Oleh :
Deni Budiarto
Penulis merupakan mahasiswa prodi S1 Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag0 Surabaya
Semua laki-laki bisa menjadi ayah, namun faktanya tak semua ayah mampu menjalankan perannya. Dalam masyarakat tradisional, peran ayah seringkali hanya dilihat sebagai penyedia finansial. Namun, seiring dengan perkembangan sosial, budaya dan pendidikan, peran ayah menjadi lebih kompleks. Ayah tidak lagi hanya bertanggungjawab sebagai pencari nafkah, tetapi juga mencakup aspek emosional, pangasuhan hingga pendidikan terhadap anak.
Berdasarkan Global Fatherhood Index Report 2021, Indonesia menduduki peringkat ke-3 fatherless country di dunia. Sedangkan menurut data UNICEF tahun 2021, terdapat sekitar 20,9% anak-anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran sosok ataupun peran ayah.
Hal ini dapat disebabkan oleh perceraian, kematian, ataupun ayah bekerja jauh. Kondisi inilah yang kemudian disebut fatherless. Keadaan dimana tidak adanya peran dan keterlibatan figur ayah yang signifikan dalam kehidupan anak sehari-hari. Sehingga hal ini membuat anak-anak Indonesia menjadi father hungry (lapar pada sosok ayah).
Secara tradisional, peran ayah dalam keluarga di Indonesia masih dipengaruhi oleh nilai-nilai patriarki dan budaya agraris. Ayah dipandang sebagai kepala keluarga yang bertugas mencari nafkah dan menjaga keamanan serta stabilitas keluarga.
Pengasuhan, pendidikan anak hingga urusan rumah lebih banyak dibebankan kepada ibu, sedangkan ayah cenderung berperan sebagai sosok otoritas dan disiplin.
Perkembangan ekonomi dan meningkatnya partisipasi perempuan dalam dunia kerja di Indonesia telah mengubah dinamika keluarga.
Di Indonesia, para ayah mulai terlibat dalam melakukan pekerjaan rumah atau berpartisipasi langsung dalam mendidik anak. Fenomena ini didorong oleh maraknya media sosial dan literasi parenting yang mempromosikan pentingnya peran ayah dalam perkembangan anak.
Peran ayah kini semakin dihargai sebagai mitra yang setara dalam pengasuhan, memberikan waktu, dan kehadiran emosional. Namun sangat disayangkan, faktanya masih banyak sosok ayah yang belum menjalankan peran ganda seperti ini. Hal ini tak lepas dari kurangnya edukasi dan kehidupan sosial yang masih menjunjung tinggi budaya patriarki.
Dalam memaksimalkan perannya sebagai ayah yang ideal, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi. Pertama, tuntutan dari pekerjaan yang menyita banyak waktu kerap kali menghambat ayah untuk terlibat aktif dalam pengasuhan. Kedua, masih adanya stigma sosial yang menganggap bahwa pengasuhan adalah “tugas ibu” membuat beberapa ayah ragu untuk lebih terlibat dalam aktivitas anak. Ketiga, peran ganda dalam keluarga, terutama dalam keluarga urban, dapat menimbulkan stres dan ketidakpastian dalam menyeimbangkan peran antara pekerjaan dan keluarga.
Kurangnya peran ayah dalam keluarga dapat menyebabkan dampak negatif pada anak-anak, seperti kesulitan dalam pengembangan identitas diri, keterampilan sosial yang terbatas bahkan mengalami masalah emosional dan perilaku.
Oleh karena itu, penting untuk mengatasi masalah ini untuk menciptakan lingkungan keluarga yang harmonis. Adapun cara yang dilakukan seperti melalukan edukasi dan kampanye yang melibatkan keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat luas. Perlunya dukungan program-program atau kebijakan dari pemerintah. Serta tidak kalah pentingnya, kita perlu mengubah persepsi dan pandangan masyarakat tentang stigma peran ayah dalam keluarga.
Untuk menekan angka fatherless di Indonesia, Kemen PPPA telah membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan dengan tujuan mendorong peran ayah dalam pengasuhan anak. Hal ini telah disetujui pada Pembahasan Tingkat 1 (satu) oleh 8 (delapan) fraksi Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada 25 Maret 2024. Adapun salah satu isinya yaitu dengan memberikan kesempatan cuti kepada suami untuk mendampingi persalinan istrinya selama 2 (dua) hari dan paling lama 3 (tiga) hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan serta dapat ditambahkan cuti lainnya untuk memastikan waktu yang cukup bagi kepentingan terbaik ibu dan anak.
Peran ibu dan ayah sangat diperlukan untuk menciptakan keluarga yang efektif. Sudah seharusnya mereka bisa saling bekerja sama, baik dalam mengurus rumah, finansial hingga mendidik anak. Apapun yang ada dalam rumah tangga tersebut, merupakan tanggung jawab bersama tanpa membebani salah satu pihak. Apabila kedua orang tua mampu menjalankan perannya dengan baik, maka kehidupan keluarganya juga akan berjalan baik. Begitupun dengan tumbuh kembang anak yang terjamin, sehingga mampu menekan angka fatherless atau fenomena father hungry di Indonesia.
—————- *** ——————