28 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Banjir di Musim Kemarau, Apakah Bojonegoro Baik- Baik Saja?

Oleh
Kuntum Febriyantiningrum
Mahasiswi Doktoral Program Studi Biologi Fakultas Biologi UGM. Dosen Departemen Pendidikan Biologi FMIPA UNY.

Sejak pertengahan bulan Mei 2025, beberapa wilayah di Kabupaten Bojonegoro tengah dilanda banjir akibat meluapnya Sungai Bengawan Solo dan curah hujan tinggi.

Hal ini tentu menghadirkan kejanggalan tersendiri. Bagaimana tidak, saat kalender musim menunjukkan awal musim kemarau, banjir justru datang tanpa diundang. Ratusan rumah terendam, aktivitas warga terganggu, dan lahan pertanian kembali digenangi air.

Dilansir dari SuaraBanyuurip.com, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bojonegoro telah mencatat 197 kepala keluarga di sembilan desa pada tiga kecamatan, termasuk Kecamatan Bojonegoro, Trucuk, dan Kalitidu terdampak banjir. Bahkan, di Desa Kalisari, Kecamatan Baureno, banjir turut merendam jalan poros desa sepanjang 6 kilometer dan jalan lingkungan sepanjang 3 kilometer.

Sebanyak 420 rumah warga turut tergenang dengan ketinggian air di jalan mencapai 100 hingga 150 sentimeter. Tak hanya itu, banjir juga terjadi di wilayah perkotaan, menggenangi jalan dan menghambat aktivitas warga. Fenomena ini tentu saja memunculkan pertanyaan : Apa yang sedang terjadi? Apakah alam sedang baik-baik saja?

Secara historis, musim kemarau di Bojonegoro identik dengan panas terik, ditandai dengan menurunnya curah hujan secara drastis, mengeringnya sumur dan sumber air, bahkan tak jarang beberapa wilayah di Kabupaten Bojonegoro dilanda kekeringan. Namun, tahun ini situasinya berubah. Curah hujan ekstrem yang turun secara sporadis justru memicu terjadinya banjir.

Berita Terkait :  Polresta Blitar Razia dan Tes Urin Tempat Karaoke

BMKG telah memprediksi bahwa tahun ini musim kemarau akan berlangsung lebih singkat dari biasanya di sebagian wilayah Indonesia. Musim kemarau kini tak lagi sama. Hujan masih saja turun di pagi, siang dan sore hari, tanpa bisa diprediksi.

Cuaca di pagi hari terkadang kering, kemudian berganti lembab, disusul hujan dengan intensitas sedang sampai tinggi. Inilah kemarau basah, sebuah fenomena yang tengah melanda sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk Kabupaten Bojonegoro. Ini bukanlah sekadar anomali cuaca, melainkan gejala nyata dari krisis iklim global yang kian mendesak untuk direspon secara serius.

Fenomena perubahan cuaca ekstrem, seperti hujan lebat di musim kemarau atau kekeringan panjang di musim hujan, merupakan bagian dari pola iklim yang semakin tak menentu. Suharko, dalam bukunya “Sosiologi Lingkungan Hidup” menjelaskan bahwa kekacauan musim dan anomali cuaca dapat terjadi seiring berlangsungnya pemanasan global.

Sejalan dengan pernyataan tersebut, perubahan kondisi ini ditandai dengan naiknya suhu lingkungan akibat peningkatan emisi gas rumah kaca. Dampaknya tidak hanya dirasakan di wilayah kutub atau negara dengan wilayah yang kecil, tetapi juga di daerah-daerah seperti Bojonegoro yang sangat bergantung pada keseimbangan alam, khususnya sistem hidrologi sungai.

Jika kita amati secara seksama, banjir yang terjadi di Kabupaten Bojonegoro saat ini merupakan hasil kombinasi antara faktor alam dan aktivitas manusia, yang diperparah oleh dampak perubahan iklim. La Nina, salah satu faktor alam yang merupakan sebuah fenomena anomali iklim global yang ditandai dengan suhu permukaan laut atau sea surface temperature (SST) di Pasifik Tengah Ekuator yang lebih dingin dibandingkan dengan biasanya, diikuti perubahan pola sirkulasi atmosfer, iklim dan cuaca global.

Berita Terkait :  BLT DBHCHT Sampang 2025 Tembus Rp3,1 Miliar

Perubahan iklim ini mampu menyebabkan pola curah hujan menjadi tidak menentu, dengan intensitas hujan yang lebih tinggi dalam waktu singkat. Selain itu, faktor-faktor seperti deforestasi di daerah hulu, sedimentasi sungai, dan alih fungsi lahan turut memperparah kondisi banjir. Hilangnya vegetasi alami mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air, sementara sedimentasi mengurangi kapasitas sungai dalam menampung air hujan.

Namun, menyalahkan iklim saja tentu tidak adil. Kita tidak bisa mengabaikan bahwa alih fungsi lahan, pembabatan hutan di daerah hulu, pendangkalan sungai karena sedimentasi, serta buruknya tata kelola drainase di wilayah perkotaan turut memperburuk dampak terjadinya banjir. Pembangunan fasilitas dan pemukiman di wilayah perkotaan seharusnya memperhatikan area resapan yang dapat menjadi jalan air. Saat hujan deras datang, tidak ada lagi “penyangga” alami yang mampu menyerap dan mengalirkan air secara wajar. Maka air pun meluap, mencari jalan sendiri. Sayangnya, jalan itu melewati rumah-rumah warga.

Seharusnya Menjadi Alarm Keras
Banjir yang terjadi di waktu yang tidak seharusnya ini merupakan fenomena yang patut diperhatikan secara seksama. Banjir ini merupakan sebuah peringatan bahwa kondisi alam dan lingkungan kita tak lagi sama. Alam kita sedang tidak baik-baik saja. Alam butuh perhatian. Ini bukan hanya soal pembangunan infrastruktur atau penanganan bencana semata. Semua ini tentang bagaimana kita melihat kembali hubungan antara manusia, alam, dan pembangunan. Manusia harus sadar betul bahwa kelestarian lingkungan harus tetap dipertahankan untuk menjaga kesinambungan ekosistem. Kita membutuhkan kebijakan yang bukan hanya reaktif, tetapi proaktif dan berbasis data ilmiah. Kebijakan dan program pencegahan dapat diupayakan sejalan dengan kondisi lingkungan saat ini. Rehabilitasi hutan di daerah hulu, normalisasi sungai, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) secara terintegrasi, serta sistem peringatan dini berbasis teknologi harus diperkuat. Lebih dari itu, masyarakat juga harus dilibatkan secara aktif dalam kegiatan pelestarian lingkungan. Edukasi tentang adaptasi perubahan iklim, pentingnya menjaga ruang terbuka hijau, dan pengelolaan sampah yang baik menjadi pondasi dari ketahanan ekologis di tingkat lokal.

Berita Terkait :  Pj Wali Kota Madiun Berharap Guru Makin Berdaya

Banjir yang terjadi di musim kemarau bukanlah sekadar peristiwa cuaca. Ia adalah cerminan dari kegagalan kita memahami dan menghormati ritme alam. Jika kita masih abai, bukan tidak mungkin bencana semacam ini akan menjadi pemandangan rutin di masa depan. Saatnya Bojonegoro dan Indonesia secara luas membangun kembali hubungan harmonis dengan lingkungan, sebelum semuanya terlambat. Bersinergi dan terus memperbaiki diri untuk lingkungan yang lebih baik dan tetap lestari.

———– *** —————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru