Pemerintah akan membangun sekolah (negeri) “khusus” baru tingkat dasar dan lanjutan, berupa SD, SMP dan SMA. Seperti dahulu terdapat SD Inpres. Khususnya pada kawasan terpencil, dan terluar. Serta Kawasan kantung kemiskinan. Walau sebenarnya di berbagai daerah banyak sekolah (negeri dan swasta) masih kekurangan murid. Bahkan pada setiap penerimaan murid baru (PMB) selalu bagai berebut sekolah negeri. Sampai sekolah swasta tidak kebagian murid. Karena “disapu bersih” sekolah negeri.
Setiap tahun, proses PMB (dulu PPDB, Pendaftaran Peserta Didik Baru) dianggap belum adil. Ujungnya, selalu terjadi ke-gaduh-an. PPDB bukan sekadar “permainan” sekolah negeri, yang menambah (dan memaksimalkan) kapasitas rombongan belajar. Melainkan juga kecurangan wali murid, yang memalsukan domisili calon peserta didik kelas 1, kelas 7, dan 10.
Namun sesungguhnya, “akar masalah” terletak pada biaya Pendidikan. Karena sekolah negeri lebih murah (dan bermutu), sehingga menjadi perburuan orangtua murid. Ke-gaduh-an menjadi perhatian seksama kalangan parlemen. Komisi X DPR-RI, sampai perlu mengundang Menteri Pendidikan. Padahal tatacara PPDB telah diberlakukan sejak tahun ajaran 2017. Tetapi terasa masih terdapat permasalahan. Sampai perlu diterbitkan Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB jenjang TK, SD, SM, SMA, dan SMK.
Realitanya, sampai PPDB tahun 2024 masih ricuh, berkait persyaratan masuk sekolah kelas I, kelas VII, dan kelas X. Sekolah negeri bagai “sapu bersih” calon murid Sampai masif tuduhan sekolah negeri “bermain” dalam seleksi penerimaan siswa baru. Persyaratan yang sering menjadi perselisihan, diantaranya zonasi, prestasi, dan usia. Serta kuota jumlah siswa baru. Panitia PPDB menggunakan ukuran zonasi berdasar aplikasi google maps (yang biasa berpatokan pada lintas jalan utama).
Sedangkan orangtua murid menggunakan “jalan tikus.” Perbedaan panjang jalan sangat mempengaruhi persaingan perolehan bangku sekolah. PPDB wajib berdasar Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021. Dalam pasal 12 ayat (2) diatur 4 jalur penerimaan siswa baru. Yakni, zonasi, minimal 50% daya tampung (kecuali SD 70%). Jalur kedua, afirmasi (jatah keluarga miskin, dan penyandang disabilitas) sebesar 15%. Serta masih terdapat jalur perpindahan tugas orangtua, sebesar 5%.
Maka “Sekolah Rakyat,” yang akan dilaksanakan pemerintah, wajib seksama mempertimbangkan kawasan yang sudah banyak didirikan sekolah. Karena selama ini sekolah swasta dengan berbagai jenjang Pendidikan, telah sangat berjasa. Berdasar data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2023, penyelenggaraan sekolah swasta menjadi tulang-punggung utama kependidikan nasional. Mencapai rata-rata sekitar 92%.
“Sekolah Rakyat,” akan dilaksanakan (leading sector) oleh Kementerian Sosial. Sekaligus menggunakan fasilitas Kementerian Sosial di berbagai daerah. Sudah disiapkan 45 bangunan. Namun harus dipertimbangkan, gagasan “Sekolah Rakyat,” ditujukan untuk menampung anak-anak dari keluarga miskin level 3. Yakni, kategori miskin desil 3 (rentan, hampir miskin) kalangan 21%-30% ekonomi terbawah.
Sarana dan prasarana “Sekolah Rakyat,” harus ditambah dengan pola asrama, mirip pesantren. Walau tidak mudah, terutama untuk jenjang SD (Sekolah Dasar), dan kelas 7. Namun pemerintah wajib memenuhi amanat konstitusi. Dalam UUD pasal 31 ayat (2), dinyatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
Berdasar UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 17 ayat (2), adalah SD, dan sampai lulus setara SMP. Lama sekolah (minimal) 9 tahun. Pendidikan di Indonesia menjadi prioritas utama. Sekaligus paling sakral, termuat dalam alenia ke-empat pembukaan UUD 1945, dengan frasa kata “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Sehingga negara wajib memprioritaskan, melebihi urusan ekonomi (kemakmuran).
——— 000 ———