Oleh:
Fathurozi
Pegawai Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
Kementerian Agama mencanangkan Kurikulum Cinta untuk memperkuat toleransi dan rasa persaudaraan di tengah keberagaman bangsa. Menurut Menteri Agama Nasaruddin Umar pendidikan agama harus menjadi instrumen untuk menciptakan kerukunan, bukan konflik.
Kurikulum ini sebagai fondasi penting dalam membangun masyarakat yang harmonis dan damai. Di Indonesia, dengan keragaman agama dan budaya yang kaya, penerapan kasih sayang lintas iman menjadi kunci untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Namun tindakan intoleransi masih terjadi di Lembaga Pendidikan.
Intoleransi di lingkungan sekolah dapat melibatkan baik siswa maupun guru. Biasanya, bentuk intoleransi yang dilakukan oleh guru mencakup ujaran kebencian terhadap agama lain, pengajaran yang menonjolkan keunggulan satu agama tertentu, atau perlakuan diskriminatif terhadap siswa dengan keyakinan yang berbeda. Sementara itu, siswa sering menunjukkan sikap intoleransi dengan membatasi pergaulan hanya kepada teman-teman seagama atau kelompoknya.
Merujuk Survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 6 Agustus hingga 6 September 2018. Menemukan sebanyak 10,01 persen guru Muslim punya opini sangat intoleran secara implisit dan 53,06 persen memiliki opini yang intoleran secara implisit. Pada point intensi aksi intoleran, 4,56 persen guru Muslim yang akan melakukan aksi sangat intoleran dan 33,21 persen yang ingin melakukan aksi intoleran.
Menurut Direktur Eksekutif PPIM Saiful Umam, terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan seseorang terpapar intoleransi dan radikalisme, yaitu pandangan Islamis, faktor demografis, serta keterlibatan dengan organisasi masyarakat dan sumber pengetahuan keislaman, (https://www.cnnindonesia.com/, akses 15 Januari 2025).
Melihat data ini cukup miris, seorang guru yang seharusnya menjadi teladan moral dan etika, terlibat dalam penyebaran sikap intoleransi, hal ini tidak hanya mencederai nilai-nilai pendidikan tetapi juga mengancam kerukunan di masyarakat.
Menteri Agama Nasaruddin Umar berharap guru agama, saat mengajarkan agamanya, jangan mencelah agama orang lain, tapi ciptakanlah persamaan, jangan menciptakan perbedaan, (https://kemenag.go.id, akses 15 Januari 2025)
Padahal, agama tidak mengajarkan kekerasan, jika ada Kekerasan yang dikaitkan dengan agama, itu menyimpang atau penyalahgunaan ajaran untuk kepentingan tertentu. Maka penting bagi kita untuk memahami ajaran agama secara benar dan mempromosikan nilai-nilai cinta kasih, keadilan, dan perdamaian yang diajarkannya.
Agama-agama mengajarkan nilai kasih sayang sebagai inti ajarannya. Dalam Islam, misalnya, Allah dikenal dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang (Ar-Rahman dan Ar-Rahim). Sifat-sifat ini menjadi landasan bagi umat Muslim untuk menebarkan kasih sayang kepada sesama manusia tanpa membedakan latar belakang atau perbedaan.
Begitu juga agama Hindu menekankan pentingnya toleransi dan kasih sayang. Konsep “Vasudhaiva Kutumbakam” dalam ajaran Hindu berarti “Dunia adalah satu keluarga,” yang mengajarkan umatnya untuk melihat seluruh umat manusia sebagai bagian dari keluarga besar yang harus disayangi dan dihormati. Bahkan agama Kristen menjadikan ajaran cinta kasih sebagai simbol dan ciri khasnya.
Contoh nyata penerapan kasih sayang dan toleransi antarumat beragama di Indonesia dapat ditemukan pada berbagai destinasi yang mencerminkan kerukunan beragama. Salah satunya adalah Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral di Jakarta, yang berdiri bersebelahan sebagai simbol toleransi dan saling menghormati. Selain itu, Masjid Menara Kudus mencerminkan akulturasi budaya Islam, Hindu, dan Buddha, yang menjadi bukti nyata adanya kerukunan dan toleransi antarumat beragama.
Selain itu, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama secara rutin mengukur Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) untuk memantau tingkat kerukunan di masyarakat. Pada tahun 2024, Indeks KUB mencapai 76,47, menunjukkan peningkatan dan tren positif dalam tiga tahun terakhir. (https://kemenag.go.id, akses 14 Januari 2025).
Sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan keyakinan tanpa memaksakan kehendak. Sikap ini menjadi landasan bagi terciptanya kasih sayang antar umat beragama. Dengan toleransi, masyarakat dapat hidup berdampingan secara damai, saling membantu, dan bekerja sama meskipun memiliki perbedaan keyakinan.
Toleransi beragama telah menjadi bagian dari nilai-nilai Pancasila, khususnya sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” yang memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk meyakini kepercayaannya masing-masing dan menjalankan ajaran agamanya dengan penuh penghormatan terhadap keyakinan umat lain.
Kurikulum Cinta
Kasih sayang merupakan salah satu nilai universal yang menyatukan manusia. Sebagai elemen penting dalam ajaran moral dan spiritual yang diajarkan di berbagai tradisi budaya dan agama, cinta kasih mencerminkan kepedulian dan cinta yang tulus kepada sesama. Jadi kurikulum cinta memiliki beragam aspek, mencakup bukan hanya hubungan antarindividu, tetapi juga hubungan dengan lingkungan dan makhluk hidup lainnya.
Guru agama menjadi ujung tombak dalam penerapan kurikulum cinta, guru agama tidak hanya berfungsi sebagai pendidik ilmu keagamaan, tetapi juga sebagai pembimbing moral dan agen perubahan sosial. Melalui pembelajaran di kelas, guru agama dapat menanamkan nilai-nilai harmoni yang menjadi dasar bagi kehidupan yang damai di tengah perbedaan.
Mengajarkan agama kepada siswa bukan hanya tanggung jawab guru agama, tetapi juga tanggung jawab semua guru, orang tua, keluarga, dan masyarakat. Namun, dalam pengajaran, materi yang diajarkan harus disesuaikan dengan kemampuan siswa. Guru umum, dalam mengajarkan materinya, bisa mengkolaborasikannya dengan konsep kerukunan. Misalnya, setiap jari tangan kanan maupun kiri, memiliki bentuk pola yang berbeda-beda. Perbedaan ini tidak menimbulkan konflik dan setiap jari menjalankan perannya masing-masing. Sehingga, siswa dalam bergaul di sekolah tidak memandang asal-usulnya, tetapi menganggap warga sekolah sebagai bagian dari keluarga
Untuk memperkuat kurikulum cinta di sekolah, beberapa langkah yang dapat dilakukan yakni. Pertama, kurikulum pendidikan agama harus dirancang untuk menanamkan nilai-nilai toleransi dan menghormati perbedaan, serta mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari di sekolah. Misalnya, setiap perayaan keagamaan, warga sekolah saling mengucapkan selamat satu sama lain. Kedua, guru dapat mengajak siswa untuk berdialog lintas iman guna mempresentasikan ajaran-ajaran yang mengandung nilai toleransi, sehingga siswa dapat saling memahami dan mengatasi prasangka.
Ketiga, media sosial sekolah menyediakan rubrik konten kerukunan. Konten ini membahas ajaran agama yang mengandung nilai-nilai toleransi, dengan materi yang dibuat oleh guru agama atau guru lain. Hal ini bertujuan agar semua guru memiliki tanggung jawab dalam menciptakan lingkungan sekolah yang moderat. Selanjutnya, konten ini akan dibagikan di grup WhatsApp sekolah, organisasi, dan wali murid.
Kurikulum cinta yang diterapkan di sekolah akan melahirkan generasi-generasi yang mengutamakan dialog dalam menyelesaikan masalah, serta mampu bekerja sama dalam berbagai kegiatan sosial. Namun, hal ini memerlukan dukungan dari pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi keagamaan.
————– *** —————–