Dosen Untag : PT Bisa Menunjukkan Keunggulannya
Surabaya, Bhirawa
Rencana Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Indonesia, Satryo Soemantri Brodjonegoro untuk mengganti sistem pemeringkatan kampus dengan pendekatan berbasis capaian menarik perhatian sejumlah pihak. Salah satunya Wakil Dekan I Fakultas Teknik Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Supangat MKom PhD ITIL COBIT CLA CISA, yang memberikan pandangan adanya gagasan ini.
Menurut Supangat, kebijakan itu menarik untuk dikaji. Mengingat wacana ini dianggap lebih relevan diterapkan di perguruan tinggi dengan masing-masing karakter uniknya. Sekaligus berusaha mengatasi praktik tidak sehat seperti ‘obral gelar’ akademik.
Supangat menyinggung soal lima perguruan tinggi yang ditargetkan sejak 2015 berhasil masuk dalam Top 500 QS WUR. Diantaranya, UI yang mencatat kenaikan dari peringkat 248 ke 237, sedangkan UGM turun dari 231 ke 263, dan ITB turun dari 235 ke 281. Selanjutnya ada UNAIR yang berhasil naik dari peringkat 369 ke 345, sementara IPB turun dari 449 ke 489.
Data ini menggambarkan, kata Supangat, merupakan tantangan besar bagi perguruan tinggi di Indonesia untuk mencapai peringkat Top 200 dunia sejak 2019. Bahkan, sebagian besar institusi mengalami penurunan peringkat, dengan hanya sedikit yang berhasil mencatatkan peningkatan secara konsisten dalam lima tahun terakhir.
“Salah satu kelemahan sistem ini adalah ketergantungan pada survei akademik dan reputasi lulusan, yang mencapai 45-50% dari total skor peringkat. Hal ini membuat perguruan tinggi pengajaran (teaching university) sulit bersaing dengan universitas riset (research university), yang memiliki program doktoral dan menghasilkan penelitian berpengaruh besar,” jelasnya.
Supangat juga menjelaskan, rencana Menteri Satryo yang ingin mengganti fokus pada peringkat dengan capaian konkret. Capaian tersebut mencakup target yang ditetapkan setiap kampus sesuai janji mereka di awal tahun ajaran.
Dengan cara ini, Supangat berpendapat bahwa institusi bisa menunjukkan keunggulannya tanpa harus mengikuti standar global yang tidak selalu relevan.Namun, tantangan dalam sistem capaian adalah menentukan indikator yang obyektif dan bisa diukur secara jelas.
“Indikator ini harus mencakup kontribusi kampus pada masyarakat, seperti dampak penelitian, kerjasama global, dan efektivitas pengabdian masyarakat,” jelas dia.
Supangat menilai kebijakan berbasis capaian memerlukan sistem informasi yang transparan dan dapat diandalkan. Misalnya saja, data dari Bappenas dan Kemendiktisaintek yang menunjukkan bahwa perguruan tinggi di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam meningkatkan kualitas riset. Saat ini, hanya 29 universitas Indonesia yang masuk 100 besar Asia Tenggara menurut Webometrik, dengan kurang dari 1% yang mampu bersaing di tingkat internasional.
“Dengan sistem informasi yang baik memungkinkan perguruan tinggi untuk mengevaluasi standar pembelajaran, penelitian, hingga fasilitas yang ada secara berkelanjutan. Dengan begitu, capaian kampus tidak hanya terlihat di atas kertas, tetapi juga nyata dirasakan masyarakat,” terangnya.
Selain itu perlu kampus inspirasi dari kampu dunia. Dikatakannya membangun budaya kerja keras dan lingkungan belajar yang mendukung adalah kunci kesuksesan. Sebagai contoh, TU Delft di Belanda menyediakan fasilitas belajar hingga tengah malam, dengan suasana perpustakaan yang kondusif.
Mahasiswa di sana serius belajar, sehingga universitas ini berhasil menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Karenanya guna menuju pendidikan tinggi berkualitas, kebijakan berbasis capaian adalah langkah awal untuk membangun ekosistem pendidikan tinggi yang lebih adil dan relevan.
“Dengan memadukan kelebihan sistem pemeringkatan dan capaian, perguruan tinggi di Indonesia dapat terus meningkatkan kualitas secara berkelanjutan.Jika diterapkan dengan transparansi dan berbasis data, kebijakan ini bisa menjadi fondasi pendidikan tinggi Indonesia untuk mencapai visi besar yaitu menciptakan universitas kelas dunia pada tahun 2045,” tandasnya. [ren.fen]