26 C
Sidoarjo
Thursday, November 28, 2024
spot_img

ODGJ di Pilkada Serentak 2024, Menerobos Batas Kemanusiaan, Setara dalam Suara


Oleh:
Gegeh Bagus Setiadi, Kota Surabaya

Pagi itu, Rabu (27/11/2024) matahari menggeliat perlahan di langit Surabaya, menembus pagar tinggi Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Keputih. Di balik dinding-dinding yang penuh cerita, ratusan penghuni dengan gangguan jiwa (ODGJ) bersiap menghadapi momen yang mungkin terlihat sederhana bagi sebagian orang, namun sarat makna bagi mereka-hari pencoblosan Pilkada serentak 2024.

Sebuah pagi yang menorehkan kisah tentang hak, harapan, dan penghargaan terhadap kemanusiaan. Di antara mereka, ada yang menatap kosong, ada pula yang berbisik pelan, entah kepada siapa.

Namun, pagi itu, mereka bukan sekadar penghuni Liponsos. Mereka adalah pemilih. Suara mereka sama berharga dengan jutaan suara lainnya di seluruh Indonesia.

Hak yang Tak Terlupakan
“Ini wujud nyata negara kita menghargai kemanusiaan,” ujar Nur Salam, Anggota Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat (Sosdiklih Parmas) KPU Jatim.

Ia berdiri di tengah halaman Liponsos, mengamati proses demokrasi yang berjalan dengan tertib. “Selama seseorang dinyatakan sadar, meski mengalami gangguan mental, mereka tetap memiliki hak pilih.” Kalimat itu seakan menggetarkan udara pagi.

Sebuah pengakuan bahwa di negeri ini, setiap insan berhak bersuara, tak peduli betapa sunyi kehidupan yang mereka jalani.

Di TPS khusus 901, sebanyak 267 penghuni Liponsos memberikan hak suara mereka. Di TPS 26 Keputih, 269 lainnya turut serta, didampingi oleh petugas yang penuh kesabaran.

Berita Terkait :  ‎Bawaslu Kabupaten Mojokerto Proses dan Serahkan 1 dari  11 Pengaduan Pelanggaran Kampanye ke Kejaksaan

Anna Fajriatin, Kepala Dinas Sosial Surabaya, menyebut proses ini sebagai perjuangan tersendiri. “Kami harus memastikan mereka paham siapa calon pemimpin mereka,” ujarnya.

Sosialisasi tak sekadar formalitas. Debat kandidat diputar ulang pagi hari, memastikan tak ada yang terlewatkan. “Ini bukan sekadar kewajiban. Ini tentang memberikan mereka suara yang selama ini mungkin tenggelam.”

Suara Sunyi yang Menggema
Seorang pria berusia lima puluhan, dengan tangan gemetar, masuk ke bilik suara. Mata sayunya menatap kertas suara dengan penuh kesadaran.

Dalam diam, ia menorehkan pilihan. Di bilik kecil itu, ia bukan sekadar penghuni Liponsos. Ia adalah warga negara yang berdaulat.

“Pendampingan ini bukan sekadar prosedur,” ujar Anna. “Ini tentang penghormatan. Setiap langkah mereka hari ini adalah simbol bahwa negara hadir di sini,” tambah dia.

Tantangan tentu ada. Mengelola ratusan penghuni dengan kondisi mental yang beragam bukan perkara mudah. Namun, pagi itu, semua berjalan lancar. Suara mereka tercatat. Hak mereka diakui.

Inspirasi untuk Dunia
Puluhan negara yang tergabung dalam Election Visit Program (EVP) menyaksikan proses ini dengan kagum. Di negara-negara lain, hak suara bagi ODGJ mungkin masih jadi perdebatan panjang. Di Indonesia, hak itu adalah kenyataan.

“Mereka melihat bagaimana keterbukaan dan kebebasan dijunjung tinggi di sini. Ini adalah substansi yang bisa dibawa pulang ke negara mereka,” jelas Nur Salam.

Berita Terkait :  Realisasi Investasi Diprediksi Melesat, Wawali Armuji Ajak Investor Prioritaskan Tenaga Kerja Lokal

Ia menjelaskan, meski memiliki hak konstitusional yang sama, sistem pemilihan di Indonesia dan Timor-Timur masih menunjukkan perbedaan yang signifikan.

Di Indonesia, seluruh rakyat memiliki kebebasan untuk memilih pemimpin mereka melalui pemilihan umum yang dilaksanakan langsung, baik untuk posisi gubernur, bupati, maupun anggota legislatif.

Proses ini, lanjutnya, dilakukan dengan berbagai metode teknis yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah, termasuk sosialisasi yang berbeda untuk memastikan pemahaman masyarakat.

Namun, di Timor-Timur, sistem pemilihan lebih terpusat. Gubernur dan bupati di negara tersebut masih ditunjuk langsung oleh Perdana Menteri, berbeda dengan Indonesia yang mengharuskan pemilihan pejabat tersebut melalui suara rakyat. “Hal ini menandakan perbedaan dalam penerapan demokrasi antara kedua negara,” ungkapnya.

Dalam kunjungan ke Jawa Timur, beberapa perwakilan dari Timor-Timur mempelajari lebih lanjut tentang pemilihan langsung yang diterapkan di Indonesia.

Rencana untuk membawa konsep pemilihan gubernur langsung oleh rakyat ke Timor-Timur pun mulai dibahas. Pemilihan langsung dinilai dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi serta memperkuat akuntabilitas pemimpin terhadap rakyat.

Pentingnya sosialisasi dan pemahaman terkait hak pilih menjadi catatan utama dalam proses ini. Meskipun di Indonesia setiap warga negara memiliki hak yang sama, sosialisasi yang efektif sangat diperlukan untuk memastikan bahwa pemilih dapat menggunakan hak suara mereka dengan baik, mengingat perbedaan pemahaman dan teknik pelaksanaan di setiap daerah.

Berita Terkait :  Tingkatkan Kesejahteraan dan Kurangi Kemiskinan, Pemkab Mojokerto Luncurkan Kampung Zakat

“Dengan mengadopsi sistem pemilihan langsung, semakin mendekati prinsip demokrasi yang lebih inklusif dan partisipatif, di mana setiap warga negara memiliki suara yang sama dalam menentukan arah kepemimpinan,” katanya.

Melampaui Bilik Suara
Di akhir hari, ketika matahari mulai condong, TPS di Liponsos mulai sepi. Namun, suara-suara itu telah tercatat, mengalir ke dalam arus besar demokrasi. Di balik bilik suara kecil itu, ada harapan. Ada pengakuan. Ada janji bahwa tak ada yang dikecualikan.

Di Liponsos Keputih, sebuah pelajaran besar diajarkan. Bahwa demokrasi sejati adalah tentang merangkul semua, tanpa kecuali.

Bahwa setiap suara, seberapa pun sunyinya, memiliki arti. Dan di balik pagar tinggi itu, Indonesia kembali membuktikan bahwa kemanusiaan adalah inti dari segalanya. [gat]

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img