Oleh :
Thomas Elisa
Alumni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS)
Akhir-akhir ini, kita senantiasa disuguhkan fenomena unik yang muncul di berbagai platfrom media massa dan media sosial mengenai maraknya pernyataan klarifikasi dari berbagai pihak seperti pejabat publik, selebritas, sampai masyarakat biasa. Bila kita cermati lebih dalam mayoritas klarifikasi yang dilakukan untuk menjelaskan lebih jauh konteks pernyataan atau tuturan yang disampaikan sebelumnya.
Misalnya, pernyataan Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) mengenai warga Indonesia untuk bekerja di luar negeri hanyalah sebatas candaan dalam klarifikasinya. Masih banyak contoh-contoh serupa yang dapat ditemukan di ruang publik kita. Dalam kacamata linguistik, fenomena ini menujukkan adanya kemampuan berwacana yang kurang cakap oleh masyarakat kita.
Beberapa pakar linguistik seperti Vass dalam Titscher (2009) menyatakan bahwa Wacana sebagai tuturan, percakapan, diskusi bahkan juga perilaku yang diatur kaidah yang mengiringi munculnya pernyataan-pernyataan. Ratnaningsih (2019) juga menyatakan bahwa wacana sebagai penggunaan bahasa sekaligus sebagai praktik sosial. Samsuri (2003) mendefinisikan Wacana sebagai rekaman peristiwa linguistik (kebahasaan) yang lengkap baik dalam lisan maupun tulisan. Secara singkat dapat kita pahamai bahwa wacana merupakan aktivitas kebahasaan baik lisan maupun tulisan yang dilakukan secara lengkap (terdiri dari deretan kalimat yang saling padu dan menghasilkan makna) serta memiliki kaidah dan tidak lepas dari aspek sosial.
Kembali kepada persoalan fenomena klarifikasi yang marak. Agaknya, pemahaman akan konsep wacana di ruang publik kita belum sepenuhnya baik. Ada semacam kegagalan khususnya dalam memahami kaidah wacana dan kesadaran bahwa wacana sebagai praktik sosial memiliki impak kepada khalayak luas apabila sebuah wacana dilemparkan ke ruang publik. Hal ini yang sejatinya perlu dipahami lebih jauh sehingga kegaduhan-kegaduhan di ruang publik khususnya platfrom media massa dan media sosial dapat diredam.
Pertanyaan besar yang patut kita pikirkan ialah : bagaimana caranya menciptakan wacana yang cerdas di ruang publik kita? Hal itu yang coba kita refleksikan lebih jauh. Salah satu pakar wacana, Van Djik memberikan gambaran yang memudahkan kita untuk menyusun wacana yang ideal. Ia menyampaikan bahwa sebelum seseorang berwacana ada beberapa hal yang harus disiapkan dengan baik yaitu teks (lisan/tulisan), koginisi sosial, dan juga konteks sosial. Ketiganya dapat diuraikan secara sederhana sebagai berikut :
Teks
Dimensi teks dalam wacana mengacu pada kelengkapan wacana yang disampaikan. Hal ini secara ringkas meliputi diksi, kalimat, gaya bahasa, struktur wacana (misal : pendahuluan, isi, penutup) dan makna yang hendak disampaikan.
Bayangkan saja, bila segi dimensi teks ini tidak lengkap maka akan menimbulkan ambiguitas. Wacana yang dilempar ke ruang publik akan menimbulkan kebingungan juga ketidakjelasan informasi. Hal ini amat berbahaya dan sayangnya banyak sekali wacana-wacana yang ambigu dan membuat publik menjadi gagal menangkap esensi yang disampaikan.
Koginisi Sosial
Secara sederhana, koginisi sosial adalah sikap, ideologi, kepercayaan pihak-pihak yang terlibat dalam wacana yang diberikan. Kita sering mendapati fenomena hilangnya kepercayaan publik terhadap pihak-pihak tertentu. Musababnya adalah wacana-wacana yang diberikan bertentangan bahkan mencederai sisi sikap, ideologi, dan kepercayaan yang ada di masyarakat. Dengan demikan, sebelum jauh berwacana ada baiknya memahami aspek kognisi sosial secara utuh.
Konteks Sosial
Konteks sosial adalah situasi yang harus diperhatikan dalam berwacana. Misalnya dalam situasi politik patutkah melemparkan pernyataan-pernyataan sense humor yang justru dapat disalahpahami? Tentunya tidak tepat sebab konteks politik berkaitan dengan sisi serius dan sensitivitas yang tinggi sehingga tidak pas menyampiakan candaan-candaan yang justru dapat dimaknai sebagai ungkapan serius dan mengandung sensitivitas tertentu. Konteks wacana sendiri dapat dibagi menjadi konteks budaya, politik, dan historis.
Paparan yang disampaikan oleh Van Djik sepertinya perlu diperhatikan oleh semua pihak dalam berwacana. Berwacana bukan sekadar melempar tuturan atau juga tulisan. Akan tetapi, banyak dimensi yang perlu diperhatikan dengan saksama. Impak yang dihasilkan oleh wacana adalah hal yang perlu dipikirkan dengan cermat. Kita rindu tentunya ruang publik dipenuhi wacana-wacana kritis, membangun, dan bermartabat. Bukan sekadar wacana penuh kontroversi yang berdampak negatif bagi negeri ini. Sekian.
———— *** —————


