Kebutuhan riil (lebih prioritas) masyarakat Indonesia, adalah pendidikan dasar gratis (di-biayai pemerintah), bukan makan bergizi gratis. Kebutuhan pendidikan dasar sering “diabaikan” kalangan elit. Tetapi direspons oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Karena, walau konstitusi meng-amanat-kan biaya pendidikan sebesar 20% dari APBN, dan APBD, realitanya selalu “di-siasati.” Masih banyak elit (pemerintah pusat, dan daerah) tidak benar-benar meng-alokasikan anggaran pendidikan sebesar 20%.
Hampir setiap daerah menyatakan sudah meng-alokasikan anggaran pendidikan sebesar 20%. Padahal tidak. Dalihnya, anggaran pendidikan tidak hanya dimasukkan ke rekening Dinas Pendidikan. Melainkan juga pada ke-dinas-an lain. Ironisnya, biaya pendidikan kedinasan, dan kuliah S-2 kalangan pegawai, juga diambilkan dari anggaran pendidikan. Banyak kegiatan non-pendidikan, yang biaya-nya diambilkan dari anggaran pendidikan. Niscaya alokasi riil untuk sekolah dan kuliah, semakin kecil.
Bahkan melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2025 Tentang Efisiensi Belanja Dalam APBN 2025, anggaran Pendidikan juga dipangkas. Pemangkasan sebesar Rp116,9 trilyun, menjadi Rp 607,4 trilyun. Berdasar alokasi baru, anggaran pendidikan dalam APBN 2025 menjadi 16,77%. Beberapa program niscaya mengalami penurunan pos anggaran. Tak terkecuali anggaran untuk Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, susut Rp 7,27 trilyun. Kini menjadi Rp 25,5 trilyun.
Ironis, rata-rata orangtua murid SD Negeri dari kalangan MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah). Yakni, berpenghasilan kurang dari Rp 1 juta, sebanyak 9,211 juta orang (45,72%). Disusul penghasilan Rp 1 juta – Rp 2 juta, sebanyak 5,85 juta orang (29,05%). Orangtua miskin, terutama di NTT, sebanyak 177.472 orang. Tetapi di seantero jawa juga tidak sedikit. Orangtua miskin di Jatim sebanyak 84 ribu lebih, di Jabar terdapat 56.300 orang, dan Jateng 40.500 orang. Ada pula yang tidak punya income samasekali sebanyak 862.121 (4,27%).
Situasi perekonomian SD swasta sedikit lebih baik. Orangtua miskin sebanyak 21,43%. Tingkat perekonomian orangtua yang sangat rendah, menyebabkan angka putus sekolah cukup tinggi. Sebanyak 38.540 anak). Nelangsa-nya, mayoritas (53,31%) putus sekolah Tingkat SD, berada di kelas I, sebanyak 16.826 anak. Disusul kelas V (11,92%). Terutama paling banyak murid SD Negeri. Berdasar catatan Kementerian Dikdasmen, propinsi dengan angka putus sekolah SD paling banyak, berada di Jawa Barat (3.411 anak), disusul Sumatera Utara (1.555 anak).
Angka putus sekolah pada jenjang SMP dan sederajat, juga masih memprihatinkan. Berdasar Data Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang diolah Pusdatin Kemendikdasmen, tahun 2024, jumlah siswa SMP dan MTs yang putus sekolah masih sekitar 12.210 siswa (0,12%). Realita lain, angka putus sekolah pada kawasan 3T (tertinggal, terdepan, terluar) selalu lebih tinggi dibanding rata-rata nasional.
MK mengabulkan Sebagian gugatan yang diajukan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), dan tiga pemohon per-orangan. MK berpandangan “pembatasan pembiayaan hanya untuk sekolah negeri menciptakan kesenjangan akses, terutama karena keterbatasan daya tampung sekolah negeri.” Maka yang gratis, bukan hanya sekolah negeri. Melainkan juga swasta.
Sudah dilakukan sharing. Kabupaten dan Kota mengurus pendidikan jenjang SD. Propinsi melaksanakan Pendidikan Menengah (SMA, MA, dan SMK). Sedangkan pemerintah pusat mengurus aspek kependidikan yang lain. Tetapi masih pada sekolah negeri. Berbagai pengamat ekonomi kependidikan yakin, Pendidikan Dasar gratis bisa dilaksanakan. Syaratnya, pemerintah sungguh-sungguh melaksanakan amanat konstitusi.
UUD pada pasal 31 ayat (2), menyatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib rnembiayainya.” Tetapi hingga kini belum direalisasikan pada sekolah swasta. Masih banyak pejabat tinggi negara, dan Kepala Daerah, tidak sepenuh hati melaksanakan konstitusi.
——— 000 ———


