Malam nanti, sudah dimulai tahun baru Islam, penanggalan 1 Muharram 1447 H. Sekaligus hari raya, dan tahun baru adat budaya 1 Syura. Di berbagai daerah diselenggarakan perayaan adat oleh berbagai Kesultanan. Menjadi ritual rutin kalangan pemangku adat bersama kalangan rakyat. Beberapa daerah memiliki even ritual perayaan yang di-sakral-kan. Bukan hanya di Jawa, melainkan juga di Ternate (Maluku Utara), dan Pariaman (Sumatera Barat). Sebagian patut disokong menjadi kalender ke-wisata-an yang popular.
Pemerintah mulai menggencarkan sektor wisata dalam negeri. Dicanangkan anggaran sebesar Rp 24,44 trilyun, digelontorkan secara khusus pada saat libur panjang sekolah (sampai Juli 2025). Tahun ini, perayaan 1 Syura, bertepatan dengan libur sekolah. Stimulus diberikan pada sektor transportasi (pesawat udara, kapal laut, dan kereta-api) melalui diskon. Juga untuk mem-biayai promosi lokasi wisata. Termasuk destinasi wisata perayaan Gerebek Syura. Ditargetkan bisa meraih 1,08 milyar perjalanan wisata lokal.
Di Indonesia, kalender Hijriyah bersamaan dengan kalender adat budaya. Bahkan kalender budaya sangat mendominasi kehidupan masyarakat. Terutama untuk menentukan hari pernikahan, serta berbagai hajat hidup. Termasuk memulai usaha pekerjaan (swasta). Maka ritual sosial Gerebek Syura, memperingati tahun baru Hijriyah, bagai perayaan adat budaya bersendi syara (syariat agama).
Berbagai kerajaan di Indonesia menggelar pesta adat, menjamu rakyat pada awal bulan Syura. Awal bulan Syura menandai tahun baru adat, sekaligus tahun baru hijriyah (Islam). Perayaan grebek Syura, telah dijadikan agenda wisata berskala internasional, terdaftar sebagai bulan kunjungan Indonesia. Kebo bule, hadiah dari bupati Ponorogo, merupakan hewan ikon, milik raja Pakubuwono II (keraton Kasunanan Surakarta).
Perayaan 1 Gerebek Syura sekaligus menjadi pertanda hari jadi Ponorogo, pernah menjadi poros utama ke-berlanjutan keraton Mataram. Maka wajar peringatan Gerebek Suro, menjadi perayaan utama, sejak tahun 1742. Raja Mataram ke-9 (sekaligus Raja Surakarta pertama), Pakubuwono II, memulai kirab iring-iringan kerbau dari Ponorogo ke Surakarta. Setelah tahta kerajaan bisa direbut kembali, atas bantuan (doa) kyai Ageng Muhammad Besari, tokoh ulama Ponorogo. Tiada gajah, maka digunakan kerbau (kyai Slamet).
Dinamakan kyai Slamet, karena digunakan sebagai kavaleri pengangkut pusaka bernama kyai Slamet. Sesuai adat Jawa, seluruh barang berharga milik kerajaan diberi nama dengan sebutan kyai. Kerbau kyai Slamet dulu, juga memandu raja untuk mencari lahan dalam rangka pemindahan keraton Kasunanan Pakubuwana II. Itu mencontoh peristiwa Kanjeng Nabi Muhammad SAW mencari lokasi untuk pembangunan masjid Nabawi di Madinah, dipercayakan kepada onta Nabi SAW.
Kebo bule saat ini, diperkirakan turunan ke-101 dari kerbau pertama (tahun 1725). Sampai saat ini keraton Pakubuwanan tetap me-mulia-kan kebo bule. Harus diakui, kebo bule memiliki magnitude sebagai “bintang utama” ke-wisata-an. Di daerah lain (Pariaman, Sumatera Barat), juga terdapat perayaan hari raya Asyura. Yakni, pawai “Tabuik,” diikuti segenap masyarakat. Melambangkan keranda yang membawa jenazah Imam Husain. Salahsatu cucu Nabi Muhammad SAW, yang gugur dalam peristiwa Karbala. Puncak acara, dilakukan arak-arakan dan pembuangan “Tabuik” ke laut.
Perayaan hampir serupa dilakukan pula oleh masyarakat Pangkal Pinang (di pulau Bangka) sebagai “Nganggung.” Masyarakat pulau Lombok juga memiliki tradisi unik bernama “Mandik Pusake” yang dilaksanakan pada malam 1 Sura. Biasa diselenggarakan pemandian (mencuci) pusaka di Gedeng Gerung Perigi, Gerung, Lombok Barat.
Tradisi perayaan 1 Syura, diperingati dengan beragam adat, dan seni budaya, yang mempersatukan masyarakat dengan pejabat. Sekaligus bersama melakukan tirakat (puasa menahan diri) dengan perenungan.
——— 000 ———


