Seantero Jawa, patut waspada banjir. Mulai Ujungkulon di Pandegalang, Banten, sampai Muncar di Banayuwangi, ujung timur pulau Jawa. Badai, banjir dan longsor sudah mengepung di seantero Jawa. Hujan terasa mengguyur lebih lebat, dan lebih lama. Menyebabkan kawasan resapan air alamiah tidak mampu menampung curah air hujan. Ribuan titik area banjir dan longsor nampak tersebar di pantai selatan, dan pantai utara Jawa. Bahkan setiap musim menambah area baru tergenang, dan kawasan luruhan longsor baru.
Pemerintah (pusat dan daerah) seyogianya lebih tanggap menghadapi potensi hidrometeorologi. Sudah banyak proposal direalisasi dengan aksi kinerja pemerintah (dan daerah) meng-antisipasi cepat dampak bencana banjir dan longsor. Namun tak jarang Pemda terlambat menetapkan kondisi darurat. Juga abai terhadap penyusutan daya dukung lingkungan. Terutama alih fungsi lahan kawasan perbukitan, dan semakin buruknya kondisi tebing di tepi jalan nasional, jalan milik propinsi. Kondisi jalan milik kabupaten, juga terancam longsor.
Setiap saat pada musim hujan, longsor bisa mengancam jiwa masyarakat. Sudah terbukti di Sumedang (Jawa Barat), dengan korban jiwa lebih dari 30 orang. Jutaan warga diungsikan. Maka Perubahan iklim (menjadi ekstrem tak terduga) memaksa seluruh daerah waspada bencana hidro-meteorologi. Potensi bencana banjir, dan longsor, wajib telah dideteksi. Karena sebenarnya, tiada bencana alam datang tiba-tiba. Melainkan selalu terdapat warning alamiah.
Kawasan di seantero Jawa yang memiliki sungai besar (Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur) patut waspada. Terutama Ciliwung (Jakarta), Citanduy, dan Citarum (Jawa Barat), sungai Serayu (Jawa Tengah), dan Kali Brantas (Jawa Timur). Serta yang legendaris, Bengawan Solo (Jawa Tengah hingga Jawa Timur). Maka seyogianya, Pemerintah daerah (propinsi, serta kabupaten dan kota) menyusun mapping kebencanaan berdasar kondisi terbaru.
UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, telah meng-amanatkan mitigasi sistemik. UU Penanggulangan Bencana, pada pasal 38 huruf b, menyatakan, “kontrol terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber bahaya bencana.” Di dalamnya terdapat amanat pencegahan bencana, termasuk mitigasi.
Bersadar penjejakan BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), peningkatan curah hujan disebabkan efek fenomena La-Nina. Sepanjang akhir tahun 2024 hingga triwulan pertama 2025, akan terjadi peningkatan badai dan curah hujan. Serta meningkatnya ketinggian permukaan air laut (rob) yang bisa meluber ke permukiman, dan sawah ladang. Hujan intensitas tinggi, menyebabkan aliran sungai men-deras dengan kecepatan 40 kilometer per-jam, biasa terjadi pada puncak musim hujan.
Saat ini, seluruh daerah Jawa Timur yang dilalui sungai Bengawan Solo, siaga banjir. Lebih lagi pintu air waduk Gajahmungkur (di Wonogiri, Jawa Tengah) telah dibuka. Akan lebih banyak debit air yang menuju daerah aliran sungai. Antara lain, kabupaten Ngawi, Madiun, dan Bojonegoro. Madiun, dan Ngawi, sudah menetapkan status siaga. Sampai banyak sekolah diliburkan.
Beberapa daerah di Jawa Timur telah dikepung banjir. Terutama area “langganan” luapan sungai. Antara lain sepanjang aliran Sungai Welang-Rejoso, di Pasuruan biasa merendam ribuan rumah warga di tiga kecamatan (Grati, Winongan, dan Rejoso). Daerah banjir baru juga muncul di Jombang, dan Mojokerto, di sepanjang anak sungai Kali Brantas.
Musim hujan, mestinya menjadi berkah. Namun dibutuh penanganan lebih sistemik. Antaralain dengan me-masif-kan tutupan vegetatif di hulu hingga hilir. Karena efek La-Nina bisa memberi air lebih banyak. Jika ditampung akan menjamin ketersediaan air pada musim kemarau. Waduk tidak akan kering. [*]