28 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Saat Wajah Lokal Tak Lagi Dianggap Cantik

Oleh :
Citra Laila Indah P
Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya sedang menempuh mata kuliah Media and Cultural Studies (B)

Apa yang terjadi jika kecantikan perempuan Indonesia justru direpresentasikan oleh artis Korea Selatan? Kali ini iklan susu kolagen Collagena menghadirkan Song Hye Kyo menjadi bintang iklannya, seolah menunjukkan bahwa kecantikan ideal bagi perempuan adalah berkulit putih, berwajah glowing, dan awet muda. Namun, mengapa wajah asing dianggap menjadi simbol kecantikan untuk produk lokal? Lalu, apa dampaknya bagi cara perempuan memandang dirinya sendiri?.

Collagena adalah brand lokal, tetapi secara visual dan simbolik, ia seolah menjauh dari konteks lokal itu sendiri. Pilihannya menjadikan Song Hye Kyo sebagai bintang iklannya buikan semata untuk kebutuhan estetika, tetapi bagian dari strategi pemasaran global yang mencerminkan betapa kuatnya dominasi budaya Korea. Produk ini tidak semata menjual susu kolagen, tetapi juga menjual fantasi bagaiama menjadi seperti Song Hye Kyo yang memiliki kulit putih, glowing, dan awet muda. Ketika standar-standar seperti ini dimasukkan ke dalam ruang budaya lokal, kita perlu bertanya di mana posisi wajah-wajah perempuan Indonesia?

Dalam kajian cultural studies, iklan tidak hanya menjadi alat untuk promosi tetapi juga alat produksi makna dan pemaknaan ulang terhadap realitas sosial. Menurut teori hegemoni Antonio Gramsci menjelaskan bahwa ideologi dominan bisa diterima sukarela oleh masyarakat melalui media dan budaya populer. Dalam hal ini, wajah Song Hye Kyo tidak hanya digunakan untuk menjual produk, tetapi juga nilai-nilai yang dianggap normal untuk sebagian masyarakat, seperti kulit putih dianggap cantik, muda itu berharga, dan penuaan adalah hal yang harus dihindari.

Berita Terkait :  Program Polisi Mengajar di Spemma, Edukasi Siswa Bijaksana Bermedsos

Stuart Hall menyampaikan representasi membentuk identitas. Saat media hanya memperlihatkan satu bentuk kecantikan, maka identitas yang tidak sesuai dengan standar itu dianggap kurang, salah, atau harus diperbaiki. Dalam iklan Collagena ini, gambaran kecantikan saat ini berpatokan dari citra Korea Selatan, bukan dari budaya kita sendiri. Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya dominasi budaya asing, di mana masyarakat menganggap bahwa wajah lokal kurang “menjual” untuk produk lokal.

Dari situ, kita seharusnya perlu mempertanyakan, mengapa iklan produk lokal jarang sekali menjadikan wajah-wajah lokal sebagai bintang iklannya? Mengapa kita lebih mudah untuk percaya pada definisi “cantik” jika wajahnya datang dari luar? Ini bukan tentang personalnya, tetapi tentang bagaimana media dan sistem kapitalisme global menjadikan beberapa orang sebagai simbol kecantikan universal. Identitas simbol ini sering melampaui identitas kebangsaan, bahkan identitas perempuan.

Sebagaimana ditulis dalam jurnal Ningsih (2022), iklan kosmetik di televisi nasional Indonesia masih didominasi oleh citra perempuan berkulit putih dan bertubuh langsing. Representasi sempit seperti ini mengabaikan keragaman nyata perempuan Indonesia, dan ikut melanggengkan standar kecantikan yang menyisihkan mereka yang tidak sesuai gambaran tersebut.

Yang lebih menyedihkan, media lokal pun ikut memperkuat struktur kekuasaan visual yang meminggirkan identitas lokal. Kita justru sering kali melihat wajah-wajah asing mewakili produk lokal, seolah-olah hanya dengan tampil “berwajah luar”, sebuah produk bisa terlihat lebih layak, mewah, dan bisa dipercaya.

Berita Terkait :  Dukung Perubahan Iklim, PHE TEJ Tanam 1000 Pohon Buah Alpukat

Namun kritik saja tidak cukup. Sudah saatnya kita merebut kembali ruang representasi yang selama ini dimonopoli oleh standar global. Produk lokal perlu lebih berani mengangkat wajah-wajah lokal dalam segala keberagaman warna kulit, bentuk tubuh, usia, dan karakter. Media pun perlu membuka ruang bagi narasi perempuan Indonesia yang lebih luas, lebih jujur, dan lebih mencerminkan kenyataan.

Yang tak kalah penting, masyarakat terutama generasi muda perlu memperkuat literasi media. Agar kita tidak hanya menjadi penonton pasif, tapi juga pembaca kritis yang mampu melihat mana yang konstruksi, mana yang realitas. Karena definisi cantik seharusnya tidak ditentukan oleh jarak geografis, tapi oleh keberanian untuk mencintai yang dekat yang autentik, yang nyata.

———– *** ————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru