Tak Cukup Regulasi, Publik pun Butuh Edukasi dan Literasi
Perjudian online telah menjadi ancaman besar yang mengintai masyarakat. Di balik kemudahan akses dan janji keuntungan instan, judi online menyimpan bahaya yang merusak, menggerogoti pondasi moral, sosial, dan spiritual masyarakat.
Wahyu Kuncoro, Wartawan Bhirawa
Pengamat Kajian Media dan Budaya Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya Radius Setiyawan mengungkapkan di tengah arus kemajuan teknologi digital yang semakin masif, judi online akan masih sulit diberantas. Apalagi, adanya peran influencer dalam memasarkan judi online, bisa berbahaya bagi masyarakat, mengingat artis atau influencer sering dicontoh oleh followers-nya.
“Tentu sangat membahayakan, karena apa yang mereka katakan berpotensi memengaruhi pola perilaku pengikut. Bisa dikatakan influencer menjadi trend setter bagi milenial dan generasi Z. Hal tersebut didukung situasi ekonomi masyarakat yang lemah dan labil,” jelasnya.
Radius menyebut, di era kecepatan informasi, otak manusia cenderung mudah diretas atau diserang dengan berbagai informasi. Mulai dari iklan, media sosial, berita hingga gosip.
“Otak manusia sangat mungkin bisa diretas, akibatnya adalah tipu daya, karena imaji mendapat uang dengan mudah dan menjadi kaya raya dengan cara yang instan,” ujarnya.
Sementara di tengah maraknya kasus judi online yang terjadi, baginya sudah seharusnya pemerintah tidak hanya sebagai pengawas sosial apalagi hanya mengandalkan regulasi yang dibuatnya, pemerintah perlu terus melakukan aksi nyata dalam meningkatkan literasi digital. Harapannya, agar masyarakat tidak mudah terperdaya dalam dunia digital yang berdampak pada kekacauan sosial.
“Di tengah kondisi banjir informasi seperti sekarang, masyarakat perlu berpikir reflektif. Artinya, tidak lagi melihat dunia dari sisi permukaan saja. Masyarakat harus menyadari ada dampak besar yang ditimbulkan seperti kehilangan produktivitas, terutama untuk kalangan usia muda, terjerat pinjol, perceraian dan konflik rumah tangga yang meningkat,” jelasnya lagi.
Judi online ibaratnya menjadi duri dalam daging. Angkanya bukannya menurun, tren judi online malah terus meningkat. Pelaku seolah tidak merasa jera, padahal judi online tidak hanya berdampak negatif terhadap kondisi perekonomian, melainkan juga terhadap kesehatan mental. Banyak individu yang terjerat utang besar karena sulit mengendalikan keinginan untuk terus bermain dan berharap menang besar. Hal ini sering kali diikuti oleh stres, kecemasan, dan depresi. Studi menunjukkan bahwa ketergantungan pada judi online dapat memicu gangguan kesehatan mental yang serius, termasuk perilaku bunuh diri.
Psikolog Universitas Negeri Malang (UM) Dr. Ika Andrini Farida S.Psi M.Si., menyebut bahwa secara psikis judi online itu punya efek adiksi atau ketergantungan. Hal itu sama seperti adiksi narkoba, tetapi dalam bentuk ketergantungan terhadap judi online.
“Sama seperti ketergantungan narkoba, mungkin maksudnya tidak akan mengulangi, tetapi tubuhnya sudah tidak bisa mengatasi ketagihan, akhirnya melakukan lagi,” ucap Wakil Dekan II Fakultas Psikologi UM.Menurutnya, dampak dari judi online secara psikis bisa bermacam-macam.
“Dampaknya sudah jelas, mengganggu bekerja, hubungan dengan keluarga, secara keuangan pasti jebol. Itu sebetulnya perlu dibantu secara psikologis,” ucap Andrini Farida.
Menurut dosen Fakultas Psikologi UM ini, pecandu judi online membutuhkan terapi. Misalnya terapi berkaitan dengan latar belakang yang memicu pecandu melakukan itu.
“Setiap kali merasa sendirian, dia lari ke sana, dicari sebabnya, apa yang memicu dia melakukan itu,” ujarnya.
Pecandu judi online juga perlu mengubah habit. Habit memang tidak terbangun dengan otomatis perlu proses dalam membongkar kebiasaan buruk judi online sehingga memprogram ulang otaknya.
Kesungguhan Pemerintah
Pemerintah menegaskan keseriusannya dalam memerangi judi online dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Perjudian Daring melalui Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2024 yang diteken pada Juni lalu.Dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto, keanggotaan satgas mencakup mulai dari Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), hingga kementerian/lembaga lainnya termasuk Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kejaksaan Agung, hingga TNI-Polri.
Dengan masa kerja hingga Desember 2024, satgas telah menyepakati tiga tugas utama, salah satunya menindak rekening yang terindikasi menjadi tempat penampungan uang judi online sesuai hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sebagai bagian dari Satuan Tugas Pemberantasan Judi Online, telah menutup akses ke sekitar 3,4 juta konten terkait perjudian daring sejak 17 Juli 2023 hingga saat ini.
“Dalam kurun waktu sejak saya dilantik, kita telah berhasil menutup akses 3,4 juta konten perjudian online,” kata Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi (5/10/2024).
“Kami telah memiliki teknologi untuk mendeteksi dan memblokir situs judi online lebih efektif sehingga mengurangi praktik dan dampak negatif dari praktik judi online,” tambahnya.
Dalam upaya pemberantasan perjudian daring, Kemenkominfo telah memutus akses ke berbagai sarana judi online serta memperingatkan platform digital untuk mengontrol Domain Name System (DNS) publik yang sering menjadi celah untuk mengakses situs-situs judi. Selain itu, Kominfo juga memutus Network Access Point (NAP) dari negara-negara seperti Kamboja dan Filipina yang banyak digunakan sebagai sarana untuk mengakses situs judi online di Indonesia.
Tindakan lain yang diambil adalah menerbitkan perintah audit terhadap penyelenggara sistem elektronik, khususnya yang bergerak di bidang keuangan, karena layanannya berpotensi digunakan untuk kegiatan judi daring.
Budi menekankan pentingnya pemberantasan judi online secara berkelanjutan dan konsisten, melibatkan seluruh satuan kerja di Kominfo serta kementerian dan lembaga terkait lainnya. Ia juga menekankan pentingnya peran organisasi masyarakat dalam mendukung upaya ini.
“Kita telah melibatkan kelompok pemuda, organisasi keagamaan, kelompok mahasiswa, hingga emak-emak untuk mendukung kampanye pencegahan dan pemberantasan judi online,” jelasnya.
“Sosialisasi yang masif ini tentunya harus terus dilakukan kepada masyarakat,” tutur Budi.
Dosen Sosiologi FISIP Universitas Brawijaya, Didid Haryadi, SSos, MA, mengungkapkan tantangan besar yang dihadapi saat ini adalah bagaimana mengontrol aktivitas ilegal di dunia maya.
“Perlu ada regulasi yang betul-betul membatasi,” katanya sambil menekankan pentingnya aturan yang lebih tegas dan implementasi yang efektif. Namun, dia juga mengakui bahwa itu tidak mudah karena kemajuan teknologi dan membuat upaya tersebut semakin sulit.
Contoh konkret yang dihadapi saat ini adalah judi online. Meskipun telah dilarang, praktik ini terus berkembang dan sulit untuk dikendalikan dengan teknologi yang ada. “Judi online dilarang tapi dengan teknologi saat ini sangat sulit membatasi dan tidak terkontrol,” tambahnya saat dikonfirmasi Bhirawa, Sabtu (5/10).
Menurutnya, pemerintah perlu bekerja sama dengan penyedia teknologi dan platform digital untuk mencari solusi yang efektif. Ini termasuk peningkatan pengawasan dan pengembangan teknologi yang dapat memblokir akses ke situs-situs ilegal. Selain itu, edukasi kepada masyarakat juga dianggap penting untuk mengurangi permintaan terhadap judi online. Contoh yang bisa dilakukan yaitu kampanye kesadaran dan peningkatan literasi digital untul memahami risiko dan bahaya yang terkait dengan aktivitas judi online.Lebih lanjut menurut Didid, penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu adalah langkah pertama dalam memberantas judi online. Pemerintah harus memperkuat kerjasama dengan aparat penegak hukum dan lembaga terkait untuk menindak tegas pelaku judi online dan penyedia layanan judi.
Lebih lanjut menurut Didid, munculnya judi online merupakan salah satu konsekuensi perkembangan dan kemajuan teknologi informasi (TI) yang membentuk suatu konstruksi sosial yang baru di masyarakat sehingga dampaknya dapat memicu munculnya disrupsi-disrupsi sosial.
“Persoalannya adalah tidak semua kelompok atau individu yang ada di masyarakat mampu menyerap, menerima, dan merespon dengan selaras perkembangan teknologi dan informasi,” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa perjudian bukanlah hal yang baru dilakukan atau dipraktekkan. Hanya saja mediumnya berpindah.
Judi online sendiri tidak hanya menimpa warga yang kurang secara ekonomi, namun ribuan anggota DPR dan DPRD juga pernah memainkan judi online berdasarkan data dari PPATK. Melihal hal ini, Didid menegaskan bahwa ekonomi bukan faktor utama dan terdapat kemungkinan bahwa terdapat variabel lain yang turut memengaruhi.
“Siapapun dari kelas ekonomi apapun, status sosial apapun, itu semuanya sebenarnya punya potensi untuk terjerat judi online,” jelasnya lagi.
Singkatnya, tegas Didid, pPemberantasan judi online memerlukan pendekatan yang komprehensif dari pemerintah, aparat penegak hukum, masyarakat, dan teknologi. Kolaborasi dan koordinasi yang baik di antara semua pihak sangat penting untuk memastikan bahwa usaha pemberantasan berjalan dengan efektif. Dengan penguatan regulasi, peningkatan kapasitas aparat hukum, edukasi masyarakat, serta pemanfaatan teknologi yang tepat, Indonesia dapat lebih efektif dalam memerangi judi online di Indonesia.
—————– *** ——————–