Oleh:
Sugeng Winarno
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang
Metafora bahasa Belanda een kat in zak kopenatau membeli kucing dalam karung berarti membeli sesuatu tanpa mengetahui isi, kualitas, dan kondisi sebenarnya dari barang yang dibeli. Dalam arti lain bisa bermakna memilih sesuatu tanpa tahu bibit, bebet, dan bobot atau kualitas dari sesutu yang dipilih. Ungkapan jangan membeli kucing dalam karung muncul sebagai pengingat kepada siapa saja agar berhati-hati dalam memilih atau membeli sesuatu.
Ungkapan membeli kucing dalam karung juga sering terjadi dalam proses memilih calon pemimpin. Seperti dalam ajang kostestasi politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) juga tak ubahnya seperti membeli kucing dalam karung. Hal ini mengacu pada situasi di mana rakyat memilih calon pemimpin tanpa mengetahui secara jelas siapa calon tersebut, apa rekam jejaknya, atau bagaimana kualitas kepemimpinannya.
Kontestasi Pilkada seperti memilih pemimpin dalam karung bisa terjadi karena minimnya informasi tentang sang kandidat yang disampaikan kepada publik. Selain itu, faktor sang kandidat yang kurang dikenal oleh masyarakat luas. Seringkali para pemilih banyak terjebak dalam janji-janji kampanye dan politik pencitraan palsu yang dilakukan para kandidat yang sedang berlaga dalam kontestasi Pilkada.
Menurut data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), total daerah yang mengikuti penyelenggaraan Pilkada serentak tahun 2024 di Indonesia sebanyak 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Pelaksanaan pemungutan suara Pilkada serentak pada Rabu, 27 November 2024. Saat ini semua wilayah di Indonesia ramai dengan baliho, spanduk, billboard, dan media kampanye politik lain yang dibuat para tim kandidat yang berkontestasi.
Menyulap Citra
Kontestasi politik Pilkada idealnya mengedepankan fakta yang jujur.Politik bukan ajang pembohongan dengan menyulap citra yang memesona. Kalau ternyata fakta sang politisi sosok yang buruk, maka harus diakui dengan legawa. Sang politisi bermasalah harus berkaca diri dan bukan ketika buruk muka lantas cermin yang dibelah. Karena sehebat apapun keburukan itu ditutupi, kelak akan terbongkar pula.
Dunia politik sudah menjadi semacam pertunjukkan, maka politik membutuhkan media sebagai pendukung penampilan.Untuk itu menggandeng media, baik media arus utama (mainstream media) maupun medsos menjadi sangat urgen.Dalam kaitan politik dan media, ternyata kita juga disuguhi perselingkuhan yang sepertinya saling menguntungkan diantara kedua entitas ini.Media dan politik memang seperti dua sejoli yang sulit dipisah.
Sim salabim, dalam sekejap citra bisa dibentuk lewat media. Citra sang kandidat yang aslinya buruk bisa di sulap jadi baik. Sosok yang tidak dikenal, dalam sepintas langsung populer.Media memang perkasa. Lihat layar televisi, suara di radio, tulisan di koran, dan beragam teks visual dan audio di media online, dengan cepat bisa mempengaruhi khalayak. Siapa yang menguasai media bisa dipastikan jalan politiknya bakal mulus.
Secara ideal, media, terutama media arus utama memang tak boleh berselingkuh dengan politik. Media massa atau pers merupakan pilar keempat demokrasi yang harus memerankan diri sebagai kontrol sosial. Namun dalam kenyataanya beberapa media terbukti ada yang main mata dengan sang politisi. Lihat saja televisi.Ada beberapa stasiun televisi nasional, walau secara terselubung telah menggunakan medianya untuk parpol atau kandidat tertentu.
Kalau kita simak medsos juga serupa.Perang opini terkait Pilkada tak sehat bergulir liar di medsos.Munculnya berita bohong (fake news), hoaks, dan ujaran kebencian seakan telah menjadi hal yang lumrah di medsos. Beberapa tim sukses, simpatisan partai atau sosok tertentu menyajikan informasi yang sering tak berdasar fakta. Anehnya, justru informasi tak bersumber fakta ini justru yang dipercaya sebagai sebuah kebenaran.
Inilah realitas versi dramaturgi. Dalam panggung depan citra muncul tanpa celah. Sang politisi dan sosok kandidat tampil dengan kesan merakyat, peduli wong cilik, membela kaum lemah, dan sejuta citra baik yang meninabobokan masyarakat. Kondisi ini ternyata semakin diperburuk karena masyarakat sering lupa dan sulit membedakan mana panggung depan dan mana pula panggung belakang dari sosok politisi yang sedang tampil.
Risiko
Memilih pemimpin dalam Pilkada dengan situasi seperti membeli kucing dalam karung mengandung risiko serius yang berdampak pada masyarakat dan pemerintahan daerah. Jika rakyat memilih pemimpin tanpa mengetahui kualitas dan kemampuan sang calon pemimpin maka bisa jadi rakyat justru memilih pemimpin yang tak punya kompetensi dalam pengelolaan pemerintahan. Risikonya, banyak kebijakan yang buruk, pengelolaan anggaran yang tak efektif, dan kegagalan memenuhi kebutuhan masyarakat.
Kepala daerah yang dipilih tidak dari rekam jejak yang baik hanya akan menjadi pemimpin yang tak memiliki integritas. Hal ini bisa membuka kemungkinan praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan masyarakat dan menghambat pembangunan.Pemilihan pemimpin yang tak kompeten dapat membentuk ketidakpuasan, memicu protes, konflik, dan ketidakstabilan sosial yang mengganggukemajuan di daerah.
Laku politik pencitraan dalam Pilkada sering kali menekankan pada penampilan atau pesan yang menarik perhatian publik, namun tidak selalu menggambarkan kompetensi atau integritas yang sebenarnya.Ketika pemilih hanya melihat citra yang dipoles tanpa mengevaluasi rekam jejak atau kemampuan yang sesungguhnya berisiko seperti memilih pemimpin dalam karung.Pemilih lebih tertarik pada persona yang dibangun secara artifisial, bukan pada kualitas kepemimpinan yang nyata.
Berada di era politik layaknya sebuah pertunjukkan saat ini memang harus waspada.Mengedepankan sikap kritis dan cerdas menjadi sangat penting guna memilah mana citra yang sejati dan mana pula yang abal-abal.Media juga harus memainkan peran idealnya.Media jangan sampai terjebak turut menyampaikan informasi yang ujung-ujungnya semakin membawa masyarakat pada situasi seperti membeli kucing dalam karung.
Masyarakat harus berdaya dan melek politik.Semua warga negara tak boleh acuh tak acuh pada politik (apolitik).Semua harus cerdas dalam menyaksikan sepak terjang para politisi yang berlaga dalam era politik yang layaknya panggung drama ini.Tanpa kepedulian masyarakat, Pilkada hanya semakin menjauh dari nilai-nilai demokrasi yang ideal.Kalau sudah begini, tentu masyarakat juga yang dirugikan.
———– *** ————-