Oleh:
Achmad Zainuri Arif
Mahasiswa Studi Doktoral Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya, Kepala Sekolah Inovatif SD Muhammadiyah 7 Surabaya
Kurikulum di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan dari masa ke masa. Mulai dari kurikulum pasca proklamasi kemerdekaan tahun 1947 yang banyak dipengaruhi oleh Belanda dan Jepang karena pasca penjajahan hingga Kurikulum Merdeka tahun 2024 yang terinspirasi dari Singapura hingga Finlandia. Perubahan dan perkembangan kurikulum di Indonesia mencerminkan upaya pemerintah untuk pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas serta adaptasi terhadap perubahan zaman, menjawab kebutuhan lokal, dinamika masyarakat dan tantangan global.
Kurikulum tidak hanya sebuah dokumen administratif atau pedoman teknis pembelajaran; ia adalah refleksi dari visi suatu bangsa terhadap pendidikan sebagai alat transformasi sosial. Kurikulum menjadi cerminan dari nilai-nilai, ideologi, dan tujuan jangka panjang suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, setiap revisi kurikulum membawa semangat untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi era baru, mulai dari tuntutan nasionalisme pasca-kemerdekaan hingga kebutuhan kompetensi abad ke-21 dalam konteks globalisasi dan revolusi digital.
Kurikulum sebagai salah satu piranti pendidikan menjadi subyek penting dalam transformasi sosial karena ia berfungsi sebagai kerangka utama yang membentuk cara berpikir, sikap, dan keterampilan individu. Melalui kurikulum, nilai-nilai sosial, budaya, dan moral dapat ditanamkan sejak dini, sehingga tercipta generasi yang tidak hanya memiliki kompetensi akademik, tetapi juga kesadaran sosial yang tinggi.
Selain itu, kurikulum berperan sebagai penghubung antara kebutuhan masyarakat saat ini dan masa depan dengan dunia pendidikan, sehingga mampu menciptakan perubahan sosial yang berkelanjutan. Kurikulum memungkinkan pendidikan untuk menjadi motor penggerak dalam mengatasi kesenjangan sosial, meningkatkan mobilitas ekonomi, dan mendorong keadilan sosial.
Pada masa pasca-kemerdekaan, Kurikulum 1947 lebih berorientasi pada membangun identitas nasional dan semangat kebangsaan setelah penjajahan panjang. Pendidikan menjadi alat untuk menyatukan masyarakat yang beragam secara budaya, etnis, dan bahasa. Dalam periode ini, kurikulum bertujuan menanamkan nilai-nilai dasar kebangsaan seperti patriotisme, gotong royong, dan keadilan sosial. Rasionalisasi kurikulum ini terkait dengan kebutuhan untuk menciptakan stabilitas politik dan sosial di tengah berbagai tantangan domestik, seperti konflik ideologi dan pergolakan regional.
Memasuki era globalisasi pada akhir abad ke-20, pemerintah memperkenalkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004, yang menekankan pengembangan keterampilan analitis, pemecahan masalah, dan pembelajaran sepanjang hayat. Kurikulum ini merupakan respons terhadap perubahan lanskap ekonomi dan teknologi global yang menuntut sumber daya manusia yang mampu bersaing secara internasional. Rasionalisasi pada periode ini adalah untuk menjawab kebutuhan dunia kerja yang semakin kompleks serta mengurangi kesenjangan antara pendidikan formal dan tuntutan pasar tenaga kerja.
Perkembangan terbaru, yakni Kurikulum Merdeka, menunjukkan adopsi pendekatan fleksibel yang menekankan personalisasi pembelajaran, penguatan karakter, dan integrasi teknologi. Terinspirasi oleh praktik terbaik dari negara-negara maju seperti Finlandia, Singapura, dan Australia, kurikulum ini berupaya menciptakan generasi inovatif, adaptif, dan tangguh dalam menghadapi ketidakpastian masa depan. Pendekatan ini didasarkan pada gagasan bahwa transformasi sosial di abad ke-21 tidak hanya memerlukan keterampilan teknis, tetapi juga soft skills seperti kolaborasi, komunikasi, dan kemampuan berpikir kritis.
Dengan demikian, transformasi kurikulum di Indonesia tidak hanya merupakan upaya peningkatan mutu pendidikan, tetapi juga strategi besar untuk mendorong transformasi sosial yang lebih luas. Setiap perubahan kurikulum mengandung pesan bahwa pendidikan adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Kurikulum Sebagai Instrument Transformasi Sosial
Dalam konteks transformasi sosial, kurikulum memainkan peran penting sebagai salah satu instrumen utama dalam membentuk generasi yang peduli dan adaptif dengan perubahan. Menurut Tilaar (2004), pendidikan adalah salah satu alat strategis untuk mendorong transformasi sosial dalam masyarakat. Suparlan (2019) menyoroti pentingnya pendidikan karakter dalam kurikulum. Ia menyatakan bahwa pendidikan harus membentuk individu yang berintegritas, memiliki empati sosial, dan mampu berkontribusi dalam pembangunan bangsa. Hal ini relevan dalam konteks transformasi sosial, dimana nilai-nilai luhur dan keadilan sosial menjadi fondasi utama bagi terciptanya masyarakat yang inklusif dan berdaya saing global.
Di sisi lain, kajian dari Azyumardi Azra (2020) mengungkapkan bahwa kurikulum harus adaptif terhadap perubahan sosial yang dipicu oleh globalisasi dan digitalisasi. Kurikulum yang statis dan tidak relevan dengan perkembangan zaman dapat memperbesar kesenjangan sosial dan ekonomi di masyarakat. Kurikulum di Indonesia, seperti Kurikulum 2013 (K-13) dan Kurikulum Merdeka, dirancang untuk menciptakan siswa yang tidak hanya kompeten dalam bidang akademik tetapi juga memiliki keterampilan abad ke-21, seperti berpikir kritis, kreatif dan kolaboratif.
Sehingga, relevansi kurikulum terhadap transformasi sosial dapat dilihat dari bagaimana pendidikan membantu membentuk pola pikir generasi muda. Dalam era digital, misalnya, pendidikan berbasis teknologi yang diintegrasikan ke dalam kurikulum memainkan peran penting dalam membekali siswa dengan keterampilan abad ke-21. Selain itu, penguatan nilai-nilai kebhinekaan juga menjadi landasan bagi terciptanya masyarakat yang harmonis dan toleran di tengah keberagaman Indonesia.
Paulo Freire seorang ahli pendidikan progresif, menegaskan bahwa pendidikan adalah alat untuk transformasi sosial. Dalam konteks Indonesia, kurikulum dirancang tidak hanya untuk mencetak lulusan yang siap bekerja, tetapi juga untuk membentuk individu yang dapat berkontribusi secara positif kepada masyarakat. Misalnya, penerapan pendidikan karakter dan pelajaran berbasis projek dalam Kurikulum Merdeka mendukung pengembangan nilai-nilai seperti gotong royong, toleransi, dan inovasi, yang penting untuk membangun masyarakat yang inklusif dan berdaya saing.
Tantangan dalam Implementasi
Namun, implementasi kurikulum di Indonesia sering kali menghadapi tantangan, seperti kesenjangan sumber daya antara daerah, kualitas guru, dan infrastruktur pendidikan. Tantangan terbesar dalam kaitannya dengan transformasi sosial adalah bagaimana memastikan bahwa kurikulum tidak hanya menjadi dokumen kebijakan, tetapi juga diimplementasikan secara efektif di semua jenjang pendidikan.
Dr. Darmaningtyas (2020) berpendapat bahwa meskipun kurikulum Indonesia terus berkembang, tantangan utama terletak pada implementasinya. Banyak guru yang belum siap untuk menerapkan pendekatan baru karena kurangnya pelatihan atau fasilitas yang memadai. Selain itu, disparitas kualitas pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan menjadi penghambat utama dalam mencapai transformasi sosial yang merata.
Oleh karena itu, dibutuhkan sinergi antara pemerintah, satuan pendidikan, guru, orang tua, dan masyarakat untuk berkolaborasi mengimplementasikan kurikulum yang telah disusun dengan sungguh-sungguh, sehingga kurikulum yang diterapkan dalam pendidikan di Indonesia benar-banar menjadi instrument transformasi sosial bukan stagnansi bahkan degradasi sosial.
———— *** —————