33 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Pendidikan Profetik: Meneguhkan Jati Diri Bangsa

Oleh:
Darmadi
Pegawai Fungsional pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lampung Tengah

Sejak kemerdekaan, penyelenggaraan pendidikan nasional cenderung berorientasi pada ranah kognitif: mencetak individu yang cerdas, terampil, dan piawai secara teknis. Namun penekanan yang berlebihan pada aspek intelektual ini justru memunculkan persoalan “kepribadian terbelah” dan “integritas terfragmentasi”.

Praktik kebohongan, manipulasi, korupsi, kolusi, nepotisme, hingga kekerasan antarkelompok etnik terus bermunculan dalam ruang publik, menandakan kegagalan pendidikan menanamkan nilai afektif spiritual. Lulusan banyak yang kehilangan kepercayaan diri dan identitas moral, terseret arus modernitas global yang kerap menistakan tradisi lokal.

Fragmentasi visi, perubahan kebijakan setiap pergantian rezim, serta penggunaan pendidikan sebagai instrumen politik elitis menambah panjang daftar persoalan. Kinerja lembaga pendidikan diukur lewat kemegahan fisik, tingginya biaya, dan seberapa banyak alumninya yang menduduki jabatan, bukan lewat mutu kemanusiaan. Komersialisasi mereduksi pendidikan menjadi “mesin kapital” sehingga akses masyarakat kurang mampu kian tertutup. Nilai moral diajarkan sebatas teori-nyaris tak pernah diwujudkan dalam tindakan.

Modernitas membawa dua sisi mata uang. Ia menawarkan efisiensi dan kemajuan teknologis, namun juga mengikis spiritualitas dan kebersamaan. Nasr (1975) mencatat kecenderungan manusia modern mengalami pemisahan kepribadian dan integritas, sedangkan Muhammad A.R. (2003) menunjukkan pergeseran ideologi dari spiritual religius ke materialisme kapitalisme, dari ekonomi subsisten ke kerakusan, dan dari politik bermoral ke politik kekuasaan.

Berita Terkait :  Dorong Akselerasi Kurikulum Merdeka

Tingkat interdependensi global memaksa negara negara, termasuk Indonesia, mempersiapkan sumber daya manusia yang kompetitif. Ironisnya, keberhasilan akademik kerap dibarengi tumbuhnya pribadi materialistis, individualistik, serta miskin makna hidup.

Hasilnya adalah krisis identitas kolektif: gotong royong, musyawarah, dan keramahan-jati diri bangsa-semakin memudar. Dunia pendidikan akhirnya terjebak dilema: dituntut memproduksi SDM unggul sekaligus memelihara nilai moral.

Sebagian institusi justru ikut mereproduksi praktik tak etis-bertentangan dengan misi pencerahan yang seharusnya mereka emban.

Agar kembali ke khitahnya, dunia pendidikan mesti terlebih dahulu mereformasi diri: (1) Bebas intervensi politik dan kapital. Proses belajar harus steril dari doktrin kekuasaan atau kepentingan pasar. Pendidikan bertujuan memerdekakan dan mencerdaskan seluruh warga, bukan melanggengkan kelas sosial tertentu; (2) Menjamin pendanaan publik yang memadai. Pemerintah harus menuntaskan komitmen alokasi anggaran 20?% APBN agar biaya pendidikan tidak membebani rakyat; (3) Memulihkan makna “mendidik”. Pendidikan karakter, etika, dan akhlak ditempatkan sejajar-bahkan mendasari-transfer pengetahuan; (4) Mengutamakan keteladanan dan partisipasi. Guru dan institusi wajib menjadi contoh konkret nilai yang diajarkan, sembari memberi ruang peserta didik mengaktualisasikan nilai tersebut; (5) Mensintesakan ilmu dan nilai. Dikotomi antara “ilmu umum” dan “ilmu nilai” harus dihapus. Kurikulum memadukan kearifan budaya agama dengan prinsip kemanusiaan, kesetaraan, dan demokrasi.

Paradigma pendidikan profetik menawarkan sintesis dua kutub: pelestarian nilai religius moral dan penguasaan ilmu modern. Kuntowijoyo (dalam Moh.?Sofan, 2004) merumuskan tiga dimensi profetik-humanisasi, liberasi, dan transendensi-yang menuntun perubahan sosial berbasis cita cita etik.

Berita Terkait :  Disnaker Kota Madiun Buka Pelatihan Pelaku IKM

Pendidikan di sini tidak sekadar mentransfer pengetahuan, melainkan mentransformasikan kesadaran peserta didik agar mampu mengolah konsep normatif (agama, budaya) menjadi teori dan tindakan ilmiah kontekstual. Paradigma ini memerlukan “obyektifikasi” nilai: dialog kritis antara ajaran lokal dan konsep global, sehingga pendidikan tak lagi gamang menghadapi arus perubahan. Dengan begitu, lembaga pendidikan dapat memposisikan diri sebagai lokomotif pembentukan jati diri bangsa, bukan sekadar pengikut tren.

Rendahnya kepercayaan diri tercermin pada manajemen pendidikan yang sering bersifat trial and error-mulai CBSA, MBS, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka-tanpa evaluasi mendalam. Munandir (dalam Imam Tolkhah, 2003) menyebut praktik pengelolaan pendidikan kita kerap amatiran, bersandar pada mitos ketimbang kajian ilmiah. Untuk memulihkannya, diperlukan: (1) Profesionalisme dan desentralisasi kreatif agar sekolah dan masyarakat berinovasi sesuai konteks budaya lokal; (2) Peningkatan kualitas guru dan sarana supaya proses belajar relevan dengan realitas sehari hari peserta didik; (3) Keputusan moral yang tegas: institusi pendidikan harus berani menolak praktik yang bertentangan dengan nilai agama dan moral bangsa, sembari yakin pada kekuatan budayanya sendiri.

Dunia pendidikan Indonesia sedang mengalami krisis orientasi. Tanpa jati diri yang kukuh, ia mudah terombang ambing oleh pragmatisme politik dan arus kapital. Pendidikan profetik memberi jalan tengah: memadukan moral religius dengan ilmu pengetahuan modern, membentuk insan yang kritis, kompeten, sekaligus berakhlak.

Berita Terkait :  Desain Kepemimpinan Power Team

Transformasi ini menuntut keberanian lembaga pendidikan melakukan “pembersihan rumah sendiri”-melepaskan diri dari komersialisasi dan politisasi, lalu menegakkan proses belajar yang menyentuh ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik secara seimbang. Hanya dengan cara inilah pendidikan mampu meneguhkan kembali jati diri dan rasa percaya diri bangsa Indonesia di tengah tantangan global.

————- *** —————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru