28 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Ketika Tuntutan Buruh Sekadar Seremonial Tahunan

Oleh :
Arief Azizy
Bergiat di Jaringan GusDURian Kediri dan Peneliti di Laboratorium for Psychology Indigenous and Culture Studies di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Setiap tanggal 1 Mei, ribuan buruh turun ke jalan. Spanduk-spanduk penuh tuntutan diangkat, orasi-orasi memenuhi ruang publik, dan suara peluit menyatu dengan bunyi genderang perjuangan. Namun, setelah masa bubar dan jalan kembali bersih, yang tersisa sering kali hanya berita sebaris di halaman koran. Esoknya, semua berjalan seperti biasa. Tuntutan buruh menjadi gaung tahunan yang nyaring di permukaan, tapi sayup di ruang pengambilan keputusan. Ironis, ketika Hari Buruh justru menjadi seremoni-sekadar peringatan, bukan pendorong perubahan.

Dalam konteks global, kita juga melihat bagaimana solidaritas buruh menghadapi tekanan serupa. Di berbagai negara, unjuk rasa buruh tidak hanya menyoroti isu upah dan perlindungan kerja, tetapi juga mengangkat persoalan yang lebih luas seperti ketimpangan ekonomi, eksploitasi digital, dan perubahan iklim yang mempengaruhi mata pencaharian. Indonesia tidak boleh ketinggalan dalam memperluas cakupan perjuangan buruh ke ranah yang lebih strategis.

Hak atas pekerjaan layak bukan hanya soal angka di slip gaji, melainkan soal martabat, partisipasi, dan keberlanjutan hidup. Jika setiap Hari Buruh hanya menghasilkan daftar tuntutan yang sama dan respons yang stagnan, maka bangsa ini sedang kehilangan kompas moral dalam menyusun arah pembangunannya.

Kita tidak kekurangan sumber daya, yang kita butuhkan adalah kemauan politik untuk menjadikan buruh bukan sekadar pengisi lapangan kerja, tetapi subjek utama dalam pembangunan nasional. Karena sejatinya, ketika kita bicara tentang kesejahteraan buruh, kita sedang membicarakan wajah kemanusiaan dari ekonomi itu sendiri.

Berita Terkait :  Pj Gubernur Jatim Tekankan Pentingnya Peningkatan Kapasitas SDM terhadap K3

Di Indonesia, isu-isu yang diangkat buruh hampir selalu berulang: upah minimum yang layak, penghapusan sistem outsourcing, jaminan sosial, hingga penolakan terhadap pasal-pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai merugikan posisi buruh. Tuntutan ini tak pernah jauh bergeser, karena memang tidak pernah sungguh-sungguh dijawab. Tahun berganti, kebijakan berubah, namun relasi kuasa antara buruh dan pemilik modal tetap timpang. Dalam kondisi seperti ini, Hari Buruh berisiko direduksi menjadi ritual simbolik-menghimpun massa dan menyuarakan keluhan, namun minim efek nyata.

Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Dalam bukunya The Precariat: The New Dangerous Class (2011), Guy Standing menjelaskan munculnya kelas baru dalam dunia kerja yang disebutnya sebagai precariat, yakni kelompok pekerja yang hidup dalam ketidakpastian ekonomi, tanpa perlindungan memadai, dan tanpa jaminan masa depan. Standing menilai, sistem pasar tenaga kerja saat ini menciptakan kondisi di mana buruh semakin terpinggirkan secara struktural dan hanya diberi ruang ekspresi secara simbolik. Tuntutan buruh menjadi semacam “pengakuan politis tanpa respons struktural”-diakomodasi secara wacana, tetapi tidak secara kebijakan.

Kondisi ini diperparah oleh melemahnya kekuatan kolektif buruh dalam menghadapi dinamika ekonomi yang terus berubah. Penelitian dari LIPI tahun 2020 mencatat tren penurunan keanggotaan serikat pekerja, terutama di sektor formal. Dalam survei tersebut, hanya sekitar 11% dari total pekerja formal yang tergabung dalam serikat. Padahal, serikat merupakan ujung tombak dalam memperjuangkan hak-hak buruh. Lemahnya organisasi buruh berarti lemahnya posisi tawar, dan lemahnya posisi tawar berarti makin mudah tuntutan buruh disingkirkan dari ruang kebijakan.

Berita Terkait :  Dibutuhkan 4.500 Kantong Darah, PMI Sidoarjo Gelar Donor Darah

Ditambah lagi, perubahan struktur kerja yang cepat akibat perkembangan teknologi membuat tuntutan buruh semakin terfragmentasi. Buruh di sektor manufaktur memiliki keluhan berbeda dengan pekerja sektor logistik daring.

Pekerja kantoran dengan status kontrak digital menghadapi tantangan yang tidak sama dengan buruh pabrik di kawasan industri. Dalam situasi seperti ini, sulit membangun agenda perjuangan yang solid, apalagi menyatukan suara dalam satu gerakan yang kuat.

Negara sebagai pemangku kewenangan pun belum sepenuhnya hadir. Dalam berbagai momentum Hari Buruh, pemerintah seringkali merespons tuntutan buruh dengan janji peninjauan, pembentukan tim evaluasi, atau pembukaan forum dialog tripartit. Namun, langkah-langkah itu sering tidak memiliki keberlanjutan atau tidak mengarah pada perubahan struktural. Terkadang, bahkan, negara terkesan lebih memposisikan diri sebagai penengah netral ketimbang pelindung pihak yang lemah. Ini menyisakan pertanyaan besar: sejauh mana negara memihak kepada mereka yang bekerja keras menopang ekonomi, tetapi tidak cukup kuat untuk melindungi dirinya sendiri?

Padahal, sejarah telah menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi nasional tidak mungkin lepas dari kontribusi kaum buruh. Dalam kondisi apapun-pandemi, resesi, atau krisis-buruh tetap bekerja, bahkan dalam situasi paling rentan sekalipun. Namun, saat berbicara soal pembagian manfaat dari pertumbuhan ekonomi, buruh sering kali berada di antrian paling belakang. Konsep “pertumbuhan inklusif” masih jauh panggang dari api, ketika peraturan perundangan lebih berpihak pada kelonggaran investasi ketimbang perlindungan sosial.

Berita Terkait :  Bupati Barra Bangun Ruang Inklusi SDN Kebondalem Mojosari

Hari Buruh, semestinya menjadi ruang reflektif nasional untuk mengukur keadilan dalam sistem ekonomi kita. Bukan sekadar tanggal merah dalam kalender, tetapi momen untuk bertanya: apakah para pekerja sudah mendapatkan imbal hasil yang setimpal?

Apakah suara mereka didengar? Apakah ruang partisipasi mereka dalam penyusunan kebijakan benar-benar dibuka?

Kita tidak bisa terus menerus membiarkan perjuangan buruh dibatasi dalam pagar retorika. Pemerintah harus berani mengevaluasi ulang kebijakan-kebijakan yang selama ini justru menjauhkan buruh dari rasa aman-baik dalam bentuk regulasi, sistem pengupahan, maupun skema jaminan sosial. Begitu pula dengan dunia usaha, yang perlu mulai melihat buruh bukan sebagai “biaya”, tetapi sebagai mitra strategis untuk keberlanjutan.

Sudah saatnya pula serikat-serikat buruh berbenah: memperluas basis, merangkul pekerja sektor informal dan digital, serta memperkuat advokasi kebijakan. Hari Buruh harus menjadi pemantik untuk pengorganisasian yang lebih modern dan relevan dengan tantangan zaman. Tuntutan buruh tidak boleh hanya didengar, tetapi juga dibuktikan melalui kebijakan yang memihak pada kehidupan layak.

Pada akhirnya, demokrasi ekonomi tidak akan berjalan tanpa keadilan sosial bagi para buruh. Mereka bukan hanya penopang produksi, tetapi wajah nyata dari ekonomi bangsa. Selama tuntutan buruh hanya menjadi rutinitas tahunan tanpa respons nyata, selama itu pula kita gagal memahami makna dari Hari Buruh itu sendiri: pengakuan atas hak, perjuangan, dan martabat manusia dalam kerja.

————- *** ——————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru