33.5 C
Sidoarjo
Monday, October 7, 2024
spot_img

Eri Cahyadi dan Sinar Terang di Makam Abah

Oleh Eri Irawan, Kader PDI Perjuangan Kota Surabaya

Eri Cahyadi bersimpuh mencium kaki ibundanya, Mas Ayu Esa Aisyah, 28 Agustus 2024. Air mata mengalir di wajah Eri bak sungai kecil. Suaranya serak.

“Dungakno Eri ya, Mik. Eri daftar maneh,” kata Eri setelah mencium pipi kiri dan kanan Mas Ayu. Wali kota Surabaya itu menyapa ibundanya dengan sebutan umi.

Mas Ayu mengelus bahu anak keduanya itu, persis seperti dulu saat ia melepas Eri berangkat ke sekolah. “Tak dungakno selamet dunia akhirat,” kata perempuan berusia 80 tahun itu.

Eri sempat pamit melangkahkan kaki ke luar rumah ibunda setelah acara sungkeman sebelum berangkat mendaftar Pilkada ke kantor KPU Surabaya. Tapi di depan pagar, Eri mendadak berbalik, kembali sungkem dan memeluk ibundanya. Ada suatu hal yang masih mengganjal di hatinya.

Eri memeluk ibundanya kembali dan Istrinya, Rini Indriyani, juga mencium kaki Mas Ayu sebelum pamit.

“Dungakno lancar, Mik. Mugo-mugo kelakuane Eri, kebijakane Eri, madangi makame Abah. Eri wis janji karo Abah.”

Suaranya tercekat. Eri, yang biasa begitu garang berpidato dan membereskan masalah di lapangan, tak sanggup lagi berkata-kata. Air matanya kembali tumpah di hadapan sang ibunda, satu-satunya “jimat” yang masih dipunyai Eri saat ini setelah berpulangnya sang ayah.

Teladan dari Ayahanda

Empat tahun lalu, 4 September 2020, ayahanda Eri, Urip Suwondo, masih mengelus kepala sang anak dan memberikan restu sebelum Eri mendaftarkan diri menjadi calon wali kota. Urip Suwondo seorang abdi negara dengan jabatan terakhir Kepala Sub Bagian Keuangan di Pemerintah Kota Surabaya. Dari Urip, Eri belajar tentang arti mengabdi, tentang kesederhanaan, dan tentang hidup yang seharusnya diperjuangkan selayaknya sehingga patut disyukuri.

Berita Terkait :  Bayang Bayang Kesenjangan Pendidikan

Urip Suwondo berpulang pada Minggu, 22 Januari 2023. Eri menyebut hari itu sebagai “hari yang begitu saya khawatirkan”. Warisan terbesar Urip Suwondo untuk sang anak bukan harta kekayaan yang melimpah ruah. Warisan terbesarnya adalah nilai-nilai yang menjadi jalan pengabdian sang anak. “Abah mengajarkan bahwa jabatan dan amanah adalah jalan untuk meluaskan skala keberkahan dengan penuh keikhlasan,” kata Eri—saya kutip dari pemberitaan sebuah media.

Eri mengenang sang ayah sebagai teladan. Sepanjang hidupnya, Urip memberi contoh bagaimana menjadi seorang ayah dan suami yang baik. Urip telah mengalami banyak hal dalam hidup, ditempa suka dan duka, manis dan pahit kehidupan. Eri Cahyadi tahu, hidup tak pernah mudah bagi Urip Suwondo. Namun sang ayah tak pernah menyerah, dan tak pernah menampakkan lelah di hadapan keluarganya.

“Jika hidup mengharuskannya bertarung, saya yakin ada banyak luka di punggung beliau. Namun beliau tak pernah mengeluh dan mengatakan seberat apa beban yang harus beliau tanggung,” kenang Eri tentang ayahandanya

Suasana Pilkada 2024 memang terasa berbeda bagi Eri. Sang ayah tak lagi di sampingnya secara langsung. Pagi itu, 28 Agustus 2024, seusai salat Subuh, Eri sudah bergegas keluar dari rumahnya di kawasan Ketintang untuk menuju makam ayahandanya, sebelum berangkat mendaftar ke KPU Surabaya.

Dan di hadapan makam ayahandanya dan ayah mertuanya, Dadang Djumena, di Tempat Pemakaman Umum Tembok Gede, Bubutan, Eri tak hanya menaburkan kembang. Dia tengah memperbarui janjinya untuk tidak mengabaikan kemanusiaan dan nilai-nilai welas asih dalam memimpin sebuah kota yang memiliki sejarah panjang.

Berita Terkait :  Tingkatkan Kesadaran Anak Muda Soal Bahaya Merokok

Dulu, Urip Suwondo senantiasa mengingatkan Eri untuk siap menerima takdir Tuhan. Rencana Tuhan adalah mutlak. “Kehidupan adalah perjalanan panjang,” kata Eri, mengenang nasihat sang ayah.

Ada sekian ribu langkah pengabdian dan kemungkinan-kemungkinan yang membentang. “Dan memimpin kota ini sesungguhnya adalah satu dari ribuan langkah pengabdian sebagai manusia di muka bumi sebelum Tuhan memanggil pulang,” kata Eri.

Maka, menjadi wali kota bukan sekadar urusan kekuasaan bagi Eri. Ini bukan hanya soal kepemimpinan dan kewenangan. Ini adalah pengabdian yang dalam setiap waktu mengalir menjadi pahala jariyah untuk sang ayah. Pahala yang dalam keyakinan umat Islam bakal menjadi lentera penerang di dalam kubur, dan diperhitungkan pada Hari Akhir.

Periode pertama pengabdian Eri Cahyadi akan segera berakhir. Bagaikan sebuah buku yang terbuka, ia banal dibaca dan dinilai mahkamah sejarah. Tidak saja saat ini, tapi juga pada masa mendatang. Namun bagi Eri, hal terpenting adalah menjaga lentera di dalam kubur sang ayah tetap benderang, dan ini melebihi semua anggapan dan penilaian banyak orang yang tumpang tindih dengan kepentingan.

Dan mendadak saya menjadi melankolis. Saya beruntung melihat dari dekat momen sungkeman Eri Cahyadi dengan ayahnya empat tahun lalu, dan sungkeman tahun ini tanpa ayahandanya. Eri Cahyadi mengingatkan saya pada lirik lagu “Father and Son” yang dinyanyikan Cat Steven yang belakangan berganti nama menjadi Yusuf Islam setelah menjadi mualaf.

Berita Terkait :  Meneladani Nabi Muhammad SAW

I was once like you are now and I know that it’s not easy
To be calm when you’ve found something going on
But take your time, think a lot
Think of everything you’ve got
For you will still be here tomorrow but your dreams may not

Dan dari keyakinan Eri menjadikan amanah wali kota sebagai “penerang kubur” ayahandanya, kita bisa belajar bagaimana memperlakukan seorang pahlawan kehidupan. [*]

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img