Musim kemarau terasa menimbulkan dampak menyulitkan, walau belum genap setengah tahun. Musim hujan sudah dimulai pada pekan ketiga Oktober. Bagai pepatah, panas setahun dihapus hujan sehari. Tetapi meski sudah hujan, suasana masih terasa gerah. Hujan sudah datang lebih awal, di berbagai daerah, termasuk di Jawa Timur. Bahkan BMKG me-warning adanya kilat dan petir meng-guntur. Sumur dan sumber air, sudah mulai terisi. Masyarakat tidak perlu berebut air lagi.
Hujan yang datang lebih awal, sudah cukup untuk memadamkan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Terutama kebakaran di kawasan pegunungan yang sulit dipadamkan, karena kemiringan lahan. Hujan juga bisa memadamkan kebakaran di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah. Namun harus waspada. Karena tanah genting yang merekah akan terisi hujan. Bisa berpotensi rawan bencana. Dengan intesitas hujan deras, bisa terbawa air. Longsor bagai air bah.
Maka Pemerintah Daerah (propinsi, serta kabupaten dan kota) patut meng-audit infrastruktur. Terutama pada tebing perbukitan, tebing jalan raya, dan tebing Sungai. Sejak tahun 2017, Bank Dunia merekomendasikan audit reguler (periodik dan sistemik) konstruksi infrastruktur. Sifatnya wajib. Hujan (awal) sudah datang tepat waktu. Lazimnya akan berpuncak pada bulan Januari. Seluruh daerah di pulau Jawa seyogianya waspada banjir, dan longsor.
Pemda juga perlu menyusun mapping rawan bencana, terutama pada kawasan cekungan di pantai utara dan kawasan pantai selatan. Banjir dan longsor seolah tak surut dengan berbagai proposal dan program pemerintah. Sembilan daerah di pantai utara Jawa Tengah, masih menjadi “langganan” banjir. Yakni, Kota dan Kabupaten Pekalongan, Kendal, Kota Semarang, Demak, Grobogan, Kudaus, Jepara, dan Pati. Selain sebagai lumbung pangan, sembilan daerah merupakan Kawasan perekonomian di Jawa Tengah.
Ribuan area “langganan” banjir dan longsor nampak tersebar dari Lhokseumawe (di Aceh) sampai Larantuka (di Flores). Bahkan setiap musim selalu menambah area baru tergenang, dan luruhan longsor baru. Sudah banyak pemerintah daerah (Pemda) meng-antisipasi cepat dampak bencana. Namun tak jarang Pemda terlambat menetapkan kondisi darurat. Juga abai terhadap penyusutan daya dukung lingkungan. Sungai yang menjadi tanggungjawab pemerintah propinsi, serta sungai “milik” kabupaten dan kota, juga sering meluap.
Dampak bencana banjir (dan longsor) selalu terasa pedih. Kerugian materi pada tingkat rakyat (rumahtangga) sangat besar, berupa kerusakan sawah dan kebun. Serta terputusnya akses infrastruktur perekonomian lain (pasar, jembatan dan jalan). Kerugian materi lebih besar dibanding akibat kebakaran lahan dan hutan. Bertambah pedih, karena selalu terdapat korban jiwa. Maka penetapan status darurat bencana seyogianya tidak perlu menunggu sampai dampak bencana terasa lebih besar.
Secara lex specialist, tanggap bencana diatur dalam UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Diberikan kewenangan kepada pemerintah (nasional), dan pemerintah daerah (propinsi maupun kabupaten, dan kota) menetapkan status ke-tanggap darurat-an. Begitu pula mitigasi (dan sekolah bencana), sesungguhnya telah menjadi mandatory (kewajiban berdasar undang-undang).
UU Penanggulangan Bencana, pada pasal 38 huruf a, me-wajibkan adanya “identifikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana.” Pada pasal yang sama (38) huruf b, dinyatakan, “kontrol terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber bahaya bencana.”
Terdapat frasa “pengenalan secara pasti,” dan frasa kata “secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber bahaya bencana.” Maka mitigasi bencana dapat dilakukan secara tepat. Karena bencana hidro-meteorologi dapat diprediksi dengan tingkat presisi cukup baik.
——— 000 ———