Oleh :
Arief Azizy
Bergiat di Jaringan GusDURian Kediri dan Peneliti di Laboratorium for Psychology
Indigenous and Culture Studies di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Memasuki periode baru pemerintahan, harapan masyarakat kembali menyala. Janji-janji politik yang pernah digunakan saat kampanye kini menjadi utang moral yang harus dibayar dengan kerja nyata. Alih-alih larut dalam skeptisisme, publik justru memilih mengawal dengan optimisme. Sebuah sikap bahwa perubahan tetap mungkin, meski jalannya terjal.
Optimisme ini bukan muncul dari ketidaktahuan akan rumitnya politik. Sebaliknya, ia lahir dari kesadaran bahwa partisipasi aktif rakyat menjadi kunci utama mendorong janji politik menjadi kenyataan. Seperti dikemukakan Robert Putnam, demokrasi yang kuat bertumpu pada budaya sipil: partisipasi, rasa percaya, dan kerja sama antarwarga. Itulah semangat yang kini semakin terasa di banyak ruang publik.
Di berbagai daerah, muncul berbagai inisiatif: forum diskusi warga, kelompok pemantau anggaran, hingga dialog terbuka dengan para pemangku kebijakan. Lewat media sosial, kritik dan pengawasan bergerak cepat. Setiap langkah pemerintah kini berada dalam sorotan tajam warga yang tak lagi mudah dibungkam.
Teknologi menjadi sekutu penting dalam gerakan mengawal janji politik. Platform-platform digital memungkinkan warga mendokumentasikan janji-janji kampanye, membuat indeks janji politik, hingga menyebarluaskan informasi tentang kebijakan pemerintah secara lebih cepat dan transparan. Dengan sekali klik, masyarakat bisa melacak apakah janji-janji tersebut hanya berhenti di pidato, atau benar-benar berubah menjadi kebijakan konkret.
Optimisme ini pun tercermin dari banyaknya kolaborasi antara pemerintah daerah dan komunitas. Musyawarah pembangunan, pengelolaan anggaran partisipatif, hingga penyusunan kebijakan berbasis warga menjadi contoh bahwa janji politik diuji bukan hanya dari hasil, tetapi juga dari proses yang melibatkan semua suara.
Gerakan akar rumput juga menunjukkan daya tahannya. Komunitas kecil di kampung-kampung, perkumpulan relawan, hingga kelompok mahasiswa, semua memainkan peran penting dalam mengingatkan bahwa politik bukan hanya soal kekuasaan, tetapi juga soal amanah. Mereka bergerak tanpa pamrih, mendorong transparansi dan akuntabilitas di tingkat lokal.
Meski demikian, optimisme tidak boleh membutakan. Sebab seperti diingatkan Francis Fukuyama, tanpa tekanan kuat dari masyarakat, janji-janji politik mudah berubah menjadi sekadar retorika. Karena itu, daya kritis tetap harus dijaga. Masyarakat perlu terus mengingatkan, menagih, dan bila perlu mengoreksi para pemimpin.
Tantangan tentu tidak kecil. Politik transaksional, pragmatisme jangka pendek, hingga tarik-menarik kepentingan kerap membajak idealisme awal. Di sisi lain, kesabaran publik pun ada batasnya. Jika tidak ada perubahan nyata, optimisme bisa cepat berubah menjadi apatisme, bahkan kemarahan sosial.
Namun, sejarah mengajarkan bahwa perubahan besar sering kali berawal dari langkah-langkah kecil yang konsisten. Setiap suara kritis, setiap aksi pengawasan, setiap gerakan akar rumput-semuanya memperkuat tekanan moral agar para pemimpin tetap pada janji yang pernah diucapkan.
Dalam bukunya, Danielle Allen mengingatkan bahwa demokrasi membutuhkan “harapan rasional” – keyakinan bahwa walau jalan terjal, perubahan tetap bisa diwujudkan melalui usaha kolektif. Optimisme semacam itulah yang harus dirawat: sadar akan tantangan, tetapi tetap memilih untuk bertindak.
Mengingat mengawal janji politik adalah bagian dari hak dan tanggung jawab demokratis. Demokrasi bukan hanya memilih pemimpin lima tahun sekali, melainkan juga tentang mengawasi, mengingatkan, dan merawat harapan bersama. Optimisme bukan sekadar berharap, tetapi juga bertindak aktif menjaga arah perjalanan bangsa. Karena janji politik tidak akan terwujud hanya dengan menunggu, melainkan harus terus dikawal. Dengan harapan yang rasional, partisipasi aktif, dan daya kritis yang tajam, perubahan itu bukan sekadar mimpi. Ia menjadi keniscayaan yang bisa diraih bersama.
Seperti kata pepatah lama, “Perubahan tidak datang kepada mereka yang menunggu, tetapi kepada mereka yang berani bergerak.” Inilah saatnya, rakyat menjadi motor penggerak demokrasi, mengawal janji politik dengan penuh optimisme, kesabaran, dan keberanian.
Optimisme yang Terus Mengawal
Di banyak tempat, geliat optimisme itu nyata. Warga membentuk forum komunitas, mengawasi penggunaan anggaran, ikut menentukan prioritas pembangunan daerah, bahkan membuat laporan terbuka tentang janji-janji kampanye yang terealisasi maupun yang masih mandek. Ini bukti bahwa demokrasi tidak berhenti di bilik suara. Ia hidup dalam keseharian: dalam obrolan warung kopi, diskusi kampus, hingga cuitan-cuitan kritis di media sosial.
Optimisme yang terus mengawal ini penting karena politik selalu punya godaan untuk lupa. Begitu euforia kemenangan mereda, realitas birokrasi, kompromi politik, dan tekanan kepentingan sering kali membuat janji-janji indah menguap tanpa bekas. Tanpa dorongan dari bawah, kekuasaan cenderung berpuas diri.
Sejumlah studi memperlihatkan, negara-negara dengan tingkat kepercayaan sosial yang tinggi dan budaya kontrol publik yang kuat cenderung memiliki kualitas pemerintahan yang lebih baik. Artinya, optimisme masyarakat yang aktif dan kritis bukan sekadar sikap, tapi modal sosial yang memperbaiki arah bangsa.
Optimisme ini pun diuji bukan hanya saat janji ditunaikan, tetapi terutama saat janji mulai terlupakan. Di saat inilah ketahanan mental publik benar-benar diuji. Tidak menyerah, tidak sinis, tapi juga tidak lengah.
Kita tentu sadar, perubahan tidak selalu cepat. Seperti dalam demokrasi manapun, hasil dari perjuangan publik seringkali datang dalam ritme lambat. Terkadang satu kemenangan kecil butuh waktu bertahun-tahun. Karena itu, optimisme mengawal berarti membangun kesabaran kolektif-percaya bahwa setiap langkah kecil, setiap suara kritis, setiap pengingat publik, pada akhirnya membentuk perubahan besar.
Optimisme yang terus mengawal juga berarti siap berbicara saat banyak orang memilih diam. Siap mempertanyakan saat yang lain terlena. Siap mengawal janji bukan karena membenci pemimpin, tetapi justru karena cinta pada masa depan bersama.
Seperti kata seorang pemikir, demokrasi hidup bukan dari ketundukan, melainkan dari energi warga yang terus menjaga agar kekuasaan tetap berpihak pada rakyat. Itulah kenapa optimisme kita tidak boleh padam. Ia adalah bentuk keberanian untuk terus berharap, sekaligus keberanian untuk bertindak.
Saat janji politik mulai diuji oleh waktu, hanya optimisme aktif yang bisa membuat harapan tetap menyala. Bukan sekadar menunggu keajaiban dari atas, tapi menciptakan gerakan dari bawah-dengan suara, dengan gerakan, dengan konsistensi.
Inilah pelajaran paling penting hari ini: bahwa mengawal bukan tugas sesaat, melainkan napas panjang. Dan dalam nafas panjang itu, optimisme adalah bekal yang tidak boleh habis.
—————- *** ——————


