat keruntuhan legitimasi.

Koperasi Merah Putih bukan sekadar toko yang dibongkar. Ia kini menjadi simbol retaknya tata kelola program rakyat, tempat di mana cita-cita ekonomi kerakyatan yang luhur justru dibonsai oleh kepentingan jangka pendek dan kegagalan birokratis. Dan selama pertanyaan-pertanyaan mendasar tadi belum dijawab secara terbuka dan jujur, publik berhak untuk skeptis-bukan hanya pada koperasi ini, tapi pada setiap janji pembangunan yang hanya mengandalkan panggung seremoni.

———— *** —————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru