Surabaya, Bhirawa
Gelombang panas ekstrem tengah melanda Eropa sejak Juni 2025. Akibatnya ribuan ribuan sekolah tutup dan sejumlah orang meninggal. Terbaru, angka korban diperkirakan mencapai 2.300 orang pada awal Juli 2025. Fenomena ini pun memantik perhatian dosen Teknik Lingkungan Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga (UNAIR), Wahid Dianbudiyanto ST M Sc.
Menurutnya, gelombang panas di Eropa sebenarnya terjadi hampir setiap tahun sejak 3-4 tahun terakhir. Namun, jika ditelusuri dari catatan sejarah yang lebih panjang, Wahid menilai gelombang panas yang terjadi saat ini tidak normal. Pasalnya, fenomena saat ini memecahkan rekor suhu dan dampak yang signifikan terhadap lingkungan.
Berbicara mengenai faktor utama, Wahid menyebut belum terdapat studi komprehensif yang membahas penyebab dari fenomena gelombang panas ini. “Setidaknya dua faktor yang mungkin menjadi penyebabnya, yaitu fenomena cuaca alami dan dampak perubahan iklim,”sebutnya, Kamis (17/7).
Untuk fenomena alami yang terjadi l, jelas Wahid, adanya sebuah sistem tekanan tinggi yang kuat berasal dari Afrika Utara. Hal ini menyebabkan udara kering terjebak di wilayah Eropa Barat dan memicu suhu ekstrem.
Akibatnya, beberapa wilayah yang mengalami kekeringan parah kehilangan efek pendinginan alami. Sementara itu, suhu permukaan laut Mediterania yang meningkat di atas normal turut memperparah panas di daratan. “Minimnya awan juga memungkinkan lebih banyak sinar matahari mencapai permukaan bumi sehingga memperkuat gelombang panas,” ungkap dia.
Adapun faktor lainnya adalah perubahan iklim akibat ulah manusia. Wahid berpendapat mengacu pada penelitian, pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca telah menaikkan suhu rata-rata bumi. Hal ini membuat gelombang panas lebih sering terjadi dan semakin ekstrem. “Sangat mungkin heatwave kali ini terjadi karena fenomena alami yang diperparah oleh climate change,” jelas Wahid.
Lebih lanjut, Wahid menjabarkan dampak dari fenomena gelombang panas di Eropa. Karena sedang menjalani studi S3-nya di Belgia, Wahid merasakan sendiri bahwa kondisi cuaca yang terjadi sangat menyiksa. Terlebih, gedung di Eropa umumnya tidak memiliki AC karena memang tidak dirancang untuk cuaca panas ekstrem.
Sementara itu, dampak terhadap lingkungan yang timbul adalah meningkatnya risiko kebakaran hutan dan kekeringan. Gelombang panas juga dapat meningkatkan penggunaan listrik oleh masyarakat untuk pendingin ruangan sehingga berpotensi meningkatkan emisi karbon.
Wahid menekankan bahwa gelombang panas sangat berpotensi terjadi di luar Eropa, termasuk Asia Tenggara. Oleh karenanya, pemerintah Indonesia perlu mengembangkan rencana aksi untuk menanggulangi dampak fenomena tersebut.
Meningkatkan infrastruktur kesehatan, mempromosikan energi terbarukan, dan menerapkan perencanaan kota yang ramah iklim serta lingkungan dapat menjadi bagian dari kebijakan. Wahid turut menyoroti pentingnya edukasi publik dan regulasi untuk pekerja yang berada di luar ruangan.
Sebagai masyarakat umum, terdapat langkah sederhana yang Wahid sarankan untuk dikerjakan. “Masyarakat dapat mengambil langkah sederhana seperti tetap terinformasi tentang perkiraan cuaca, menjaga hidrasi dengan minum air putih, menghindari aktivitas di luar ruangan pada siang hari, menggunakan pendingin ruangan, dan memakai pakaian ringan. Jangan lupa periksa kondisi kelompok rentan seperti lansia dan anak-anak,” katanya. [ina.wwn]


