Surabaya, Bhirawa
Maraknya praktik judi online (Judol) semakin mencemaskan berbagai pihak. Hal itu dipicu mudahnya mengakses situs judol dan fantasi palsu tentang keuntungan berlipat yang kuat diyakini masyarakat.
Ketua Komisi A DPRD Jatim Dedi Irwansa mengungkapkan, keseriusan pemerintah baik di tingkat eksekutif, legislatif hingga yudikatif tengah diuji dalam menangani judol. Termasuk kerjasama pentahelix antara pemerintah, perguruan tinggi, tokoh masyarakat hingga edukasi di media massa.
Hal ini penting mengingat posisi Jawa Timur yang menduduki peringkat ke-4 dalam daftar provinsi dengan transaksi judol terbanyak. Nilak transaksinya mencapai Rp 1,05 triliun.
“Judol ini seperti wabah yang sudah menjangkit di kalangan masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah. Hampir setiap hari kita mendengar berita penangkapan judol,” jelas Dedi.
Anggota DPRD Fraksi Demokrat tersebut mengungkapkan, diperlukan langkah pencegahan yang maksimal di samping upaya penindakan hukum yang telah dilakukan aparat Kepolisian. Antara lain meningkatkan peran Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Jatim dalam melakukan patroli cyber dan penguatan literasi digital di masyarakat.
“Kominfo dan Polda Jatim adalah satgas judol yang telah dibentuk Pemprov Jatim. Peran satgas ini harus didukung lebih kuat baik dari infrastruktur program maupun kerjasama lintas sektor,” jelas Dedi.
Tidak hanya Dinas Kominfo, lanjut Dedi, semua OPD di Pemprov Jatim juga harus mengambil peran kuat. Misalnya Dinas Pendidikan Jatim yang bersentuhan langsung dengan peserta didik. Bakesbangpol yang memiliki koneksi dengan simpul kelompok masyarakat dan tokoh lintas agama. Kemudian Badan Riset Daerah yang mestinya dapat memperkuat kerjasama dengan perguruan tinggi baik dalam membuat kajian strategis maupun penelitian ilmiah terkait kecenderungan pelaku judol.
“Data PPATK sangat memprihatinkan, praktik judol ini sudah dijalankan mulai anak usia 10 tahun. Kemudian 40 persen pelakunya di usia 30-50 tahun. Ini usia-usia produktif yang seharusnya mereka lebih sibuk berkarya, bukan ngeslot di warkop-warkop,” tegas Dedi.
Di sisi lain, Dedi juga berharap peran-peran oraganisasi perempuan seperti PKK, Dharmawanita, Muslimat NU hingga Aisyiyah dilibatkan secara maksimal. Alasannya, praktik judol ini sangat erat dengan kerentanan keluarga.
“Sudah jamak ceritanya, ketika sudah terpapar judol sampai aset-aset berharga ikut jadi modal taruhan, gaji dipakai top up, bahkan yang dapat bansos pun dipakai ngeslot. Maka polisi yang paling terdepan sesunggunya bukan yang berseragam coklat, tapi istri atau para ibu yang harus melakukan pengawasan dan pencegahan,” jelas Dedi.
“Jadi ini problem serius, patroli cyber Kominfo dan penangkapan pelaku saja tidak cukup. Perlu edukasi dan pendekatan kultural maupun spiritual yang masif oleh semua pihak,” pungkas dia.[tam]