Oleh :
Femas Anggit WN
Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Muria Kudus, Jawa Tengah
Belakangan dunia pendidikan kembali mengalami gonjang-ganjing. Hal ini lantaran viralnya cleansing guru honorerdi Jakarta. Banyak pihak melayangkan kecaman sebab cleansing guru honorer ini dinilai tidak manusiawi.
Dari pemberitaan yang ada, dinarasikan bahwa para guru honorer tersebut diberhentikan secara sepihak di hari pertama masuk tahun ajaran baru. Di hari pertama masuk tahun ajaran baru, mereka justru mendapat pemberitahuan bahwa hari itu juga adalah hari terakhir mengajar. Bahkan mereka diminta untuk mengisi link formulir pemecatan masing-masing.
Adanya fenomena tersebut menjelaskan bahwa masalah-masalah yang dihadapi para guru di Indonesia masih begitu kekal. Berbagai masalah itu tidak kunjung tuntas, semakin menggunung, dan berada dalam ketidakpastian kapan akan selesai. Bahkan berbagai permasalahan tersebut terlupakan seiring memudarnya suara para guru. Permasalahan tersebut baru akan kembali mendapat tempat di mata publik ketika viral. Sebagaimana viralnya cleansing guru honorer ini.
Membicarakan permasalahan para guru di Indonesia, hal yang sering menjadi sorotan publik adalah masalah gaji atau kesejahteraan. Gaji guru di Indonesia dinilai rendah bila dibandingkan dengan gaji guru di negara lain. Hal ini semakin tampak jelas jika disandingkan dengan beban kerja yang diterima para guru kita.
Masalah lain yang sering menjadi sorotan publik adalah profesionalitas guru. Cukup banyak guru di Indonesia yang telah berstatus ASN dan mendapatkan sertifikasi dinilai masih kurang kompeten. Padahal dengan status itu, masalah kesejahteraannya bisa dibilang lebih baik daripada guru yang belum sertifikasi, terlebih lagi yang masih berstatus honorer.
Masalah yang juga penting untuk dibahas selain kesejahteraan dan profesionalitas adalah sistem kebijakan yang penuh pengastaan. Bisa dilihat, guru di Indonesia begitu unik sebab terbagi menjadi beraneka ragam jenisnya. Ada yang berstatus honorer, PNS, dan PPPK. Termasuk juga guru yang sertifikasi dan non sertifikasi. Ini baru ragam guru yang ada di sekolah negeri, belum termasuk yang ada di sekolah swasta.
Ditambah lagi kebijakan dalam era kementerian saat iniadalah adanya program guru penggerak. Program ini justru menambah pengastaan yang ada di dunia keguruan. Sebab tidak semua guru mendapat kesempatan yang sama untuk tergabung dalam program ini. Ditambah lagi program ini menimbulkan kesenjangan jenjang karier di mana mereka yang tergabung sebagai guru penggerak mendapat prioritas untuk menjadi kepala sekolah bahkan pengawas.
Adanya pengastaan itu jelas akan membawa dampak langsung berupa diskriminasi perlakuan terhadap guru. Contoh sederhana saja diskriminasi secara simbolis, seperti aturan seragam yang digunakan PNS dan PPPK yang berbeda. Belum lagi diskriminasi terhadap jaminan kesejahteraan dan fasilitas yang didapatkan.
Ketidakjelasan nasib guru di Indonesia sebab kebijakan yang penuh pengastaan itumenyebabkan guru tidak lagi prestisius di mata masyarakat. Penulis sering melihat banyak netizen di kolom-kolom komentar yang mengatakan bahwa kalau mau jadi guru jangan di Indonesia. Ada pula komentar yang mempertanyakan mengapa masih mau menjadi guru padahal sudah tahu gajinya rendah, apalagi mau jadi guru honorer yang jika mau diakui sebenarnya lebih mirip eksploitasi.
Tentu seharusnya perlu dipertanyakan juga mengapa masih dapat dijumpai postingan-postingan berseliweran di mana sekolah negeri membuka lowongan guru. Permasalahannya ada di sini, di mana ada permintaan dari sekolah-sekolah negeri tersebut.Artinya, pemerintah belum sepenuhnya mampu untuk memenuhi kebutuhan guruASN di sekolah-sekolah negeri tersebut secara merata.
Pertanyaan lain yang perlu diajukan adalah mengapa mereka yang berstatus honorer itu belum juga diangkat menjadi PPPK. Padahal telah ada wacana untuk pengangkatan guru honorer menjadi PPPK. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan guru honorer ini sebenarnya permasalahan yang struktural.
Permasalahan guru honorer terus berlarut-larut. Mereka yang statusnya sebagai guru honorer tetap bertahan sebab memiliki harapan akan segera diangkat menjadi PPPK. Namun kenyataannya banyak juga yang tak kunjung diangkat.Nasib guru honorer semakin terombang-ambing. Banyak dari mereka terdepak oleh guru PPPK. Ombang-ambing nasibnya semakin parah terlebih setalah adanya kebijakan cleansing.
Hemat penulis, kebijakan cleansing tersebut memang tidak beretika. Sebab pemberhentian secara sepihak itu tidak jelas ujungnya. Hal ini merendahkan profesi guru. Dedikasi mereka tidak diakui sama sekali. Sederhananya, habis manis sepah dibuang.
Pemerintah harus benar-benarberkomitmen untuk segera menuntaskan permasalahan guru honorer. Pengangkatan guru honorer menjadi PPPK harus memiliki kejelasan dalam implementasinya.Sebab kenyataan di lapangan, kebijakan ini masih bermasalah. Masih banyak guru honorer yang tidak bisa ikut dalam pengangkatan PPPK
Dalam hal inilah pemerintah perlu melakukan tinjauan komprehensif. Pemerintah perlu menyisir secara menyeluruh data para guru honorer. Ada kemungkinan guru honorer yang belum terdata karena kendala teknis sehingga mereka tidak bisa ikut dalam pengangkatan PPPK.
Pemerintah perlu lebih tegas lagi terhadap sekolah-sekolah negeri yang membuka lowongan guru. Hal ini untuk menekan permintaan guru honorer sehingga guru honorer tidak semakin banyak. Di sisi lain, harus dibarengi dengan kemampuan untuk mendistribusikan guru ASN di sekolah-sekolah negeri secara merata.
Peran sesama guru juga diperlukan dalam hal ini. Para guru seharusnya berani untuk terus-menerus menyuarakan berbagai permasalahandi lapangan. Kesadaran kolektif perlu dibentuk demi menyatukan suarauntuk mempertanyakan kejelasan nasib para guru itu sendiri. Hal ini sebagai bentuk dari upaya untuk mengembalikan marwah guru sebagai garda terdepan dunia pendidikan.
Para guru yang bisa dibilang sudah mapan kesejahteraannya karena status atau pangkatnya, harus tetap peduli terhadap nasib sesama rekan gurunya yang belum sejahtera. Mereka harus tetap berorientasi pada berbagai permasalahan yang ada, terutama menyangkut nasib guru honorer. Bagaimanapun, mereka tetaplah sesama guru yang perlu diperjuangkan hak-haknya.
Guru yang sudah mapan tidak selayaknya berdalih bahwa dirinya dulu juga begitu. Sehingga hanya bisa memberikan dalil-dalil kesabaranpada rekan sesamanya. Jika seperti ini, maka secara tidak langsung guru yang sudah mapan itu telah menjadi penindas yang berperan dalam melanggengkan feodalisme yang penuh hierarki atau pengastaan.
Para guru yang memiliki kekuatan masa-dalam artian seperti guru konten kreator yang memiliki banyak pengikut-seharusnya juga turut berperan dalam menyuarakan permasalahan yang ada. Tujuannya agar permasalahansemakin terangkat ke permukaan dan semakin mendapat perhatian publik. Jangan sampai banyaknya jumlah pengikut hanya dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan pribadi, atau justru yang lebih parah malah menjadi perpanjangan tangan kekuasaan untuk melanggengkan sistem yang bobrok.
Sudah selayaknya para guru bersatu tanpa memandang status mereka yang honorer, PNS, atau PPPK. Memang, menjadi tantangan tersendiri bagi para guru untuk bersuara sebab berada dalam cengkeraman birokrasi. Pikiran mengenai terancamnya karieryang akan berdampak pada nasib keluarga memang tidak dapat dihindari. Namun, apalah artinya itu semua jika sesama guru kita masih ada yang menderita?
———— *** —————