Harapan Keselamatan, Prosesi Jamasan Pusaka Tombak Kanjeng Kiai Upas Berlangsung Meriah
Oleh:
Wiwieko DH, Kab Tulungagung
Pusaka Tombak Kanjeng Kiai Upas kembali dijamas, Jumat (11/7). Namun, kali ini lebih meriah. Arak-arakan pembawa air suci atau nawa tirta tidak dimulai di sekitar Pendopo Kanjengan, tetapi dimulai dari Pendopo Kongas Arum Kusumaning Bongso.
Tentu saja kirab air suci yang berasal dari sembilan mata air di Kabupaten Tulungagung dan digunakan untuk menjamas Pusaka Tombak Kanjeng Kiai Upas tersebut menjadi tontonan menarik bagi warga.
Memang di tahun 2025 ini prosesi Jamasan Pusaka Tombak Kanjeng Kiai Upas lebih meriah. Prosesi yang dilakukan setiap bulan Suro itu dijadikan bagian dari Festival Budaya Spiritual (FBS) ke-3 yang digelar di Kabupaten Tulungagung.
Bupati Tulungagung, Gatut Sunu Wibowo, mengakui prosesi prosesi Jamasan Pusaka Tombak Kanjeng Kiai Upas lebih meriah karena sedang berlangsung FBS. Festival diselenggarakan atas Kerjasama Pemkab Tulungagung dan Kementerian Kebudayaan RI.
“Alhamdulilah dapat bantuan dari Kementerian. Semoga membawa keberkahan lebih besar dan menarik pariwisata,” ujarnya.
Menurut dia, Jamasan Pusaka Tombak Kiai Upas merupakan tradisi yang sudah berlangsung lama. Harapannya membawa keselamatan bagi masyarakat Tulungagung.
“Acara Jamasan Kiai Upas selama ini terus diperingati agar masyarakat diberi keselamatan, kesehatan dan semuanya kompak saling bersinergi untuk membangun Tulungagung,” paparnya.
Ia pun mendukung jika ada usulan Pusaka Tombak Kiai Upas dapat menjadi benda cagar budaya.
“Untuk tujuan baik kami dukung. Saat ini masih didiskusikan bersama,” tuturnya.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Kebudayaan RI Bidang Sejarah dan Perlindungan Warisan Budaya, Basuki Teguh Yuwono, menyatakan bisa saja Pusaka Tombak Kanjeng Kiai Upas menjadi benda cagar budaya. Baik itu ditingkat kabupaten, provinsi dan bahkan nasional.
Ia menyebut prosesi jamasan pusaka Tulungagung itu sudah melibatkan lingkungan dan diselenggarakan setiap tahun.
“Tinggal Bupati dan Wabup mendorong agar menjadi benda cagar budaya nasional,” katanya.
Namun demikian, Basuki mengakui perlu proses relatif panjang untuk menuju hal tersebut. Meski saat jamasan saat ini sudah dilakukan identifikasi terhadap Pusaka Tombak Kanjeng Kiai Upas.
“Identifikasi dengan mengukur pusaka menjadi salah satu perangkat dokumen ketika akan diusulkan menjadi cagar budaya. Kan butuh ukuran yang detail dari artefak yang ada,” ucapnya.
Ada pun prosedur untuk menjadi benda cagar budaya nasional, menurut dia, diperlukan di antaranya adanya pengusul dan verifikasi dari tim ahli untuk kajian akademik.
“Kalau sudah menjadi cagar budaya nasional bisa juga diusulkan ke Unesco,” tambahnya.
Jamasan atau siraman Pusaka Tombak Kanjeng Kiai Upas dilakukan oleh juru jamas yang ditunjuk. Hanya warga berjenis kelamin laki-laki yang bisa melihat prosesi jamasan bilah tombak pusaka tersebut.
Bahkan sekali pun anggota Forkopimda Tulungagung tetapi berjenis kelamin perempuan dilarang melihat saat bilah tombak dijamas. Ini karena Tombak Kanjeng Kiai Upas perlambang sosok laki-laki.
Tombak Kanjeng Kiai Upas merupakan peninggalan masa Kerajaan Mataram Islam dan sudah ditetapkan sebagai pusaka daerah Tulungagung. Panjang Tombak Kanjeng Kiai Upas tersebut mencapai 3,25 meter.
Saat acara jamasan atau siraman Pusaka Tombak Kanjeng Kiai Upas banyak warga yang menunggu air bekas jamasannya. Mereka ngalap berkah atau meyakini air bekas jamasan tersebut sebagai air berkah yang dapat memenuhi permintaan. [wed.gat]


