25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Hegemoni Kapitalisme dan Kemanusiaan dalam Squid Game

Oleh :
Nikita
Mahasiswi Program studi Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya sedang menempuh mata kuliah Media and Cultural Studies

Serial Netflix Squid Game bukan sekadar suguhan tontonan yang berhasil mencengkeram perhatian global dengan adegan-adegan mematikan. Lebih dari itu, serial ini secara implisit maupun eksplisit menyajikan sebuah narasi budaya yang amat kaya, sangat relevan untuk dikaji melalui kacamata Cultural Studies. Jauh melampaui konsep survival game biasa yang sekadar menguji adrenalin, Squid Game adalah sebuah artefak budaya kontemporer yang secara blak-blakan menyingkap bagaimana hegemoni, representasi, diskursus, dan konflik makna beroperasi dalam sendi-sendi masyarakat kita, bahkan membuka celah bagi munculnya gagasan tentang resistensi budaya.

Dominasi Kapitalisme dan Pergulatan Diskursus Kekuasaan yang Terselubung

Pada intinya, Squid Game adalah sebuah cerminan keras terhadap hegemoni kapitalisme neoliberal, sebuah konsep yang dipelopori oleh Antonio Gramsci (Gramsci, 1971). Struktur sistematis yang terhampar dalam serial ini merepresentasikan bentuk dominasi budaya di mana ideologi bahwa “yang berkuasa akan selalu berjaya, sementara yang lemah harus berjuang sendiri” telah begitu terinternalisasi. Kondisi ini membuat individu-individu yang terpinggirkan pun seolah menerima nasib mereka sebagai konsekuensi logis dari kegagalan personal, bukan kegagalan sistem. Para kontestan yang terjerat lilitan utang bukan sekadar korban pasif; mereka adalah produk dari diskursus kekuasaan (seperti yang dianalisis Foucault, 1978) yang telah menormalisasi praktik eksploitasi dan persaingan hidup-mati yang kejam.

Permainan itu sendiri berfungsi sebagai medan pertempuran di mana diskursus mengenai “kesempatan kedua” dan “kebebasan memilih” dipresentasikan sebagai nilai utama, padahal di baliknya tersembunyi manipulasi murni.

Para “VIP” dan perancang game tidak hanya mempraktikkan kekuasaan fisik, tetapi juga mengendalikan narasi dan definisi realitas bagi para pemain. Mereka menciptakan “kebenaran” bahwa setiap peserta memiliki kehendak bebas dalam menentukan nasib, padahal pilihan itu sejatinya hanyalah ilusi yang dirancang dan dikendalikan oleh sistem penindas. Inilah manifestasi nyata bagaimana kekuatan tidak hanya menekan kebebasan individu, tetapi juga secara halus membentuk cara kita berpikir, bertindak, dan memahami dunia.

Berita Terkait :  Hardiknas 2025, Pemain Timnas Indonesia U-17 Fadly Alberto Hengga Terima Penghargaan dari Pemprov Jatim

Identitas yang Terepresentasi dan Terkikis dalam Arena Kematian
Konsep representasi, menurut Stuart Hall (Hall, 1997), bukanlah sekadar pantulan pasif dari realitas, melainkan sebuah konstruksi aktif yang membentuk identitas. Dalam Squid Game, setiap karakter adalah representasi dari identitas sosial tertentu. Representasi ini, sebagaimana dijelaskan oleh Stuart Hall, bukan sekadar refleksi pasif, melainkan “a process of meaning production through language” (Hall, 1997, hlm. 16).

Dengan demikian, ketika karakter-karakter seperti Gi-hun, Sae-byeok, dan Ali diperlihatkan, serial ini sedang mereproduksi sekaligus mendekonstruksi identitas sosial yang sering terpinggirkan. Identitas-identitas ini tidak hanya dipresentasikan secara visual, tetapi juga secara brutal “dibentuk ulang” oleh kondisi ekstrem dalam game.

Mereka dipaksa menanggalkan identitas personal mereka, melebur menjadi sekadar nomor-nomor tanpa nama. Ini adalah bentuk dehumanisasi dan de-individualisasi yang merupakan bagian integral dari mekanisme kekuasaan untuk mengontrol totalitas diri. Namun, menariknya, di tengah kondisi terdesak, kita juga menyaksikan bagaimana fragmen-fragmen identitas lama mereka (seperti loyalitas, solidaritas, atau bahkan pengkhianatan) kembali muncul ke permukaan, menandakan adanya konflik makna internal dan eksternal yang terus bergejolak dalam diri mereka.

Mengapa Squid Game Begitu Menggema dan Membius?
Pada akhirnya, Squid Game bukanlah sekadar tontonan blockbuster biasa. Ia adalah sebuah teks budaya yang secara provokatif mengajak kita untuk menggunakan kacamata Cultural Studies: untuk melihat secara kritis bagaimana hegemoni beroperasi di balik layar, bagaimana representasi membentuk dan menantang identitas, bagaimana diskursus kekuasaan bekerja dengan halus, dan bagaimana budaya itu sendiri menjadi arena konflik makna yang tak berkesudahan, di mana bahkan resistensi pun bisa berbisik dan menggema melalui sebuah serial di layar. Serial ini mampu menggema begitu kuat bukan hanya karena brutalitasnya semata, melainkan karena ia menyentuh saraf-saraf fundamental dalam struktur sosial dan ideologi yang kita hidupi, secara paksa membuat kita merenung tentang peran kita dalam “permainan” sesungguhnya yang berlangsung di dunia ini.

Berita Terkait :  Aplikasi Marketplace TUMBAS Cara Pemkab Gairahkan UMKM Dari Gempuran Barang Import

Refleksi Kritis dan Tindakan Praksis
Setelah kita menyelami lapisan-lapisan makna dalam Squid Game secara mendalam, menggunakan perspektif Cultural Studies, khususnya hegemoni (Gramsci), representasi dan identitas (Hall), diskursus dan kekuasaan (Foucault), budaya sebagai arena konflik makna, serta resistensi budaya dan subkultur (Hebdige), kita dihadapkan pada sebuah refleksi kritis: apakah analisis kita akan berhenti pada tataran teoritis semata, ataukah ia akan memantik dorongan untuk bertindak? Squid Game bukan sekadar cermin realitas; ia adalah sebuah alarm peringatan.

Pertama, Menyalahkan Individu atau Sistem? Membongkar Hegemoni yang Menyesatkan. Refleksi kritis kita harus diawali dengan menantang narasi dominan yang seringkali secara simplistik menyalahkan individu atas kemiskinan atau kegagalan mereka. Squid Game secara gamblang menunjukkan bahwa keputusan ekstrem para kontestan bukanlah buah dari pilihan bebas murni, melainkan hasil dari sistem yang rapuh dan opresif, sebuah hegemoni kapitalis yang begitu mengakar hingga tidak menyisakan ruang bagi pilihan-pilihan manusiawi lainnya. Inilah diskursus yang dengan cerdik menormalisasi kemiskinan dan eksploitasi sebagai “risiko personal.” Sebagai mahasiswa komunikasi, tindakan praksis kita adalah mengalihkan fokus dari moralitas personal semata menuju kritik struktural yang lebih mendalam.

Kedua, Membongkar Ilusi Pilihan: Menggugat Diskursus Kekuasaan yang Manipulatif. Serial ini dengan brutal menyingkap tabir ilusi “pilihan bebas” yang acapkali diberikan oleh struktur kekuasaan. Para pemain “memilih” untuk berpartisipasi, namun pilihan itu sejatinya adalah sebuah paksaan yang dibungkus rapi dengan retorika “kesempatan kedua.” Ini adalah cara kerja kekuasaan (sebagaimana diuraikan Foucault): ia membentuk diskursus yang membuat ketidakadilan tampak sebagai sesuatu yang wajar dan tak terhindarkan. Tindakan praksis kita adalah secara aktif membongkar diskursus semacam ini dalam kehidupan nyata misalnya, ketika kita melihat upah minimum yang tidak layak, terbatasnya akses pendidikan berkualitas, atau layanan kesehatan yang berjenjang.

Berita Terkait :  Kapolres Batu dan Pj Wali Kota Awali Penanaman Bibit Jagung Dukung Ketahanan Pangan

Ketiga, Membangun Solidaritas dan Resistensi Kolaboratif: Melawan Hegemoni dengan Subkultur yang Berdaya. Karakter Gi-hun, dalam keterbatasan arena game, memang menunjukkan secercah resistensi individu. Namun, dalam konteks sosial yang lebih luas, Squid Game memprovokasi kita untuk merumuskan resistensi budaya yang jauh lebih terorganisir dan kolaboratif, sesuai dengan pemikiran Hebdige. Ini bukan lagi tentang kekerasan fisik, melainkan tentang membangun solidaritas di antara mereka yang tertindas, membentuk subkultur yang secara sengaja menantang hegemoni dominan, dan secara aktif menciptakan narasi alternatif.

Keempat, Menciptakan Narasi Baru: Representasi untuk Memicu Perubahan Sosial. Jika Squid Game dengan telanjang merepresentasikan brutalitas sebuah sistem dan ideologi yang mengopresif, maka tindakan emansipatoris kita adalah menciptakan representasi baru yang menginspirasi harapan, keadilan, dan perubahan.

Sebagai mahasiswa komunikasi, kita memiliki kekuatan inheren untuk merancang narasi yang menyoroti keberhasilan kolektif dalam menantang ketidakadilan. Ini bisa terwujud melalui produksi film dokumenter yang memukau, kampanye media sosial yang edukatif dan persuasif, jurnalisme investigatif yang berani membongkar praktik eksploitatif, atau karya seni yang kuat menginspirasi solidaritas.

Squid Game mungkin telah berakhir di layar, tetapi “permainan” yang direpresentasikannya masih terus berlangsung di dunia nyata. Sebagai individu yang tercerahkan oleh Cultural Studies, tanggung jawab kita adalah tidak hanya memahami kompleksitas ini, tetapi juga berani melangkah, mempraktikkan kritik yang membangun, dan secara aktif berkontribusi pada perubahan menuju masyarakat yang lebih adil dan manusiawi. Ini adalah panggilan untuk praxis: menyatukan teori dengan aksi nyata demi masa depan yang lebih baik.

————- *** —————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru