28 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Hijrah sebagai Jalan Perubahan Sosial yang Adil dan Inklusif

Oleh :
Nur Kamilia
Dosen Hukum STAI Nurul Huda

Setiap datangnya bulan Muharram, umat Islam di berbagai belahan dunia kembali diingatkan pada momen bersejarah yang sangat monumental dalam perjalanan dakwah Islam: hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Peristiwa itu tidak hanya menjadi tonggak penanggalan dalam kalender Hijriyah, tetapi juga menjadi simbol transformasi sosial yang sangat mendalam.

Sayangnya, banyak dari kita yang masih memaknai hijrah sebatas perpindahan fisik atau ritus spiritual semata. Padahal, jika ditelaah lebih dalam, hijrah adalah representasi dari perubahan nilai dan tatanan sosial dari penindasan menuju pembebasan, dari ketimpangan menuju kesetaraan, dari kekuasaan yang eksklusif menuju masyarakat yang inklusif.

Kini, di tahun 1447 Hijriyah, kita diajak untuk kembali memahami dan menghidupkan semangat hijrah dalam konteks yang lebih luas, terutama dalam membangun masyarakat yang lebih adil gender, setara, dan penuh kasih.

Hijrah
Perjalanan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat dari Makkah ke Madinah bukan hanya tentang menyelamatkan diri dari tekanan Quraisy, tetapi juga tentang membentuk masyarakat baru yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial, persaudaraan lintas suku, dan kepedulian terhadap yang lemah.

Hijrah adalah langkah radikal dalam membongkar sistem lama yang penuh ketimpangan, dan membangun peradaban baru yang menjadikan keadilan sebagai pilar utamanya. Dalam konteks hari ini, hijrah bisa dimaknai sebagai perubahan cara berpikir dan bertindak dari sistem yang menindas kepada sistem yang membebaskan terutama dalam hal relasi gender dan struktur sosial.

Berita Terkait :  Unusa Peduli Kondisi Ekonomi, DPP dan DOP Tak Naik, bahkan Beasiswa Ditingkatkan

Dari Patriarki Menuju Kesetaraan
Salah satu tantangan terbesar yang masih dihadapi umat Islam saat ini adalah dominasi budaya patriarki yang kerap dibungkus oleh tafsir keagamaan. Budaya ini meminggirkan perempuan, membatasi ruang gerak mereka, dan mengabaikan kontribusi serta hak-haknya dalam ranah sosial, politik, bahkan spiritual.

Momentum hijrah seharusnya bisa dijadikan titik balik untuk keluar dari sistem sosial yang tidak adil ini. Hijrah dari patriarki menuju kesetaraan berarti memperjuangkan ruang yang setara bagi perempuan dan laki-laki dalam membangun masyarakat, keluarga, dan peradaban.

Semangat hijrah adalah semangat untuk meruntuhkan dominasi sepihak dan menggantinya dengan kemitraan yang sejajar. Ini adalah ajakan untuk berhijrah dari cara pandang yang melebihkan satu jenis kelamin atas yang lain, menuju cara pandang yang mengakui kemuliaan dan potensi semua manusia tanpa diskriminasi.

Kontribusi yang Terlupakan
Sayangnya, narasi sejarah hijrah sering kali hanya menampilkan tokoh-tokoh laki-laki, seolah hanya mereka yang berkontribusi besar dalam peristiwa ini. Padahal, banyak perempuan yang memainkan peran kunci dalam hijrah.

Salah satu contohnya adalah Asma’ binti Abu Bakar, yang dengan penuh keberanian mengantar logistik dan informasi kepada Nabi Muhammad dan ayahnya, Abu Bakar, saat bersembunyi di Gua Tsur. Ia berani mengambil risiko besar demi kelancaran hijrah. Kita juga mengenal Ruqayyah binti Rasulullah yang berhijrah bersama suaminya ke Habsyah untuk menyelamatkan akidah.

Berita Terkait :  Komisi C DPRD Surabaya Godog Raperda Perseroda Yekape

Perempuan-perempuan ini bukan sekadar pendamping atau pelengkap, tetapi pelaku sejarah sejati. Maka, bagian dari hijrah hari ini adalah menghijrahkan cara kita membaca sejarahdari narasi yang maskulin ke narasi yang lebih adil dan lengkap. Kita perlu mengangkat kembali kisah perempuan dalam sejarah Islam sebagai inspirasi dan penguatan identitas.

Refleksi
Hijrah sebagai transformasi nilai sebaiknya juga diterapkan dalam lingkup yang paling dekat dengan kita: keluarga. Keluarga adalah ruang utama untuk membangun budaya baru yang lebih setara dan inklusif.

Apa artinya? Dalam keluarga muslim, ini berarti membagi tanggung jawab rumah tangga secara adil, menghormati suara dan aspirasi semua anggota keluarga termasuk anak perempuan dan istri serta membesarkan anak-anak dengan nilai kemitraan, bukan dominasi.

Keluarga yang berhijrah secara nilai adalah keluarga yang:

” Mengedepankan dialog daripada otoritas sepihak,

” Memberi ruang bagi perempuan untuk berkembang dan berdaya,

” Menumbuhkan empati dan kasih sayang sebagai dasar relasi.

Dengan begitu, semangat hijrah tidak hanya menjadi slogan tahunan, tapi benar-benar hidup dalam tindakan nyata, dimulai dari rumah.

Tahun baru Hijriyah bukan sekadar ganti kalender, tapi titik awal perubahan sosial. Hijrah adalah panggilan untuk keluar dari zona nyaman menuju perjuangan yang bermakna. Bukan hanya perjuangan individu menuju taqwa, tetapi juga perjuangan kolektif menuju masyarakat yang lebih adil, setara, dan penuh cinta kasih.

Berita Terkait :  Kejari Gresik Terima Uang Titipan Rp860 Juta dari Terdawa Ryan Febrianto

Muharram adalah saat yang tepat untuk merenung: sudahkah kita berhijrah dari diskriminasi menuju empati? Dari dominasi menuju kolaborasi? Dari ketidakpedulian menuju keberpihakan?

Jika belum, maka inilah saatnya.

————— *** ———————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru