Profil dan postur R-APBD diskenario menyusut drastis, hanya sebesar Rp 27,660 trilyun. Per-angka-an R-APBD 2025 bagai mundur kembali ke belakang selama satu windu (8 tahun). Bahkan angka-nya masih lebih kecil disbanding APBD 2017. Padahal sejak tahun 2022 hingga tahun 2024, perekonomian nasional (dan Jawa Timur) tumbuh positif. Rata-rata pertumbuhan sebesar 5%. Penurunan drastik per-angka-an APBD Jatim, terasa tidak sesuai dengan tema RKP (Rencana Kerja Pemerintah) tahun 2025.
Jargon RKP adalah, “Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan.” Nyata-nyata terdapat frasa kata Pertumbuhan Ekonomi. Tapi realitanya, APBD Jawa Timur 2025 dikontruksi “pelambatan ekonomi.” Sekaligus menjadi suasana ekonomi yang eksklusif (bukan inklusif). Juga diharapkan pelambatan ekonomi tidak berkelanjutan. Sehingga seluruh “orasi” dalam Nota Keuangan (Pj) Gubernur Jawa Timur, Bagai narasi yang “jauh panggang dari api.”
Tetapi penurunan per-angka-an R-APBD Jawa Timur tahun 2025, bukan tanpa alasan. Konon, Pemerintah Propinsi akan kehilangan PAD (Pendapatan Asli Daerah) sebesar Rp 4,29 trilyun. Terutama PAD yang diiperoleh dari PKB (Pajak kendaraan Bermotor), dan PBBKB (Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor). Serta Bea Balik Nama (BBN-KB), dan Pajak Air Permukaan (PA). Dulu (sampai tahun 2024), bagi hasil PKB, dan PBBKB, di-bagihasil-kan kepada pemerintah propinsi sebesar 70%.
Tetapi saat ini telah berlaku Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Juga telah terbit PP (Peraturan Pemertintah) Nomor 35 Tahun 2023 Tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pada pasal 23 ayat (1) huruf b, dinyatakan, “hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen). Masih disusul pasal 23 ayat (1) huruf c, dinyatakan, “hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan kepada kabupaten/kota sebesar 70% (tujuh puluh persen).”
Selama ini PBB, dan PBBKB menjadi tulang punggung PAD Jawa Timur. Tetapi menyusutnya perolehan pajak dari kendaraan bermotor, bukan menjadi pemicu pesimistis. Masih banyak retribusi daerah, dan bagi hasi pajak yang lain bisa di-intensif-kan. Bahkan terdapat potensi pajak besar tetapi tergali. Misalnya pajak atas pembelian pulsa paket internet. Saat ini terasa sulit dipungut. Sama seperti PBBKB, dahulu, juga dipertanyakan tatacara pungutnya. Realiatnya kemudian, bisa menjadi PAD sangat besar.
Dalam pelaksaan APBD, Belanja Daerah sebesar Rp 27,660 triliun, tidak akan diserap habis. Berbagai belanja, biasanya terdiri dari Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa. Juga untuk subsidi, hibah dan belanja Bantuan Sosial. Ada pula belanja modal, teapi biasanya hanyha menempati porsi sangat kecil. Namun kebiasaan birokrasi tidak pernah menghabiskan Belanja Daerah. Selalu masih akan ada Silpa (Sisa lebih perhitungan anggaran). Kira-kira sisa sampai 6%.
Fakta-fakta ke-ekonomian APBD Jawa Timur tahun (2024) lalu, sesungguhnya masih sehat walau menunjukkan tanda-tanda pelambatan. Juga masih terdapat opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB). Pemprop bisa menentukan pungutan tambahan. Termasuk opsen atas pajak pembelian pulsa paket data internet. Begitu pula BUMD patut digenjot menghasilkan laba lebih “logis.” Sesuai dengan nilai aset, dan penyertaan modal Pemprop, dihitung berdasar kalkulasi usaha swasta (professional).
Seluruh OPD juga patut berupaya keras menggali PAD (Pendapatan Asli Daerah) melalui BLUD (Badan Layanan Umum Daerah), dan UPT penghasil. Selama ini, kalangan DPRD biasa menawari kenaikan anggaran, tetapi tidak pernah menuntut kenaikan PAD. Seyogianya, DPRD Jawa Timur bersama Tim Anggaran, menggagas defisit lebih besar. Sekaligus utang yang lebih besar.
———— 000 ————–