Oleh :
Ali Mursyid Azisi
Founder The Indonesia Foresight Research Institute (IFRI) dan Peneliti di Centre for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
Memasuki pertengahan tahun 2025, produksi konten AI hiper-realistis kian berkembang sekaligus meresahkan. Hanya dengan ketikan teks sederhana (prompt), kecerdasan buatan (AI) generatif mampu menghasilkan video-video pendek yang menggambarkan “suasana neraka”. Alih-alih menampilkan kengerian yang semestinya memicu renungan spiritual, visualisasi ini justru dibalut dalam humor absurd.
Bahkan salah satu konten yang memicu kontroversi yaitu di dalamnya terdapat pernyataan menantang agama, “Halo kawan, ini lo hari pertama saya di neraka, ternyata gak begitu mengerikan” dan “Pertama di neraka guys, bareng temen lama gua nih, ternyata masuk neraka juga” (pernyataan seorang pria buatan AI yang terlihat gembira di neraka buatan).
Konten-konten ini telah ditonton, dilike, dan dibagikan jutaan kali di platform seperti TikTok dan Instagram Reels yang menandakan sebuah babak baru dalam relasi teknologi dan spiritualitas. Era baru tersebut yaitu “kecanggihan tanpa etika” yang secara nyata berpotensi mengancam desakralisasi konsep fundamental keagamaan. Dengan kata lain, era di mana batas antara yang sakral dan profan runtuh di bawah tekanan algoritma dan hasrat viralitas.
Potret Virality yang Menantang Sakralitas
Maraknya video AI yang memvisualisasikan neraka adalah puncak gunung es dari adopsi AI generatif yang masif di Indonesia. Kini, harus kita sadari konten “candaan di neraka” tersebut jangan sekadar dipotrait keviralannya, namun perlu ditinjau bagaimana ekosistem digital yang membuatnya kian tumbuh subur.
Berdasarkan laporan “Digital 2025 Overview Report” yang dirilis We Are Social pada Februari 2025, menunjukkan bahwa 212 juta jiwa masyarakat Indonesia tercatats ebagai pengguna aktif internet. Ratarata waktu yang dihabiskan 8 jam 36 menit per hari dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan pengguna TikTok terbesar di dunia. Kemudian riset proyeksi dari lembaga studi digital seperti Digital Future Initiative mengindikasikan bahwa lebih dari 50% konten video pendek yang mencapai status viral di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) kini mengandung elemen AI generatif, meningkat tajam dari sekitar 20% pada awal 2024.
Kombinasi antara kemudahan akses terhadap tolls AI, algoritma platfom yang memprioritaskan konten sensasional dan basis pengguna yang masif ini telah menciptakan badai nir-etika dalam bermedia sosial. Kreator konten, didorong oleh metrik keterlibatan (engagement) menemukan cara instan untuk viralitas dengan memadukan elemen sakral (neraka) dengan profan (humor sehari-hari). Neraka yang mulanya dalam literatur Islam maupun pendapat ulama digambarkan mengerikan dan seharusnya menggetarkan jiwa, kini tak lebih dari sekadar properti meme dan candaan.
Trivialisasi konsep neraka melalui AI sejatinya memiliki dampak multidimensional yang serius. Pertama yaitu dampak secara Teologi-Sosiologi. Pada aspek ini terbilang paling fatal sebab berkaitan erat dengan desakralisasi dan pendangkalan akidah. Dalam perspektif syariat Islam, keimanan pada hal-hal ghaib (yang tak terlihat) termasuk surga dan neraka adalah pilar fundamental. Al-Qur’an menggambarkannya dengan bahasa yang dahsyat untuk menanamkan rasa takut (khauf) dan harap (raja’) kepada Tuhan. Ketika neraka divisualisasikan sebagai bahan lelucon, fungsi spiritualnya terkikis bahkan hilang. Ini masuk dalam kategori istihza’ bi al-din (mengolok-olok agama), sebuah tindakan yang dilarang keras.
Dari sudut pandang tasawuf, cendekiawan Islam agung Imam Al-Ghazali dalam magnum opusnya Ihya’ ‘Ulum al-Din, mengkaji persoalan ini secara mendalam. Salah satu isi bahasan yang dilayangkan tentang pentingnya dzikr al-mawt (mengingat kematian), serta keseimbangan rasa takut dan harapan sebagai sarana pemurnian jiwa.
Kemudian sosiolog klasik Émile Durkheim dalam karyanya The Elementary Forms of Religious Life, membedakan secara fundamental antara dunia sakral (yang suci, terpisah, dan dihormati) dan dunia profan (duniawi, dan sehari-hari). Agama, menurut Durkheim berfungsi menjaga batas ini untuk memelihara kohesi sosial. Fenomena AI neraka adalah invasi brutal dunia profan (meme, humor, tren) ke jantung domain sakral. Hal ini mengikis “kesadaran kolektif” akan hal-hal yang patut dihormati (surga-neraka), menyebabkan pengikisan kesakralan atau apa yang oleh para teolog disebut desakralisasi.
Kedua, yaitu dampak Psikologis. Tayangan konten ini yang berulang dan FYP (viral) dapat menyebabkan desensitisasi. Kengerian dan peringatan yang terkandung dalam konsep neraka menjadi tumpul. Bagi audiens yang lebih muda dan rentan, hal ini bisa menciptakan kebingungan kognitif dan sinisme terhadap ajaran agama. Alih-alih menjadi pengingat moral, neraka menjadi objek yang bisa ditertawakan dan diabaikan. Jika dipotrait melalui teori Terror Management Theory (TMT), yang dikembangkan oleh Solomon, Greenberg, dan Pyszczynski, ketika manusia menghadapi kecemasan eksistensial akan kematian sejatinya berpegang pada pandangan dunia budaya (termasuk agama) yang memberi makna.
Ketiga yaitu dampak sosiologis. Secara sosiologis ini adalah manifestasi dari apa yang digambarkan oleh Jean Baudrillard sebagai simulacra. Representasi AI tentang neraka yang dibuat hiper-realistis ini lebih berpengaruh daripada penjelasan tentang gambaran neraka dalam literatur keagamaan (Al-Qur’an, Hadits, Tafsir, atau Kitab Klasik lainnya). Realitasnya saat ini, masyarakat digital mulai membangun pemahaman kolektif tentang neraka bukan dari Al-Qur’an atau Hadis, tetapi dari meme viral yang diproduksi AI dalam hitungan detik. Ini mengarah pada masyarakat post-truth, yaitu sensasi dengan mudah mengalahkan substansi teologis.
Tantangan dan Solusi ke Depan
Ulama, cendekiawan, akademisi, atau masyarakat umum dalam menyikapi fenomena ini tidak boleh berhenti pada fatwa pengharaman. Diperlukan pendekatan yang lebih proaktif dan strategis supaya masifikasi AI perlahan bisa dikendalikan. Pertama, perlu adanya upaya pengembangan fikih digital dengan merumuskan fiqh yang komprehensif tentang pembuatan dan konsumsi konten di era AI mencakup isu hak kekayaan intelektual, fitnah visual, maupun penggambaran hal ghaib.
Kedua, dakwah kontra-narasi. Memanfaatkan AI secara positif untuk menciptakan konten dakwah yang kreatif, mendalam, dan menarik, yang menjelaskan konsep surga dan neraka sesuai dengan sumber otentiknya dengan cara yang menyentuh hati. Yang tidak kalah penting adalah literasi kritis, bukan sekadar teknis, ini mengajarkan masyarakat untuk memiliki daya kritis terhadap konten digital, membedakan antara informasi, hiburan, dan penistaan.
Fenomena “candaan neraka” adalah alarm keras. Tantangan terbesar kita bukan pada teknologinya, tetapi pada krisis etika yang menyertainya. AI adalah alat netral, ia menjadi cerminan dari nilai dan niat penggunanya. Bagi kita yang terpapar konten viral semacam ini, langkah terbaik untuk memutus rantai viralitasnya adalah jangan turut menyebarkan. Upaya lain bisa diterapkan dengan gunakan fitur report (laporkan) untuk menandai konten sebagai ujaran kebencian atau pelecehan agama. Terakhir bisa bersama-sama memproduksi konten edukasi, yang mengingatkan tentang kesakralan alam ghaib surga-neraka tanpa harus terlibat perdebatan yang destruktif.
————— *** ——————


