Meningkatkan kesadaran dan perlindungan anak-anak di dunia digital adalah langkah penting untuk memastikan bahwa teknologi informasi dapat digunakan dengan aman dan positif. Fakta tersebut, penting terperhatikan seiring terjadinya kekerasan digital pada anak di Indonesia yang belakangan kian memprihatinkan. Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kekerasan dan eksploitasi seksual pada anak di ranah daring, antara lain akselerasi digital dan penggunaan internet yang tidak tepat, kurangnya pengawasan dan hubungan yang tidak lekat dengan orang tua, serta kompetensi digital yang terbatas antara anak dan orang tua.
Indonesia Indicator mencatat, sepanjang 1 Januari hingga 21 Juli 2024, kekerasan digital pada anak menjadi salah satu isu yang diperbincangkan netizen (warganet). Jumlah unggahan kekerasan digital pada anak di media sosial mencapai 24.876 unggahan dengan jumlah tanggapan mencapai 3.004.014 enggagement. Isu terbesar memperbincangkan soal bullying sebanyak 75.963 unggahan, pedofilia 14.227 unggahan, penipuan online 8.477 unggahan, judi online 5.021 unggahan, doxxing 763 unggahan, cyberstalking 611 unggahan. Grooming 603 unggahan dan revenge porn 205 unggahan,(Kompas, 26/7/2024).
Dilanjut, data UNICEF menyebut 22% anak-anak menemukan konten seksual tidak terduga secara daring melalui iklan, umpan media sosial, mesin pencari, dan aplikasi perpesanan, dan 9% menyatakan aktif mencari materi seperti itu. Sebanyak 29% anak Indonesia pernah mengirim informasi pribadi ke seseorang yang belum pernah mereka temui secara langsung. Kasus kekerasan pada anak seperti perundungan (bullying), pedofilia, judi online, serta penipuan online merupakan bentuk kekerasan digital pada anak yang paling sering muncul di media sosial. Bahkan, kasus tersebut juga menyasar anak-anak difabel.
Itu artinya, kasus kekerasan digital pada anak di negeri ini bisa dibilang pada tingkat mengkhawatirkan. Untuk itu, perlindungan anak dari berbagai risiko kekerasan berbasis daring memerlukan edukasi dan intervensi menyeluruh, mulai dari penguatan resiliensi anak itu sendiri, pengawasan keluarga, dan lingkungan sekitar anak, sampai pada pengaturan informasi layak anak dari pengampu kepentingan. Upaya tersebut juga harus melibatkan multisektor yang terdiri dari instansi pemerintah terkait, lembaga nonpemerintah, dunia usaha, serta media.
Asri Kusuma Dewanti
Dosen FKIP Univ. Muhammadiyah Malang.