Surabaya, Bhirawa
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa seseorang tidak bisa dipidana hanya karena mengkritik pemerintah atau membuat kegaduhan di media sosial. Hal ini tertuang dalam putusan MK Nomor 115/PUU-XXII/2024 dan 105/PUU-XXII/2024.
Menyoroti kebijakan tersebut, Direktur Direktorat Sistem Informasi (DSI) Yayasan Perguruan 17 Agustus 1945 (YPTA) Surabaya, Supangat, Ph.D., ITIL., COBIT., CLA., CISA, berpendapat bahwa sistem informasi akan mengambil peran sebagai pilar demokrasi digital.
Menurut Supangat, kritik yang seharusnya bertujuan untuk kepentingan umum kini mendapat perlindungan hukum yang lebih jelas. “UU ITE tidak lagi bisa digunakan sebagai alat untuk membungkam suara publik yang menyampaikan ketidakpuasan atau tuntutan secara terbuka. Dengan putusan ini, ruang maya tetap berada dalam kerangka demokratis, bukan di bawah bayang-bayang kriminalisasi,”ujar Supangat, Rabu (7/5).
Kaprodi Sistem dan Teknologi Informasi Untag Surabaya ini juga menyebut melalui putusan itu, MK menilai bentuk kerusuhan dan keonaran di dunia maya sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman, mengingat teknologi digital yang terus berkembang pesat.
Ditambahkannya, MK juga menafsirkan ulang frasa “orang lain” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE. Lembaga pemerintah, institusi publik, jabatan, atau profesi kini tidak lagi termasuk dalam kategori tersebut. Dengan kata lain, kritik terhadap lembaga atau jabatan publik tidak bisa dijerat dengan pasal penghinaan atau pencemaran nama baik, asalkan kritik itu berorientasi pada kepentingan umum.
“Penegasan ini sangat penting dalam mendorong budaya pengawasan publik. Masyarakat didorong untuk terus terlibat aktif dalam proses demokrasi tanpa harus takut akan konsekuensi hukum yang tidak jelas,”jabar dia.
Dalam ranah sistem informasi, Supangat mengungkama bahwa putusan MK akan memperluas pemahaman bahwa teknologi informasi bukan hanya alat bantu administrasi, tetapi juga ruang interaksi sosial yang penuh makna.
Sistem informasi di institusi pendidikan, pemerintahan, dan sektor swasta, misalnya, lanjut dia harus dibangun dengan prinsip transparansi, aksesibilitas, dan akuntabilitas. “Sistem ini harus dirancang untuk memfasilitasi partisipasi, menerima masukan, dan membuka ruang bagi dialog yang sehat, selaras dengan nilai-nilai demokrasi,”tegasnya.
Menurut pria yang menyelesaikan gelar Ph.D. di Universiti Tun Hussein Onn Malaysia (UTHM) ini kebebasan yang diakui oleh hukum tetap harus diimbangi dengan tanggung jawab sosial. Sistem informasi perlu didukung oleh kebijakan moderasi konten yang adil serta edukasi literasi digital yang terus menerus. Pengguna media sosial, termasuk kalangan muda di institusi pendidikan, harus paham bahwa kritik bukanlah ujaran kebencian.
“Tugas pengelola sistem informasi tidak hanya menjaga keutuhan data, tetapi juga menciptakan lingkungan digital yang sehat, aman, dan beretika. Ini adalah pekerjaan kolaboratif antara teknologi, kebijakan, dan kesadaran pengguna,”urainya.
Menanggapi berbagai persoalan itu, Supangat menilai institusi pendidikan memegang peran penting sebagai ruang untuk tumbuhnya budaya berpikir kritis dan bertanggung jawab. Media sosial dan platform digital lainnya bukan sekadar tempat berbagi informasi, tetapi juga ladang pembelajaran sosial.
“Kritik yang dibangun dengan data dan niat baik merupakan bagian dari proses pendidikan itu sendiri. Maka, sistem informasi pendidikan harus terbuka terhadap umpan balik. Tidak perlu takut terhadap kritik, selama kritik itu membawa harapan dan perbaikan,”tambah dia.
Ia mencontohka seperti ruang-ruang digital internal seperti forum kampus, sistem aduan, atau portal informasi publik harus dioptimalkan untuk mendorong partisipasi aktif tanpa rasa takut akan kriminalisasi. Dikatakan Supangat, putusan MK ini mengingatkan masyarakat bahwa hukum harus mampu berjalan seiring dengan semangat zaman. Ketika masyarakat semakin aktif di dunia digital, ruang hukum harus hadir untuk melindungi, bukan membungkam.
“Kebebasan berekspresi tidak berarti bebas tanpa batas, namun batas tersebut harus jelas dan tidak digunakan semena-mena. Putusan MK memberi sinyal bahwa kritik adalah bagian dari kehidupan bernegara yang tidak bisa dilarang begitu saja. Peran sistem informasi bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi juga menjaga agar ruang digital tetap menjadi milik bersama yang aman untuk berpikir, menyampaikan pendapat, dan berbagi aspirasi,”tandanya.
Terakhir, ia menggarisbawahi bahwa sistem informasi memiliki posisi strategis untuk menjaga keseimbangan ini. Dengan struktur teknologi yang adaptif dan kebijakan informasi yang berpihak pada transparansi, sistem informasi dapat menjadi pilar penting dalam menopang demokrasi digital yang matang dan bertanggung jawab. [ina.wwn]


