25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Kemiskinan dan Tanggung Jawab Keberpihakan

Oleh :
Irwan Setiawan
Ketua Dewan Pengurus Wilayah Partai Keadilan Sejahtera Jawa Timur periode 2020 – 2025

Tidak adanya amandemen terhadap Pembukaan UUD 1945 membuat setiap periode pemerintahan memiliki tugas yang sama, sebagaimana telah tertulis secara eksplisit dalam alinea keempat. Salah satunya adalah memajukan kesejahteraan umum.

Perintah konstitusi tersebut memberikan konsekuensi kepada pemegang kekuasaan nasional dan juga daerah agar memiliki atensi terhadap data angka kemiskinan. Sejalan dengan definisi demokrasi sebagai sistem ketatanegaraan di Indonesia, mereka yang mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat selayaknya berkomitmen untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat, termasuk dalam hal kesejahteraan.

Sekalipun para perumus konstitusi telah berupaya mendesain Indonesia sebagai bangsa sejahtera, namun melalui data-data resmi bisa diketahui bahwa persoalan kemiskinan belumlah selesai. Bisa dibilang, kemiskinan selalu menjadi salah satu masalah besar nasional yang membutuhkan lebih dari sekadar jargon politik. Problem kemiskinan membutuhkan solusi sistemtis dan memberikan dampak jangka panjang, bukan hanya solusi sesaat.

Kalau mengacu pada data resmi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2024, masih ada sekitar 24,06 juta jiwa atau 8,57 persen dari penduduk Indonesia yang berstatus miskin. Ada penurunan jika dibandingkan dengan data Maret 2024 yang menyebutkan angka 25,22 juta jiwa.

Sementara itu, BPS Provinsi Jawa Timur mempublikasikan data yang menyebutkan jumlah penduduk miskin pada bulan September 2024 adalah 3,893 juta jiwa. Ada penurunan sebanyak 0,089 juta orang jika dikomparasikan dengan data bulan Maret 2024.

Berita Terkait :  38 Kades di Sampang akan Terima SK Perpanjangan Masa Jabatan

Segala kemajuan memang perlu diapresiasi namun hendaknya tidak membuat pemegang kekuasaan berpuas diri sebab persoalan kemiskinan bukan sekadar angka. Kemiskinan adalah potret adanya ketimpangan. Ketidakberdayaan ekonomi menandakan bahwa masih banyak warga yang belum mendapat bagian yang adil dari pembangunan. Bukan hanya tidak memiliki penghasilan cukup, tetapi juga tidak memiliki akses terhadap layanan dasar yang mencakup pendidikan, kesehatan, air bersih, dan juga pekerjaan layak.

Ekonom dan filsuf dari India yang bernama Amartya Sen bahkan memandang bahwa kemiskinan bukan sekadar masalah kekurangan pendapatan. Menurutnya, kemiskinan adalah bentuk “ketidakbebasan” yang menghalangi seorang warga negara untuk mencapat potensi terbesarnya. Konsekuensinya, negara punya tanggung jawab untuk menghadirkan kebijakan yang memperluas kebebasan warga: untuk mengakses berbagai fasilitas untuk bisa hidup sehat, produktif dan bermartabat.

Salah satu hal yang perlu diubah dalam upaya mengurangi angka kemiskinan adalah paradigma pembangunan sektor ekonomi. Selama ini, pendekatan yang dominan masih bertumpu pada pertumbuhan. Logikanya, kalau ekonomi tumbuh, kemiskinan akan berkurang. Namun dalam praktiknya, pertumbuhan hanya dinikmati segelintir elit. Teori trickle down effect (kesejahteraan akan menetes ke bawah) banyak dikritik karena gagal menghadirkan keadilan.

Cara pandang inilah yang perlu diubah. Alih-alih menunggu “tetesan” dari atas, pembangunan seharusnya dimulai dari bawah yaitu dari desa, petani, buruh, pelaku UMKM, dan juga warga miskin kota. Itulah yang disebut bottom-up development.

Berita Terkait :  Belajar di Tengah Keterbatasan, Keteguhan Anak-Anak Koripan Menggapai Pendidikan

Dengan adanya perubahan paradigma dari trickle down effect menjadi bottom-up development, diharapkan akan bisa menghadirkan pembangunan yang berkeadilan dan berpihak pada kaum miskin. Sebagaimana teori John Rawls yang mengemukakan bahwa sebuah kebijakan akan dirasa adil jika berpihak pada mereka yang paling lemah. Teori ini bisa diimplementasikan dengan menyusun anggaran yang berpihak pada nasib petani gurem, buruh informal, nelayan, dan warga miskin kota. Bukan hanya membangun jalan tol dan bandara, tetapi juga jalan tani, irigasi, pasar rakyat, dan layanan kesehatan yang terjangkau.

Bagaimana dengan Jawa Timur? Sebenarnya, Jawa Timur mempunyai potensi besar. Menurut data BPS Provinsi Jawa Timur, perekonomian daerah tersebut pada quartal pertama tahun 2025 mengalami pertumbuhan 1,14 persen jika dibandingkan dengan quartal terakhir 2024. Jika dibandingkan dengan quartal pertama tahun 2024, perekonomian Jawa Timur tumbuh 5 persen.

Walau terlihat positif, namun secara konstruktif perlu juga dipertanyakan tentang nasib warga miskin di Jawa Timur. Apakah kehidupan ekonomi mereka juga mengalami kemajuan signifikan?

Mayoritas warga miskin di Jawa Timur bekerja di sektor pertanian. Namun realitanya rata-rata kepemilikan lahannya hanya 0,5 hektar. Infrastruktur pertanian, produktivitas, dan stabilitas harga panen masih menjadi kendala yang membutuhkan keberpihakan pemerintah.

Sudah selayaknya masalah riil yang dihadapi rakyat semacam ini menjadi perhatian utama. Mulai dari distribusi lahan, subsidi pupuk dan benih, pembukaan akses pasar, pelatihan digitalisasi marketing hasil-hasil pertanian, sampai penguatan koperasi modern. Tak kalah pentingnya adalah perlindungan harga agar petani tidak terus menerus menjadi korban permainan para mafia pertanian.

Berita Terkait :  Ketum PWI: HPN 2026 di Banten Jadi Momentum Dorong Ekonomi dan Pembangunan

Sebagai bagian dari sumber legitimasi kekuasaan, kaum marjinal seperti para petani, buruh, pedagang kecil, dan sebagainya, berhak untuk mempertanyakan keberpihakan mereka yang saat ini ada di dalam lingkaran elit kekuasaan. Sebaliknya, kaum elit harus bisa mengimplementasikan kecerdasan sosialnya, termasuk dalam penyusunan anggaran.

Tidak bisa dinafikan, anggaran adalah cermin keberpihakan. Jika sungguh-sungguh ingin menghapus kemiskinan, anggaran harus menyentuh langsung ke kantong-kantong warga miskin. Dengan demikian, pro poor budgeting bukan sekadar jargon, tapi harus menjadi strategi nyata. Politik anggaran seperti inilah yang harus selalu diperjuangkan juga oleh semua anggota DPRD, termasuk Fraksi PKS, agar kehendak rakyat kecil bisa termanifestasikan dalam keputusan anggaran.

Pada akhirnya, harus dibangun kesadaran bersama bahwa pekerjaan menghilangkan kemiskinan bukan semata-mata tugas teknis pemerintah. Bisa dibilang, pekerjaan tersebut adalah panggilan ideologis bagi semua praktisi politik.

Sebagai bangsa yang tidak menganut Machiavellisme, keberpihakan pada rakyat kecil adalah esensi dari sebuah perjuangan politik. Negara yang adil hanya bisa dibangun jika ada pembelaan terhadap yang lemah, perlindungan terhadap rakyat kecil, dan pemberdayaan kaum miskin. Politik ada bukan untuk memperkuat yang sudah kuat melainkan mengangkat yang tertindas.

————- *** ——————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru