Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, meng-gagas pemberlakuan Vasektomi (operasi steril laki-laki) sebagai syarat untuk memperoleh Bansos (Bantuan Sosial). Gagasan dianggap deskriminatif terhadap kaum miskin. Bahkan MUI menyatakan hukum “haram” vasektomi. Lebih haram, manakala digunakan sebagai syarat penerimaan Bansos. Sebagai jatah masyarakat miskin, Bansos dijamin konstitusi sebagai HAM (Hak Asasi Manusia).
Bansos wajib diberikan dengan cara beradab, tanpa syarat. Juga wajib diberikan sesuai kemuliaan harkat kemanusiaan. Konstitusi telah memberi arahan, bahwa seluruh rakyat Indonesia, adalah keluarga. UUD pada pasal 33 ayat (1), menyatakan, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Bahkan yang lemah harus ditopang negara.
Konstitusi juga meng-amanatkan Bansos. UUD pada pasal 34 ayat (2), meng-amanat-kan, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Nyata-nyata terdapat frasa kata “sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Artinya, harus tetap menghormati Gakin penerima manfaat.
Maka berbagai pola perlindungan sosial (terutama Bansos beras) bukan sedekah yang bisa ditunaikan pemerintah secara “suka-suka.” Beras yang di-Bansos-kan harus bermuru, bukan beras berkutu. Begitu pula Bansos yang lain, terutama Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Program Indonesia Pintar (PIP), dan Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Selama ini masih sering di-keluh-kan pemberian Bansos, belum tepat sasaran. Pada tataran grass-root, masih banyak “yang bermain.” Terutama Ketua RT (Rukun Tetangga), dan RW (Rukin Warga), sampai Kepala Desa. Bansos diberika kepada kerabat pengurus kampung dan desa. Padahal masih banyak warga Masyarakat yang lebih miskin tetapi tidak menerima Bansos. Sehingga Kementerian Sosial, wajib pula meng-update penerima Bansos, dengan membuka pelaporan.
Pemerintah pusat, selama satu dekade menambah jenis Bansos menjadi delapan model. Termasuk yang berbasis Dana Desa. Tahun (2025) ini anggaran Bansos yang tercantum dalam APBN, sebesar Rp 504,7 trilyun. Bansos telah menjadi subsidi paling kolosal di dunia, sekaligus yang terbesar nominalnya. Namun pelaksanaannya perlu diawasi sistemik. Karena penerima manfaat jumlah puluhan juta orang. Niscaya rawan penyimpangan.
Bansos sebagai HAM, niscaya tidak boleh dikaitkan dengan persyaratan politik. Termasuk dijadikan persyaratan dukungan dalam Pilkada sampai Pilpres. Lebih lagi, Bansos dikaitkan dengan ke-peserta-an KB (Keluarga Berencana). Tergolong diskriminasi, dan melanggar HAM. Seperti di-gagas Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, Bansos memiliki prasyarat khusus, berupa vasektomi (KB laki-laki). Padahal berdasar fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia), vasektomi berstatus “haram.” Disebabkan sifatnya yang permanen.
Vasektomi merupakan salahsatu cara dalam ber-KB. Memang legal, resmi program pemerintah. Namun tidak semua laki-laki bisa melakukan vasektomi. Walau sudah menyatakan sukarela (ikhlas). Karena “ke-haram-an” vasektomi, tidak berkait dengan ke-ikhlas-an. Melainkan prosedurnya yang memutus permanen potensi sperma untuk membuahi. Vasektomi, merupakan operasi steril dengan cara memotong atau mengikat vas deferens, yaitu saluran di dalam skrotum yang berfungsi untuk mengeluarkan sperma.
Pada dasarnya, vasektomi adalah prosedur kontrasepsi permanen pada pria yang tidak berkeinginan untuk memiliki anak lagi. Alasan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menjadikan syarat vasektomi untuk penerima Bansos, adalah realita. Bahwa laki-laki yang anaknya banyak cenderung keluarga miskin. Alasan ini malah memicu kritisi ulama. Sampai ber-fatwa, lebih baik tidak menerima Bansos dengan syarat vasektomi. Sekaligus memantapkan iman, Tuhan mencukupi kebutuhan setiap makhluk. Bansos wajib tanpa syarat. Bahkan yang bersifat kolosal seperti MBG patut dicermati bersama. Dihindarkan dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
——— 000 ———


