Oleh :
M Chairul Arifin
Purnabakti Kementerian Pertanian
Luas permukaan daratan dunia adalah 148. 940 ribu km persegi sedangkan populasi kucing baik liar maupun rumahan diperkirakan berjumlah 700 juta ekor . Luas daratan Indonesia 1.905 juta kilometer persegi artinya dengan populasi kucing sebanyak 5,1 juta ekor pada tahun 2022 dan manusia, Indonesia 280 jiwa ( yang tidak berbeda jauh dengan data Euromonitor yang menyatat jumlah kucing di Indonesia sebanyak 4,8 juta ekor tahun 2022)maka kucing bukan hal yang merisaukan.
Jumlah populasi kucing ini dibandingkan dengan luas wilayah daratan Indonesia dan dunia tidak menjadi masalah. Tetapi masalahnya terletak bukan disitu melainkan manusia yang sudah biasa hidup bersama dengan kucing dan kucing sudah menjadi anggota keluarga yang bersangkutan karena dulunya kucing dipelihara sebagai pengusir binatang pengerat pada berbagai lumbung padi dan serelia lainnnya sehingga kucing dipelihara sebagai predator binatang pengerat semacam tikus dan sebagainya .
Selain adanya food waste pada manusia makin membuat subur kehidupan kucing di pemukiman. Kini 5,1 juta ekor kucing di Indonesia terbagi atas kucing liar dan kucing rumahan yang dipelihara hidup nyaman bersama manusia dan kadang menimbulkan masalah lingkungan hidup.,timbul nya penyakit dan konflik antar tetangga.
Mengatasi Ledakan Populasi Kucing .
Dengan hidup besama ini maka timbulah berbagai dampak lingkungan yang semula manusia hidup berdampingan secara damai dengan kucing . Contoh berbagai penyakit seperti adanya Rabies dan toxoplasmosis, maka seolah Rabies tersebut menemukan teman baru yaitu manusia yang hidup berdampingan (zoonosis). Rabies , toxoplasmosis, scabies dan dari penyakit kotoran kucing dan penyakit lainnya seperti cacing timbul pada kucing dan manusia ( Zoonosis) . Bahkan dalam sidang organisasi perkotaan seluruh Indonesia (APEKSI) pernah menghadapi issu tentang lingkungan hidup yang tercemar oleh ledakkan populasi kucing di pemukiman yang menimbulkan masalah lingkungan dan konflik antar warga.
Berbeds dengan Jepang., kucing sengaja dipelihara disuatu pulau untuk mengatasi hama pengerat seperti tikus. Maka untuk pengendalian dibutuhkan tehnik perangkap dan sterilisasi dan populasi kucing tetap terkontrol (pulau Ayoshima). Setiap hari kita berjalan jalan di pemukian akan selalu bertemu dengan sekawanan kucing yang saling bercengkrama . Pasti kita tidak menghiraukannya karena kucing hidup bersama dan tidak menganggu kita .
Gangguan hanya terjadi kalau musim birahi atau kawin kucing dengan suaranya yang mengeram keras keras . Kita cendrung mengusirnya jauh jauh , maka terjadilah copulasi kucing betina dan jantan entah dimana . Kucing sekali beranak dapat mengandung 4 embrio .
Masa kehamilan kucing berlangsung 63 hari dan setiap tahunnya beranak 3 x sehingga dapat saja terjadi ledakan populasi kucing di suatu tempat . Seorang ahli FAO malah memperkirakan bahwa hampir dari setiap 5 rumah tangga dia hitung terdapat seekor kucing ( rata rata secara kasar ) sehingga di Jakarta terdapat 21 persen Rumah Tangga berpenghuni kucing Dengan bahaya rabies dan toksoplasmosis pemerintah berupaya mengendalikan populasinya dengan berbagai cara dan biaya .
Cara termurah adalah cara perangkap dan kebiri baik pada kucing jantan maupun betina dilakukan kebiri atau kastrasi.. Paling tidak setahun tiga kali. Tapi ini pun mengandung konsekwensi keterlibatan para dokter hewan dan biayanya .
Cara ini pernah dicoba tetapi sifatnya sitruasional dan hanya, dilakukan menjelang hari rabies international. Selepas itu tidak dihiraukan lagi populasi kucing disuatu area. Akibatnya program yang baik ini tidak mencapai tujuan dan tidak berkelanjutan dan tetap saja percepatan beranak kucing tidak sebanding dengan upaya vaksinasi dan kebiri ( kastrasi ) tersebut.
Pemerintah harus buat jadwal tahunan yang berisi tiga kali masa kastras/musim kà strasi seiring dengan musim kawin Tetapi sekali lagi sanggup apa tidak pemerintah untuk membiayainya.
Untuk mengendalikan ledakan populasi kucing yang dianggap berlebih tentunya harus di anggarkan kepada perhitungan yang sesuai antara kebiasaan beranak dan upaya kastrasinya . Tidak bisa misalnya hanya sekedar show of force pada bulan bulan tertentu dan hanya ditampilkan dokter hewan dengan pengabdian masyarakat masyarakat . hidup berdampingan secara damai dengan manusis .
Kita cendrung mengusirnya jauh jauh , maka terjadilah populasi kucing betina dan jantan yang tidak terkontrol entah bagimana . Kucing sekali beranak dapat mengandung 4 embrio . Masa kehamilan kucing berlangsung 63 hari dan setiap tahunnya beranak 3 kali sehingga dapat terjadi ledakan populasi kucing di suatu tempat Dengan bahaya rabies dan toksopalsmosis pemerintah mengendalikan populasinya dengan berbagai cara dan biaya .
Cara termurah adalah kebiri baik pada kusing jantan maupun betina tetapi ini pun mengandung konsekwensi keterlibatan para dokter hewan dan biayanya . Cara ini pernah dicoba tetapi sifatnya situasional menjelang hari rabies internationa. Selepas itu tidak dihiraukan lagi Akibatnya program yang baik ini tidak mencapai tujuan dan tidak berkelanjutan , tetap saja percepatan beranak kucing tidak sebanding dengan upaya vaksinasi dan kebiri ( kastrasi ) .
Biaya kebiri kucing jantan Rp 200. ribu dan betina Rp 500 ribu paling tidak harus diediakan oleh pemerintah. Dengan cara seperti ini maka percepatan tumbuhnya populasi kucing dapat terkontrol. Cara ini sekaligus meredam bentuk bentuk kekesalan berbagai grup penyayang binatang asal tidak berkembang menjadi grup penganjur hewan kucing puntuk kawin.
————- *** —————-