Oleh:
Tidor Arif T. Djati
Pemerhati Kearsipan dan Ketua PW AAI Jawa Timur
Kasus pemalsuan ijazah kembali mencuat dan menyita perhatian publik. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah kasus terungkap melibatkan figur pejabat publik, kepala daerah, hingga pejabat negara. Lebih mencemaskan lagi, sebagian besar kasus tersebut lolos begitu saja dalam proses administratif seleksi pejabat publik, bahkan sampai tahap pengangkatan jabatan. Kasus pemalsuan ijazah sekaligus menjadi tamparan serius bagi kredibilitas sistem pendidikan dan tata kelola kearsipan nasional. Di sinilah pentingnya melihat persoalan ini dari kacamata kearsipan, bukan semata administratif. Karena sejatinya, ijazah adalah arsip otentik yang menjadi bukti hukum atas proses pendidikan seseorang. Di tengah fenomena ini, Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) memegang peran strategis dalam mencegah, mengidentifikasi, serta menindaklanjuti dugaan pemalsuan ijazah melalui pendekatan kearsipan.
Fungsi dan Wewenang ANRI
Sesuai dengan pasal 1, angka 14, UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, ANRI adalah lembaga kearsipan berbentuk lembaga pemerintah non kementerian yang melaksanakan tugas negara di bidang kearsipan yang berkedudukan di ibukota negara. ANRI bertanggungjawab dalam penyelenggaraan kearsipan secara nasional. Tangung jawab tersebut meliputi aspek penetapan kebijakan, pembinaan kearsipan, dan pengelolaan arsip. Dalam penetapan kebijakan ANRI berperan dalam menetapkan 10 (sepuluh) bidang, yaitu: pembinaan penyelenggaraan kearsipan nasional, pengelolaan arsip (dinamis dan statis), pembangunan SKN (Sistem Kearsipan Nasional), pembangunan SIKN (Sistem Informasi Kearsipan Nasional), dan pembentukan JIKN (Jaringan Informasi Kearsipan Nasional), organisasi, pengembangan sumber daya manusia, prasarana dan sarana, pelindungan dan penyelamatan arsip, sosialisasi kearsipan, kerja sama, dan pendanaan.
Dalam konteks pembinaan, ANRI adalah pembina utama penyelenggaraan kearsipan secara nasional. Sedangkan dalam konteks pengelolaan arsip, ANRI adalah pengumpul, penerima dan pengelola arsip statis dari lembaga negara maupun perseorangan yang memiliki nilai guna nasional, serta pemberi layanan arsip kepada publik dan pemangku kepentingan untuk keperluan informasi, keadilan, dan penelitian.
Di samping itu kesepuluh bidang tersebut ANRI juga memiliki kewenangan melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) bidang kearsipan di seluruh instansi pusat dan daerah, Menurut pasal 69 ayat 1 undang-undang dimaksud, ANRI sebagai lembaga kearsipan juga memiliki wewenang melakukan autentikasi arsip statis dengan dukungan pembuktian. Dalam melaksanakan kewenangan, dan tugas penetapan autentisitas suatu arsip statis, ANRI sebagai lembaga kearsipan harus didukung peralatan dan teknologi yang memadai. Dukungan tersebut sangat penting untuk pemenuhan kapabilitas, kompetensi, serta kemandirian dan integritas arsip yang akan diutentikasi. Dengan kewenangan tersebut seharusnya ANRI, selain kepolisian negara, dapat berperan menjadi rujukan utama dalam verifikasi dan autentikasi keaslian sebuah dokumen pendidikan terutama arsip yang berbentuk ijazah, terutama yang berkaitan dengan pejabat publik dan pejabat negara.
Respons ANRI terhadap Kasus Pemalsuan Ijazah
Hingga saat ini, peran ANRI dalam merespon kontroversi pemalsuan ijazah pejabat negara atau pejabat publik tergolong pasif. Aktifitas ANRI lebih pada menjalankan 10 fungsi utama dan pengawasan dalam penyelenggaraan kearsipan, seperti pendokumentasian arsip dari lembaga yang sudah menyerahkan arsip statis, penyediaan layanan akses arsip bagi pemohon yang arsipnya sudah dikelola. Bahkan dalam peningkatan pendayagunaan arsip statis mnjalankan akifitas program registrasi arsip sebagai Memori Kolektif Bangsa (MKB). Namun, dalam banyak kasus kontroversial, seperti dugaan pemalsuan ijazah tokoh politik nasional, ANRI belum tampil aktif sebagai verifikator otoritatif. Mengapa peran tersebut kurang aktif diperankan, antara lain:
1.Sejak berlakunya UU 43 tahun 2009 setiap Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memiliki peran yang hampir sama dengan lembaga kearsipan pemerintah daerah. PTN memiliki kewenangan untuk mengelola arsip statis yang diciptakan tanpa harus menyerahkan arsip statisnya ke ANRI;
2.Sebelum berlakunya UU 43, sangat mungkin lembaga pendidikan tinggi tidak menyerahkan salinan arsip ijazah atau buku induk peserta didik yang diciptaknnya ke ANRI, termasuk lembaga pendidikan swasta atau yang telah bubar.
3.Kurangnya integrasi data antara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Kementerian Pendidikan Tinggi dan Ristek, dengan ANRI, sehingga sulit melakukan pencocokan identitas akademik, bahkan ANRI sangat mungkin ANRI tidak memilik data kelulusan bahkan salinan ijazah.
4.Belum adanya sistem nasional autentikasi ijazah terpusat khususnya yang berbasis arsip permanen.
Penguatan Peran ANRI
Untuk menjawab tantangan ini, kiranya ANRI perlu melakukan penguatan dan mengambil peran yang lebih strategis untuk memperkuat proses seleksi setiap tahapan dari rekuitmen pegawai atau pejabat publik dan pejabat negara, beberapa peran strategis tersebut menurut hemat penulis diantaranya adalah, perlu: (1) Berkolaborasi dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi, serta Peguruan Tinggi Negeri maupun swasta membangun basis data nasional arsip ijazah permanen yang diciptakan atau dikeluarkan oleh setiap lembaga pendidikan di seluruh Indonesia. Sekaligus melakukan control kualitas data pendidikan, khususnya data ijazah. Kolaborasi lintas sectoral, juga harus dilakukan seperti dengan Badan Kepegawaian Negara dan Komisi Pemilihan Umum sebagai pengguna utama dokumen ijazah dalam proses seleksi aparatur sipil negara (ASN) dan pejabat negara. Serta kolaborasi dengan unsur Kejaksaan dan Kepolisian dalam penyidikan kasus pemalsuan dokumen; (2) Berperan aktif sebagai mitra strategis lembaga verifikator, seperti Badan Pengawas Pemilu, Komisi Pemilihan Umum, Ombudsman, atau KPK dalam proses klarifikasi dan autentikasi arsip-arsip atau dokumen pejabat publik, baik pada saat proses pemenuhan persyaratan administrasi maupun pasca penetapan sebagai pejabat publik; (3) Mengembangkan autentikasi arsip pendidikan berbasis sistem digital watermarking yang dapat diakses publik secara terbatas untuk verifikasi dasar; (4) Melakukan audit kearsipan tematik, terutama pada lembaga pendidikan tinggi yang sering muncul dalam sengketa ijazah palsu; (5) Mendorong revisi peraturan perundangan agar ijazah sebagai arsip strategis diwajibkan diserahkan ke ANRI atau Dinas Kearsipan di daerah dalam waktu tertentu setelah diterbitkan.
Penutup
Pemalsuan ijazah bukan persoalan teknis semata, tetapi ujian serius bagi negara dalam membangun kepercayaan publik. Dalam konteks ini, peran Arsip Nasional RI menjadi sangat penting dan strategis. Kita perlu mendukung penguatan peran ANRI, memperluas digitalisasi arsip, memperbaiki sistem validasi maupun autentikasi ijazah, dan membangun budaya sadar arsip di seluruh lapisan masyarakat. Tanpa itu semua, kita akan terus membiarkan sistem kita disusupi oleh pemalsuan dan manipulasi. Sudah saatnya kita menempatkan arsip sebagai alat pertahanan integritas bangsa.
————– *** —————-


