Surabaya, Bhirawa.
Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menghapus ketentuan ambang batas minimal pencalonan presiden atau presidential threshold 20 Persen yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Keputusan ini dianggap sebagai angin segar bagi demokrasi Indonesia.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Satria Unggul Wicaksana menyebut penghapusan ini sebagai langkah penting dalam membuka ruang politik yang lebih inklusif bagi calon pemimpin bangsa.
“Ambang batas 20 persen sebelumnya mengeksklusi ruang politik bagi kandidat potensial. Akibatnya, calon presiden sering kali muncul atas kehendak partai politik, bukan murni atas keinginan masyarakat,” ungkapnya.
Dengan penghapusan aturan ini, Satria berharap ruang bagi calon presiden akan semakin luas. Keputusan MK ini, menurutnya, juga menunjukkan bahwa lembaga tersebut semakin berpihak pada kepentingan publik dan memperkuat supremasi hukum di Indonesia.
Namun, ia juga mengingatkan adanya tantangan ke depan. Salah satunya?? potensi meningkatnya polarisasi politik, mengingat setiap partai kini memiliki peluang mencalonkan presiden.
“Demokrasi kita masih dalam tahap pendewasaan. Berbeda dengan sistem di Amerika Serikat yang memiliki dua partai utama, sistem multipartai kita memberikan peluang besar untuk mencalonkan presiden. Ini tentu menjadi tantangan tersendiri,” jelasnya.
Karenanya, Satria menekankan pentingnya memastikan proses pencalonan presiden benar-benar mencerminkan kehendak masyarakat, baik melalui konvensi partai politik maupun mekanisme lain yang sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
“Harapannya, keputusan MK ini bisa diterjemahkan ke dalam undang-undang pemilu yang lebih mendukung inklusivitas, sehingga pemilu mendatang tidak hanya didominasi oleh elit politik tertentu, tetapi juga melibatkan masyarakat secara luas,” pungkasnya.
Keputusan MK ini menjadi momentum untuk memperkuat demokrasi Indonesia, meski masih membutuhkan pengawasan dan penerapan yang konsisten di masa mendatang. [Ina.gat]