Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Korupsi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Desa adalah garda terdepan dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Desa memiliki peranan yang sangat penting dan srategis dalam membentuk karakter sosial yang berintegritas dan antikorupsi. Berawal dari desa yang antikorupsi, bukan tidak mungkin jika nilai-nilai integritas akan menyebar luas dan menular ke seluruh penjuru daerah di Indonesia. Pembentukan desa antikorupsi sebagai wujud dari pelaksanaan otonomi desa yang berkualitas bagi masyarakat.
Dengan otonomi, desa menjadi lebih memiliki kewenangan secara politik untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri. Dalam konteks pembangunan, misalnya, desa menjadi lebih berwenang dan mandiri dalam merencanakan serta menentukan corak pembangunannya yang dirancangbangun bersama-sama dengan warga masyarakat setempat. Desa tidak lagi hanya menerima dalam wujud spesifik (spesific grant) paket-paket pembangunan dari pemerintah kabupaten yang dilaksanakan di desa. Berdasarkan potensi dan kearifan lokal yang dimilikinya, desa pemerintah desa bersama masyarakat setempat membuat perencanaan dan melaksanakan pembangunan.
Sebagai pengakuan terhadap otonomi desa, pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Regulasi yang baru ini mengatur secara khusus dan detail tentang desa. Tak terlalu lama terbit aturan pelaksanaannya,, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa berisi 91 halaman termasuk penjelasan. Peraturan Pelaksanaan UU Desa ini di dalamnya mengatur secara detail tentang Penataan Desa, Kewenangan, Pemerintahan Desa, Tata Cara Penyusunan Peraturan Desa, Keuangan dan Kekayaan Desa, Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan Usaha Milik Desa, Kerjasama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat desa, dan Pembinaan dan Pengawasan Desa oleh Camat atau sebutan yang lainnya
Kebijakan ADD
Alokasi Dana Desa (ADD) adalah pelumas terlaksananya berbagai program pemberdayaan, baik sosial maupun ekonomi masyarakat desa. Kebijakan ini dituangkan dalam UU No. 6 tahun 2014 tentang desa. Dalam UU tersebut tiap desa mendapatkan kucuran dana dari pemerintah pusat melalui APBN kurang lebih 1 milyar per tahun. Ini bisa kita baca pada pasal 72 ayat (1) mengenai sumber pendapatan desa, dalam huruf d. disebutkan “alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota”. Selanjutnya dalam ayat (4) pasal yang sama disebutkan “Alokasi dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit 10% dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus”. Artinya, dana sekitar Rp104,6 triliun ini dibagi sekitar 72.000 desa. Sehingga total Rp1,4 miliar per tahun per desa.
Kebijakan ADD adalah jawaban dari kebijakan desentaralisasi yang dilakukan pemerindah pusat. Program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa dalam menanggulangi kemiskinan dan kesenjangan tidak hanya mencakup implementasi program peningkatan kesejahteraan sosial melalui distribusi uang dan jasa untuk mencukupi kebutuhan dasar. Lebih dari itu adalah sebuah upaya dengan spektrum kegiatan yang menyentuh pemenuhan berbagai macam kebutuhan sehingga segenap anggota masyarakt bisa mandiri, percaya diri, tidak bergantung, dan dapat lepas dari belenggu struktural yang membuat hidup sengsara (Usman, 2006: 31-32).
ADD juga dapat menjadi alat yang memercepat proses kemandirian masyarakat desa untuk menyelesaikan berbagai masalah yang sebenarnya bisa mereka pecahkan sendiri di wilayahnya. Dengan adanya ADD warga dapat belajar menangani projek secara swakelola dan akhirnya mereka semakin percaya diri untuk secara mandiri membangun desanya. Namun demikian, aliran dana yang cukup besar ke desa tersebut harus diikuti dengan pemanfaatannya yang lebih transparan dan akuntabel. Jangan sampai “keberkahan” dana desa ini berubah jadi bencana, yakni praktik korupsi.
Korupsi Dana Desa
Sampai saat ini, pemerintah sudah menggelontorkan ratusan triliun untuk dana desa, namun dalam implementasinya di lapangan belum diimbangi dengan pengawasan dalam penggunaan. Kasus penyelewengan atau kasus korupsi dana desa masih terus terjadi di sejumlah desa.. Tak kurang dari Rp 433,8 miliar dana desa dikorupsi selama periode 2015-2021. Sebanyak 729 orang ditetapkan sebagai tersangka. Berdasarakan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), selama 2015-2022 ada 601 kasus korupsi dana desa dengan jumlah tersangka mencapai 686. Kondisi ini menjadikan penyelewengan pengelolaan keuangan desa masuk dalam daftar tiga teratas kasus korupsi di Indonesia
Sementara itu, berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) , dia menyebutkan bahwa korupsi dana desa pada 2015 sebanyak 21 kasus, kemudian meningkat jadi 154 kasus pada 2021. ICW juga mencatat, dana desa yang digelontorkan pemerintah selama 2015-2021 mencapai Rp 400,1 triliun. Selama periode itu terjadi 592 kasus korupsi di tingkat desa dengan 729 tersangka. Akibat praktik korupsi itu, kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar. Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan, kebijakan ADD yang seharusnya mampu menngkatkan kesejahteraan masyarakat desa, justru banyak menimbulkan banyak masalah, salah satunya korupsi.
Penguatan Desa Antikorupsi
Salah satu desa yang mendapatkan ADD adalah Desa Senduro, Kabupaten Lumajang. Setiap tahun sekurangnya mendapatkan dana desa sebesar Rp. 1 milyar. Untuk mereduksi praktik-praktik korupsi dana desa, sudah waktunya desa berbenah diri, salah satunya bagaimana membangun dan memperkauat karakter desa antikoupsi. Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK RI, Wawan Wardiana mengatakan, secara nasional total desa percontohan antikorupsi sudah berjumlah 33 desa, di 33 provinsi. Pengembangan dan penguatan desa antikorupsi harus terus didukung dan didorong oleh berbagai pihak, termasuk insiatif dari desa itu sendiri.
Pelaksanaan Undang-Undang Desa, tentu saja membutuhkan SDM-SDM pemerintahan desa ; mulai dari kepala desa sampai dengan perangkat-perangkatnya yang memiliki kapasistas dan kredibilitas untuk menjalankan roda pemerintahan desa untuk mewujdukan kesejahteraan masyarakat. Karena kepala desa dan perangkatnya tidak hanya sekedar menjalankan tugas administrative semata, tapi juga yang paling sensitive adalah mengelola keuangan desa yang jumlah cukup besar dengan transparan dan akuntabel. Usaha ini, tak lepas dari kebijakan dan program desa antikorupsi yang sedang dicanangkan pemerintah pusat.
Pentingnya program desa antikorupsi ini dalam membangun integritas dan nilai-nilai antikorupsi kepada pemerintah dan masyarakat desa, memperbaiki tata laksana pemerintahan desa yang berintegritas, dan memberikan pemahaman serta peningkatan peran serta masyarakat desa dalam upaya mencegah dan memberantas korupsi. Dengan program-program antikorupsi di desa, diharapkan akan melahirkan desa antikorupsi yang berkelanjutan dan membantu dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.
————– *** —————