Oleh :
Ani Sri Rahayu
Dosen PPKn dan Trainer P2KK Universitas Muhammadiyah Malang
“Buku sebagai jendela dunia” adalah ungkapan yang mencerminkan betapa pentingnya peran buku dalam membuka wawasan, memperluas pengetahuan, dan membangun peradaban. Namun, di Indonesia, akses terhadap buku sering kali terbentur oleh harga yang dianggap mahal bagi sebagian masyarakat. Kebijakan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas buku diharapkan menjadi solusi untuk mendorong budaya literasi yang lebih inklusif. Meski begitu, pertanyaan besar tetap menggantung: apakah kebijakan ini cukup efektif untuk meningkatkan minat baca dan daya beli masyarakat, atau hanya sekadar janji tanpa realisasi dampak signifikan? Tulisan ini akan mengupas sejauh mana kebijakan tersebut menjawab tantangan literasi di negeri ini.
Efektivitas penghapusan PPN buku untuk literasi
Sekarang ini, penghapusan PPN buku menjadi salah satu kebijakan yang digadang-gadang mampu meningkatkan akses masyarakat terhadap buku. Dengan harga yang lebih terjangkau, diharapkan daya beli masyarakat, terutama dari kalangan menengah ke bawah, mengalami peningkatan sehingga memperluas akses mereka terhadap sumber pengetahuan. Namun, efektivitas kebijakan ini patut dipertanyakan: apakah benar harga buku yang lebih murah secara otomatis mendorong peningkatan pembelian dan pemerataan literasi? Dalam konteks Indonesia, yang memiliki tantangan geografis dan ekonomi yang kompleks, penting untuk melihat apakah kebijakan ini cukup untuk menjawab kesenjangan literasi antar wilayah, atau hanya menjadi angin segar bagi sebagian kecil masyarakat perkotaan.
Selain itu, penghapusan PPN buku juga perlu dikaji dari segi implementasi di lapangan. Apakah penerbit, distributor, dan toko buku benar-benar menyalurkan keuntungan penghapusan pajak ini dalam bentuk harga yang lebih murah bagi konsumen, ataukah hanya menjadi insentif ekonomi di tingkat produsen? Lebih jauh lagi, aksesibilitas buku di daerah pelosok, di mana infrastruktur distribusi sering kali terbatas, menjadi tantangan tersendiri. Oleh karena itu, analisis mendalam diperlukan untuk menilai apakah kebijakan ini dapat menjadi solusi konkret untuk meningkatkan literasi nasional, atau sekadar memberikan efek jangka pendek yang terbatas pada kelompok tertentu.
Selain persoalan akses fisik terhadap buku, perlu juga diperhatikan apakah masyarakat benar-benar memiliki kesadaran dan minat untuk memanfaatkan buku sebagai sumber pengetahuan. Harga yang lebih terjangkau memang dapat mengurangi hambatan finansial, tetapi tanpa strategi pendukung seperti kampanye literasi, peningkatan fasilitas perpustakaan, dan program edukasi yang menyasar seluruh lapisan masyarakat, dampak pembebasan PPN buku bisa jadi tidak signifikan. Dengan demikian, penting untuk mengevaluasi kebijakan ini secara holistik, mencakup aspek ekonomi, sosial, dan budaya, guna memastikan bahwa kebijakan tersebut benar-benar berkontribusi pada peningkatan budaya literasi di Indonesia.
Tantangan dan dampak di masyarakat
Meski penghapusan PPN buku digadang-gadang sebagai langkah strategis untuk meningkatkan literasi, implementasinya di lapangan masih menghadapi sejumlah tantangan. Tidak semua masyarakat langsung merasakan manfaat dari penurunan harga buku, terutama di daerah pelosok yang terkendala distribusi dan infrastruktur. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa keuntungan dari kebijakan ini lebih dirasakan oleh penerbit atau distributor daripada konsumen akhir. Di sisi lain, dampak sosialnya pun belum terlihat signifikan, mengingat budaya literasi tidak hanya dipengaruhi oleh harga buku, tetapi juga oleh kesadaran, kebiasaan membaca, serta dukungan fasilitas pendukung seperti perpustakaan dan program literasi. Pembahasan ini akan mengupas berbagai tantangan tersebut serta mengevaluasi sejauh mana dampak kebijakan ini terasa di masyarakat.
Salah satu tantangan utama adalah kesenjangan akses antara masyarakat perkotaan dan pedesaan. Di wilayah terpencil, meskipun harga buku menurun akibat penghapusan PPN, tantangan distribusi tetap menjadi penghalang utama. Minimnya toko buku, biaya logistik yang tinggi, dan infrastruktur yang kurang memadai membuat ketersediaan buku di daerah tersebut sangat terbatas.
Sementara itu, di lapisan masyarakat bawah, kebutuhan dasar seperti pangan dan tempat tinggal tetap menjadi prioritas, sehingga buku, meski lebih murah, tetap sulit dijangkau. Tanpa upaya tambahan, seperti program literasi berbasis komunitas atau pengadaan perpustakaan keliling, kebijakan ini berisiko hanya memberikan dampak terbatas pada peningkatan literasi nasional. Untuk mengatasi tantangan tersebut, kebijakan penghapusan PPN buku perlu didukung oleh langkah-langkah strategis yang lebih komprehensif.
Pertama, pemerintah dapat memperkuat infrastruktur distribusi buku ke daerah-daerah pelosok melalui kolaborasi dengan layanan logistik atau pengadaan perpustakaan keliling yang menjangkau daerah-daerah terpencil. Perpustakaan ini dapat didukung oleh pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat untuk memastikan buku-buku berkualitas tersedia secara gratis atau dengan biaya minimal.
Kedua, program subsidi khusus untuk pembelian buku di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah dapat menjadi langkah efektif. Subsidi ini bisa diwujudkan dalam bentuk kupon buku atau diskon khusus bagi pelajar dan guru di daerah kurang mampu. Solusi lain adalah mendorong penerbit dan penulis lokal untuk menghasilkan buku dengan harga yang lebih terjangkau, baik dalam format cetak maupun digital, sehingga distribusi literatur tidak hanya bergantung pada buku impor atau berharga mahal.
Ketiga, integrasi teknologi digital juga dapat menjadi solusi, seperti memberikan akses buku elektronik gratis atau murah melalui platform digital yang mudah diakses. Pendekatan ini tidak hanya mengatasi kendala geografis tetapi juga memperluas cakupan literasi ke generasi muda yang lebih akrab dengan teknologi.
Melalui ketiga langkah strategis tersebut, kebijakan penghapusan PPN buku dapat lebih optimal dalam mendorong budaya literasi di Indonesia. Tidak hanya menurunkan hambatan finansial, tetapi juga menjawab tantangan distribusi, aksesibilitas, dan kebiasaan membaca yang selama ini menjadi kendala utama. Kombinasi antara upaya pemerintah, komunitas, dan sektor swasta sangat penting untuk memastikan bahwa manfaat dari kebijakan ini dirasakan secara merata di seluruh lapisan masyarakat. Hanya dengan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan, penghapusan PPN buku dapat benar-benar menjadi solusi untuk meningkatkan literasi nasional, bukan sekadar wacana tanpa dampak nyata.
———— *** ————–